Tak Perlu Resolusi, Kadang Kamu Cuma Harus Terima Kasih pada Diri
Di tengah situasi tak menentu, kadang yang kita butuhkan bukan resolusi tahun baru. Namun, sekadar ucapan syukur karena sudah bertahan sejauh ini.
Selamat! Kita sudah sampai di 2023. Layaknya tahun-tahun sebelumnya, aku yakin hampir semua orang disibukkan dengan dua hal: Menyusun kilas balik 2022 dan membuat resolusi 2023. Katanya, resolusi itu penting agar tahun yang baru bisa membawa semangat baru pula.
Tadinya, aku juga berniat membuat resolusi 2023. Namun, saat melihat resolusi tahun lalu, niat itu urung dilakukan. Dari catatanku, ada tujuh keinginan jangka pendek yang harus aku capai pada 2022. Namun, hanya dua yang terwujud.
Hatiku langsung terasa berat. Bagaimana bisa, keinginan yang sudah aku desain serealistis mungkin, bisa tak terlaksana? Aku merasa kecil dan sontak bertanya pada diri sendiri.
“Kenapa aku bisa begitu payahnya tahun lalu?”
“Apakah aku memang tak berguna?”
Baca Juga:Tidak Apa-apa Menjadi Biasa Saja di Dunia Luar Biasa
Kita Telah Melewati Banyak Hal Buruk
Dua hari pertama tahun baru aku lewati dengan pikiran keruh dan meragukan diri sendiri. Saat itu aku menyadari, 2022 adalah tahun yang berat, sama beratnya seperti 2021.
Di 2022, keadaan mentalku semakin memburuk. Aku sempat melewati satu bulan penuh dengan perasaan tak ingin bangun dari kasur dan sedih selama beberapa hari. Aku juga jadi mudah menangis dan frustasi. Pada 2022, aku sempat dirawat di rumah sakit karena demam tinggi dan asma yang tiba-tiba kambuh. Tahun 2022 juga dilengkapi dengan beberapa berita kehilangan dari orang terdekatku.
Rentetan kejadian ini membuatku sadar. Ternyata aku sudah melewati banyak sekali hal berat selama 2022 dan masih bertahan hingga detik ini. Ini jadi pengingat bahwa aku dan jutaan bahkan miliaran orang di 2022 sebenarnya hidup di tengah ketidakpastian dan konflik berkepanjangan.
Bayangkan saja, sudah tiga tahun kita hidup di era pandemi. Era yang menurut Gallup dalam The Wellbeing-Engagement Paradox of 2020 berhasil menciptakan burnout jenis baru yang memengaruhi kesehatan mental kita di level kritikal. Di era ini pula, jutaan nyawa manusia hilang saat berjuang melawan wabah menular.
Serasa belum cukup diombang-ambingkan oleh takdir, di 2022, kita juga harus melalui rentetan tragedi. Mulai dari konflik antara Ukraina dan Rusia yang memperparah kondisi sosial ekonomi dunia, bayang-bayang resesi 2023, hingga bencana alam yang semakin intens efek dari krisis iklim yang sudah di depan mata.
Masa-masa sulit ini membuat hidup terasa semakin menanjak, apalagi kalau kamu melaluinya seorang diri.
Kamu mungkin mengalami gagal cinta, bercerai, atau putus dari hubungan romansa yang berjalan lama. Kamu mungkin mengalami sakit fisik atau mental. Kamu mungkin terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan harus berjuang dengan uang yang tak seberapa.
Namun, kamu bisa bertahan, setidaknya sampai hari ini.
Baca Juga: 3 Cara Hadapi Ketidakpastian di Tengah Pandemi
Di Masa-masa Sulit, Kita Lupa Berterima Kasih pada Diri Sendiri
Studi dari Universitas Scranton pada 1988 menemukan, 77 persen orang membuat resolusi Tahun Baru. Namun, hanya 19 persen atau satu dari lima, yang benar-benar memenuhinya dalam dua tahun. Tiga dekade berlalu, Departemen Riset Statista pada 2018 melakukan survei yang sama. Hasilnya, 54 persen orang yang membuat resolusi tahun baru, hanya empat persen yang berhasil mencapai semuanya.
Kedua temuan ini menarik dan memicu pertanyaan. Jika resolusi tahun baru ditakdirkan untuk gagal, mengapa kita tetap melakukannya dan bersikap keras pada diri sendiri ketika semua berjalan tidak sesuai dengan harapan? Jawabannya cukup sederhana. Kita tidak terbiasa memberikan penghargaan pada diri sendiri.
“Most of us are easier on other people when we are on ourselves.”
Begitu tulis Elisabeth Kübler-Ross, psikiater ternama dari Swedia dalam bukunya Life Lessons: Two Experts on Death and Dying Teach Us About the Mysteries of Life (2000). Kübler-Ross memahami manusia memiliki tendensi untuk menyalahkan dan menghakimi diri sendiri. Mereka menipu diri dalam permainan tanpa ujung di mana mereka percaya, masa depan menjanjikan hal yang lebih baik dan kebahagiaan lebih banyak.
Permainan ini menurut Kübler-Ross lebih banyak membuat kita berada dalam kondisi serba kekurangan. Bahkan jika mendapatkan apa yang kita mau, itu masih belum cukup. Kita masih tetap merasa tidak bahagia.
Ini semua terjadi karena kita lupa punya kekuatan yang begitu besar, namanya kekuatan berterima kasih pada diri sendiri. Kita lupa bersyukur atas apa kita miliki, apa yang telah kita lalui, bagaimana bisa bertahan meski melewati fase kerentanan.
Baca Juga: Apa Salahnya ‘Make Up’ Walaupun di Rumah Saja?
Sophie Lazarus, psikolog di Pusat Medis Wexner Universitas Negeri Ohio kepada Cnet berujar, setelah mengalami masa-masa sulit, hal terakhir yang perlu kita lakukan adalah bersikap keras pada diri sendiri. Salah satunya dengan menetapkan tujuan yang mungkin tidak realistis selama pandemi global.
Membuat resolusi tahun baru di masa sulit umumnya hanya akan membuat kita lebih stres dan kecewa. Pasalnya, di tahun tanpa pandemi saja kita sudah kesusahan mencapainya, apalagi dalam kondisi yang berbeda seutuhnya. Dengan ini, kita secara tidak sadar memberi makan pada ego kita untuk selalu bersikap keras pada diri.
“Sering kali di masa-masa ini, kita cenderung benar-benar fokus pada sesuatu yang salah dalam hidup kita mulai padahal yang kita butuhkan adalah menjadi lebih perhatian dan mawas diri,” jelas Lazarus.
Dengan berterima kasih pada diri sendiri, kita belajar untuk mengapresiasi hal-hal kecil dalam hidup yang luput kita syukuri. Itu sesederhana masih bisa makan makanan enak, membeli buku yang kita inginkan, atau bahkan bisa tidur kurang dari jam 12 malam. Dalam kesederhanaan, kita bisa menyadari sudah banyak tantangan dan situasi sulit yang kita hadapi. Kita masih bisa bertahan dan tersenyum pasca-dilanda badai.
Dengan berterima kasih pada diri sendiri pula, kita akan jadi lebih mudah untuk berserah diri pada sesuatu yang memang sudah di luar kendali. Bukan justru memaksakan diri dan merasa bertanggung jawab atas segalanya. Dalam titik inilah, sesuai dengan apa yang dituliskan Kübler-Ross, kita lahir bukan hanya untuk hidup, tetapi merasakan hidup.
Jadi, dibandingkan membuat resolusi tahun baru yang memang ditakdirkan akan gagal sedari awal, mengapa kita tidak memulai tahun dengan berterima kasih pada diri sendiri? Toh, kita hidup hanya sekali dan tidak mau kan menjalaninya dengan penuh rasa bersalah dan kecewa, bukan?