Lifestyle

‘Rebound Relationship’: Ketika Cari Pelarian Pasca-putus Jadi Problematis

Suatu hubungan yang cepat-cepat dimulai saat kamu baru saja putus cinta bisa berdampak buruk buat kamu dan pasanganmu.

Avatar
  • September 3, 2021
  • 5 min read
  • 1661 Views
‘Rebound Relationship’: Ketika Cari Pelarian Pasca-putus Jadi Problematis

Pernah enggak, sih, kamu putus sama pasangan pas lagi sayang-sayangnya? Kalau pernah, pasti kamu paham betul rasa sakitnya. 

Pulih dari putus cinta memang tidak mengenakkan dan butuh usaha keras untuk bangkit lagi. Selain itu, putus cinta yang kita alami tidak bisa dianggap remeh, lho. Karena ketika putus cinta, tidak hanya hati kita yang terluka, tetapi mental dan fisik kita juga bisa terdampak. Dilansir Healthline, Courtney Nesbitt, L.C.S.W., terapis individu, pasangan, dan kelompok mengungkapkan bahwa otak adalah organ yang sangat kuat dan patah hati sendiri adalah emosi yang sangat kuat. Ketika pikiran negatif menyelimuti otak berbarengan dengan patah hati, hal itu pasti dapat menghasilkan reaksi fisik yang tidak disangka-sangka. 

 

 

Pendapat Nesbitt ini sejalan dengan penelitian berjudul Social rejection shares somatosensory representations with physical pain (2011). Para peneliti, Ethan Kross, Marc G. Berman, dan Walter Mischel menemukan bahwa orang-orang yang baru putus cinta mengalami aktivitas otak yang sama saat diperlihatkan foto orang yang mereka cintai dengan saat mereka mengalami kesakitan fisik. Mereka  menyimpulkan penolakan, rasa sakit emosional dan fisik, semuanya diproses di wilayah otak yang sama.

Mereka yang Mencari Pelarian dan Dijadikan Pelarian

Dalam kasus putus cinta ketika masih sayang-sayangnya, tidak jarang seseorang ingin cepat-cepat ingin mencari pasangan baru. Hal ini dialami oleh “Althea” yang pernah putus dari pacarnya, D, saat masih sayang-sayangnya, lalu ia menjalin hubungan baru dengan mantan kekasihnya, F. 

Setelah putus dan mengalami patah hati, tidak sampai kurun waktu dua bulan, Althea sudah menjalin hubungan dengan F. Hubungannya dengan F ini ia jalani semata-mata ia ingin mencari pelarian dari rasa patah hatinya terhadap D dan berusaha untuk move on. Althea mengatakan bahwa ia membutuhkan kehadiran orang lain di kehidupannya. Saat berbincang dengannya, saya menangkap ia seperti takut merasa sendirian. 

Althea lalu mengaku bahwa perilakunya menjadi sangat aneh dan cenderung mengarah pada toksik ketika berpacaran dengan F. Semenjak pacaran dengan F, ia memiliki keinginan yang  sangat kuat untuk berselingkuh, ditambah lagi ia memang sedang menjalin LDR dengan laki-laki itu. Pada akhirnya, Althea benar-benar berselingkuh dan menariknya, ia justru berperilaku posesif terhadap F.  Rasa posesifnya ini terjadi karena ia takut F sendiri selingkuh dan meninggalkannya. Ia masih lanjut menjalani hubungan tersebut selama 11 bulan dengan kedua belah pihak akhirnya saling menyakiti satu sama lain. Karena hubungan keduanya yang toksik, perpisahan mereka tidak berjalan baik-baik. 

Baca juga: Jangan Abaikan Trauma Pasca-Putus

Althea mengungkapkan, sampai sekarang, antara ia dan F masih ada kerenggangan. “Udah empat tahun putus, [saya] masih enggak bisa temenan biasa aja [dengan F],” ungkapnya.

Berbeda dengan Althea yang menjadikan mantan pacarnya F sebagai pelarian, “Piwi”, justru menjadi korban pelarian dari mantan pacarnya, W.  Piwi bercerita, saat W baru saja putus pacarnya, K (yang kebetulan juga teman satu les Piwi), W menjadi sangat galau lantaran mereka berdua telah berpacaran sejak SMP hingga SMA. 

Semenjak putus dari K, W kerap curhat kepada Piwi. Setelah obrolan mereka menjadi semakin intensnya, dan W merasa hanya Piwi yang bisa mendengarkan keluh kesahnya, W “menembak” Piwi dan diterima oleh perempuan itu. Namun, hubungan mereka berdua tidak bertahan lama. Mereka hanya berpacaran selama enam bulan sampai akhirnya W memutuskan Piwi dengan alasan mereka lebih cocok menjadi teman.

Setelah mereka putus, W tetap berteman dengan Piwi dan lanjut menjadikan Piwi sebagai wadah curhatnya mengenai K. Hal itu berakhir setelah akhirnya ia balikan lagi dengan K. 

Selama menjalani hubungan bersama W, Piwi mengatakan beruntung bahwa dirinya tidak sampai jatuh hati pada W. Hingga sekarang, W bahkan masih lari kepadanya setiap kali mengalami patah hati. Oleh karena itu, sebisa mungkin Piwi menjaga hatinya untuk tidak terlibat rasa dengan W. Dari pengalamannya bersama W ini, Piwi berefleksi, “Tiap abis putus, dia [W] beneran cari kasih sayang ke orang lain, dan dia emang enggak biasa sendirian sepertinya. Kayak abis putus tuh udah keprogram buat cepet-cepet cari yang bisa kasih kasih sayang lagi. Jadi, [dia] susah berubahnya.”

Dampak Psikis Rebound Relationship

Hubungan yang dialami Althea dan Piwi ini memiliki istilah tersendiri, yaitu rebound relationship. Dikutip dari Psychology Today, seseorang dikatakan menjalin rebound relationship saat dia berhubungan dengan orang lain sesegera mungkin setelah relasi dia sebelumnya berakhir. Biasanya, orang yang menjalin rebound relationship merasa sangat tertekan, malu, marah, atau sedih.

Rebound relationship sangat berisiko menjadi sebuah bentuk pelarian seorang individu putus cinta dan pada umumnya cepat berakhir. Hal ini karena rebound relationship cenderung dijalani tidak atas dasar cinta. 

Baca juga: 5 Pelajaran Penting dari Pengalaman Patah Hati

Dalam artikel lain di Psychology Today, associate professor Departemen Psikologi di University  of Utah, Samantha Joel mengungkapkan bahwa rebound relationship dapat memiliki dampak psikologis. Hal ini karena hubungan tersebut membuat orang justru merasa lebih terikat dengan mantan pasangan mereka. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya, semakin kita mengandalkan satu individu untuk memenuhi kebutuhan ini, semakin sedikit kita cenderung bergantung pada individu lain untuk memenuhi kebutuhan yang sama. 

Dalam artikel bertajuk “The Psychology Behind a Rebound Relationship”, Dr. Annie Tanasugarn, psikolog yang memiliki kepakaran dalam isu trauma & ketergantungan, menjelaskan bahwa rasa ketergantungan pada sosok tertentu untuk dijadikan pelarian membuat rasa empati kita terhadap orang lain berkurang. Ini karena ada kecenderungan psikologis kita untuk memainkan perasaan orang lain. Hubungan ini tidak memiliki keaslian dan keintiman dan tujuannya adalah untuk secara tidak sadar “kembali” pada mantan kita, atau untuk meningkatkan ego kita sendiri. 

Lebih lanjut menurut Tanasugarn, hubungan ini sangat merugikan bagi kesadaran diri dan pertumbuhan kedua individu yang terlibat di dalamnya. Seseorang yang menjadi pelarian dari hubungan rebound bisa jadi akan merasa dirinya tidak berharga. Hal-hal seperti percakapan mendalam, keintiman emosional dan kerentanan, berbicara tentang ketakutan atau kegagalan terbesar kita ditukar dengan memberikan harapan palsu kepada ego kita, yang dalam beberapa kasus mengarah pada hubungan seks tanpa perasaan. 

Baca juga: Kenali 8 Perilaku Toksik Berkedok Sikap Romantis

Pada akhirnya, rebound relationship hanya akan memicu kita untuk menyangkal rasa sakit yang kita miliki tanpa ada keinginan untuk memberi waktu bagi diri sendiri untuk berduka. Akibatnya, kita kehilangan momen untuk menyembuhkan luka tersebut dan mencegah kita untuk secara emosional berkembang.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *