Puisi-puisi ‘Toxic Relationshit’
Puisi-puisi soal ‘toxic relationshit’, patah hati, dan kesedihan cinta lainnya.
DI STASIUN PUKUL TUJUH
kau meludah sembari bertanya,
seberapa mampu aku berkorban mencintaimu.
aku membisu,
dan kutelan ludahmu
sebagai satu-satunya jawaban yang aku tahu.
kau tetap menginginkan pergi,
mencari jawaban yang lain lagi.
hujan di luar membawa beku
sampai ke ruang tunggu
saat kereta menjemputmu,
dan aku tidak tahu
tampias hujan atau ludahmu
yang membasahi
seluruh wajahku.
Yogyakarta, Mei 2020
KAU BERTANYA SAAT KITA SEDANG BERCINTA DI ATAS TUBUH JAKARTA
kaulihat sepasang sepatu bertanda garis tiga
meronta-ronta
di dalam penjara etalase kaca.
“apakah cintamu bisa membebaskannya untukku?” tanyamu,
tapi aku tak menjawabnya.
takdir memang selalu lebih mahir
bermain sihir,
tapi adakah yang lebih mahar
selain kasihku yang tak tertakar?
yang tidak pernah lebih mahal
dibandingkan kemiskinan.
penyair hanyalah pemabuk limbung
yang sibuk menyandarkan lambung pada kata-kata
sampai kembung.
tak ada yang lebih renyah untuk dikunyah
selain remah-remah mimpi
yang mengapung di Ciliwung
bersama tai, mayat bayi, dan pelacur
yang bunuh diri.
kaulihat sebuah cincin sedang memelas
di dalam lemari toko emas.
“bisakah cintamu membawanya kepadaku?
agar kurawat ia dengan jari manisku.” katamu.
tapi aku tak juga menjawabnya.
lingkar nasib memang lebih gaib
dari selingkar cincin atau liontin
yang barangkali tak terbeli dengan puisi,
tapi adakah yang lebih belati selain hati?
yang karena cinta ia merasa terberkati
—yang demi kau, ia berani menikam
jantungnya sendiri.
lalu kau terdiam. tak pernah lagi bertanya,
hanya pergi begitu saja
meninggalkan ribuan tanda tanya,
dan aku tak pernah punya jawabannya.
Jakarta, Januari 2020
Baca juga: Puisi Latar Film dan Atap Rumah
PERKARA TERBESAR
setelah ditanggalkan dan meninggalkan rahim,
tak lagi kukenal perihal lain yang lebih intim,
kecuali kau,
perkara terbesar yang berakar
sampai ke pusat nalar dan naluri
—bertumbuh, bertambah
di batas antara waras
dan menggilai.
aku tidak pernah pulang atau pergi,
tetapi tidak ada lagi kau di sini.
tidak ada seorang ibu di sana.
tidak juga ada aku di mana pun berada.
dan cinta hanya gemerlap kata-kata,
kebencian terus-menerus berkecambah
di sebalik gelap mata.
nasib mengenakan topeng juru selamat
kemudian bernubuat
: inilah tubuhku yang diserahkan bagimu
korbankanlah darahmu! supaya kematian
selalu hidup seumur hidupmu.
kekasih, selekat-lekatnya aku denganmu
adalah serekat-rekatnya aku
dengan kegagalanku memilikimu,
dan seorang ibu di masa lalu
tak pernah memberitahu;
jika hidup memberi pensil,
mengapa kita tak pernah berhak
menulis takdir.
Doha, Januari 2020
MELIHAT-LIHAT ISI RUMAH
di dapur kulihat ibu sedang sibuk
menusuk-nusuk matanya,
lalu matahari di dalamnya pecah,
dan kehangatan tumpah
bagi tubuhku yang digigilkan nasib.
di halaman kusaksikan ayah
mencabut tulang-tulangnya
dengan amat sangat tabah,
lalu ia ganti dengan bilah-bilah bambu
sisa pembangunan rumah kami dulu.
ia serahkan tulang itu kepadaku
sebab aku nyaris lumpuh
dihantam hidup yang sarat dan rusuh.
di kamar, di dalam tidur dan jaga,
kulihat diri sendiri tak pernah ada.
Yogyakarta, Juli 2020
Baca juga: Toilet Ruang Kesadaran
REREMUK RUSUK
jangan kau bertanya mengapa aku tidak punya rusuk.
tentu kau masih ingat tulang mana yang kauremuk.
tetapi punggungku tidak pernah takluk pada segala,
masih rela membungkuk setiap kali kau ingin
menaikinya
untuk menggapai sesuatu
jauh di atas sana.
dan kau melompat terlalu tinggi.
tinggi-tinggi sekali tinggalkan bumi.
mesti jutaan kali aku melepasmu.
menyaksikan jutaan anak panah berlepasan
menghujami tubuhmu.
aku redup menanti-nanti,
dan sanggup tidak mati
sebagai gravitasi.
tubuhku liang lahat; jatuhmu kutangkap,
dan mayatmu akan menetap.
di dalamnya reremuk rusukku
akan bertanya untuk ke sekian kali
: bisakah kali ini kau tidak pergi?
Yogyakarta, Agustus 2020
TOXIC RELATIONSHIT 2
kau paksaku ‘tuk menari-nari
di atas bara api
kaupinjami aku belati
‘tuk tusuk jantungku sendiri
lalu kau tertawa paling sungkawa
sambil bertanya, “sakitkah rasanya?”
Yogyakarta, Mei 2020
SEMISAL KITA SEJOLI
semisal kita sejoli,
maka mataku meminta matamu.
mengapa hanya selirik padaku?
semisal kita sejoli,
maka bibirku meminta bibirmu.
mengapa hanya cibir kepadaku?
semisal kita sejoli,
maka lidahku meminta telingamu.
mengapa selalu tuli di hadapanku?
semisal kita sejoli,
maka hatiku meminta hatimu.
mengapa hanya empedu buatku?
semisal kita sejoli,
maka segalaku meminta seluruhmu.
mengapa hanya separuh untukku?
semisal kita sejoli,
mengapa matiku menghidupkanmu?
Yogyakarta, Juli 2020
Baca juga: Sajak Aan Mansyur 1: Pengakuan
KHIANAT
ketika lidah tak lagi basah,
terlalu tandus oleh dusta,
maka tak ada kiamat
yang terlalu dekat
selain segala yang khianat.
jarum jam tak menancapkan apa-apa
selain putih-putih di kepala.
kian rabun dalam pangkuan.
meraba-raba petang yang menelan ingatan.
kemanakah arah pulang?
bukankah untuk menapaki jalan cinta
hanya diperlukan sepasang mata yang buta?
dan sampailah kita di dalam tenda,
dan tetiba menjadi pelupa
tanpa bersiap siaga akan terluka.
kita akan berpelukan lagi,
kembali dipeluk sangsi
: apa yang lebih pandai bersembunyi
di balik simpul lengkung pipi?
—gigi atau belati.
Yogyakarta, September 2020
SATU PESAN IBU
jika malam-malam jalang menggigilkanmu,
kelamin hanya melacurkanmu,
maka pulanglah ke tubuh bapakmu.
carilah sedikit tempat paling hangat
di mana aku pernah tercabut dan terbabat
dari tulang rusuknya.
Yogyakarta, Juli 2020
Latiprosa