Culture Opini Screen Raves

‘Sakatupo’: Respons Trauma Moko dan Kenapa Kita Berharap Ia Meledak Marah?

Reaksi Moko yang cenderung ‘nrimo’ atas semua masalah bertubi di atas pundaknya, bikin ia dikritik lemah dan tidak masuk akal. Tapi, betulkah marah adalah satu-satunya respons yang valid?

Avatar
  • February 12, 2025
  • 6 min read
  • 1902 Views
‘Sakatupo’: Respons Trauma Moko dan Kenapa Kita Berharap Ia Meledak Marah?

Sejak 1 Kakak 7 Ponakan (Sakatupo) tayang, tidak sedikit respons penonton yang lewat di media sosial saya, melontarkan kritik serupa: Kenapa Moko (Chicco Kurniawan) tidak pernah marah? 

Beberapa mengatakan karakter ini tidak realistis—terlalu baik, terlalu sabar, terlalu “too good to be true”. Sebuah artikel di Magdalene, Pasangan Green Flag 1 Kakak 7 Ponakan Terlalu Sempurna? bahkan menyebut Moko sebagai karakter yang terlalu “green flag,” terlalu tak bercelah, dan tidak masuk akal. Terutama karena karakternya seakan tidak pernah lelah atau kesal menghadapi hidupnya. Semua kritik ini seolah mengharapkan reaksi Moko–atau siapa pun yang diperlakukan sepertinya—harus dan kudu meledak. Tapi, benarkah itu satu-satunya respons yang masuk akal?

 

Dalam psikologi, dikenal sebuah konsep yang disebut trauma response, tentang ragam cara seseorang menyikapi kejadian traumatis. Reaksinya ternyata tidak hanya fight (melawan) atau flight (kabur). Bessel van der Kolk (2014) menjelaskan bahwa manusia juga bisa freeze (membatu) atau fawn (berusaha menyenangkan orang lain demi menghindari konflik).

Baca juga: Pasangan ‘Green Flag’ di ‘1 Kakak 7 Ponakan’ Terlalu Sempurna untuk Jadi Nyata

Meski hampir semua respons trauma  itu hadir di Moko, ada dua hal yang lebih menonjol: Ia nyaris tidak pernah meledak alias bukan tipe fight, dan lebih sering memendam demi mementingkan kesenangan orang lain, alias seorang fawner. Di banyak situasi, ia lebih memilih melewati tantangan sendiri, ketimbang minta tolong, atau marah. Deretan sikapnya sebagai fawner tergambar jelas dalam sekuens-sekuens ia menjemputi satu-satu ponakannya yang ternyata minggat dan diam-diam bekerja.

Respons trauma ini muncul dari kejadian-kejadian traumatis bertubi-tubi. Fawner cenderung merespons ancaman dengan berbuat baik pada ancaman tersebut. Misalnya, ketika diancam akan dipukul saat dijambret, fawner akan menuruti penyerangnya untuk tidak melawan demi melindungi diri sendiri. Bukan berarti mereka menyetujui pelecehan atau penyerangan itu, fawner hanya berusaha mencegah situasi memarah. Sikap-sikap menurut dan berbaik pada keadaan mengancam ini adalah sebuah respons otomatis buat tubuh fawner.

Moko tak marah bukan karena tak sadar keluarganya keterlaluan, tetapi karena itu adalah mekanisme bertahan hidupnya. Bagi orang-orang yang tumbuh di lingkungan yang memberi tekanan secara konstan, memilih untuk “mengalah saja supaya semuanya tenang” bukanlah hal aneh—justru itu bisa menjadi strategi bertahan paling masuk akal.

Memvalidasi respons trauma Moko, bukan berarti menolak celetukan yang menganggap di titik tertentu, di situasi tertentu, respons Moko toksik dan tidak sehat. Misalnya ketika dia menolak pertolongan pinjaman laptop Maurin, saat menghadapi situasi darurat. 

Beberapa kali keputusan Moko jelas sekali tidak sehat, tapi menganggap responsnya tidak masuk akal justru sama tidak sehatnya.

Ekspresi Subtil di Muka Moko

Dalam mengamati 1 Kakak 7 Ponakan, penting untuk mencoba melihatnya sebagai sebuah studi karakter—di samping, katakanlah, sebagai kritik atas kebobrokan sistem yang menggencet kelas menengah—dengan memperlihatkan sisi manusiawi Moko melalui momen-momen kecil dan sepi. 

Ketika dia duduk sendirian, menarik napas panjang sebelum melanjutkan pekerjaannya, atau ketika ia sedang terdiam sembari berpikir. 

Chicco mengomunikasikan gejolak internal karakter Moko dengan begitu subtil—rasa frustrasi Moko tidak ditunjukkan melalui gestur yang meletup, melainkan lewat ekspresi-ekspresi kecil, baik wajah maupun tubuh, yang menunjukkan seseorang yang babak belur dihajar lelah dan sedih. Ini adalah wajah seseorang yang sudah mengalami banyak tekanan, tetapi memilih untuk menelannya sendiri. Bukan karena dia lemah, tetapi karena dia tahu bahwa marah tidak akan mengubah keadaan. Sehingga, dibanding menyalurkan energinya untuk marah, dia memilih untuk terus menjalani hidupnya dengan tenang—sesuai versinya.

Baca juga: Mempertanyakan Keutuhan Keluarga Lewat ‘Ipar Adalah Maut’ dan ‘1 Kakak 7 Ponakan’

Karakterisasi serupa bisa kita lihat dalam tokoh Poppy (Sally Hawkins) di film Happy-Go-Lucky (Mike Leigh, 2008). Poppy adalah pribadi yang secara fundamental ceria dan hangat, ia menyongsong hari dengan binar optimisme di matanya. Bahkan saat menghadapi orang-orang yang kasar dan manipulatif, ia tetap mampu mempertahankan tingkah lakunya yang positif. 

Salah satu adegan yang mengilustrasikan kepribadian Poppy ini adalah saat instruktur mengemudinya, Scott (Eddie Marsan), meledak penuh amarah di tengah sesi latihan. Meski Poppy punya segala alasan untuk marah balik, ia merespons dengan tenang, mencoba memahami sumber kemarahan itu tanpa membalasnya. 

Penelitian Taylor (2018) menunjukkan bahwa karakter seperti Poppy dan Moko sebenarnya tidak naif—mereka sadar dunia itu kejam, tetapi memilih meresponsnya dengan kebaikan sebagai bentuk mekanisme koping. Bukan berarti mereka tidak memiliki batas, mereka hanya memilih cara berbeda untuk bertahan. 

Melalui penggambarannya yang sensitif dan simpatik atas karakter Poppy ini, Sally Hawkins dengan sangat layak diganjar trofi Aktris Terbaik (Musikal/Komedi) di ajang Golden Globes 2009.

Karakter Utama yang Melawan Lebih Dirayakan

Kritik atau celetukan yang menganggap karakter seperti Moko tidak realistis—karena, seperti penjelasan di awal tulisan ini, tidak meletup-letup marah setelah ditikam situasi sulit bertubi-tubi—sebetulnya tidak terlepas dari cara kita mengonsumsi media.

Ekspektasi ini, sebagian dibentuk oleh budaya populer yang sering menggambarkan pahlawan, tokoh utama, atau protagonis, sebagai sosok yang vokal dan konfrontatif. Film-film Indonesia yang menggambarkan tantangan hidup kelas menengah ke bawah di latar urban lainnya seperti A Copy of My Mind (Joko Anwar, 2015), Something in the Way (Teddy Soeriaatmadja, 2013), dan yang terakhir Home Sweet Loan (Sabrina Rochelle Kalangie, 2024), misalnya, menampilkan tokoh utama yang dalam titik tertentu, menghadapi ketidakadilan dengan perlawanan yang tegas dan ekspresif. 

Kemarahan dalam film-film ini menjadi katalis bagi perubahan, sehingga kita terbiasa menganggap kemarahan sebagai satu-satunya bentuk perjuangan. Padahal, banyak orang di dunia nyata yang merespons tekanan dengan cara yang lebih halus, lebih internal. 

Baca juga: Pria Saleh Sebagai Fantasi Kolektif: Menilik ‘Trope’ Pria Religius di Film Indonesia

Karakter utama di film-film itu diberi setidaknya satu kesempatan—biasanya dalam adegan-adegan puncak di babak ketiga—untuk meledak marah, dan melawan. Format ini wajar dihadirkan pembuat film untuk jadi titik pemecah konflik, berfungsi untuk melerai stres penonton yang sudah mengikuti alur hidup si protagonis. Dalam Home Sweet Loan, adegan itu ada di ruang makan, saat Kaluna (Yunita Siregar) mengonfrontasi abang dan segenap keluarganya yang jadi “beban” selama film diputar. Ia menolak diperlakukan tidak adil. Penonton senang karena protagonisnya melawan.

Sementara dalam Sakatupo, saat adegan itu disiapkan di adegan konfrontasi di ruang keluarga, Moko justru lari kabur ke teras ketika argumen Maurin (Amanda Rawles), Woko (Fatih Unru), Nina (Freya JKT48), dan Ano (Ahmad Nadhif) lebih terasa masuk akal. Sekali lagi, Moko, protagonis kita, kabur.

Penelitian Smith dan Jones (2020) bahkan menunjukkan bahwa individu yang tetap mempertahankan kebaikan di tengah kesulitan sering kali memiliki ketahanan mental yang luar biasa, meskipun mereka tidak terlihat “melawan” secara eksplisit.

Ketidakmarahan bukan pertanda Moko adalah karakter yang minim dimensi dan tidak realistis. Sebaliknya, ia mencontohkan cara regulasi emosi yang terbilang jarang terwakilkan di layar.

Ia bukan seseorang yang tidak sadar bahwa dirinya dimanfaatkan, tetapi ia memilih bertahan dengan caranya sendiri. Tidak semua orang merespons ketidakadilan dengan amarah, dan tidak semua perjuangan harus ditandai dengan konfrontasi. Kesabaran, pengorbanan, dan ketahanan mental juga merupakan bentuk perlawanan, meski sering kali tidak terlihat. 

Jika kita merasa sulit menerima karakter seperti Moko, mungkin yang perlu dipertanyakan adalah cara kita memandang penderitaan dan bagaimana kita mengharapkan orang lain menanggapinya.



#waveforequality
Avatar
About Author

Catra Wardhana

Catra Wardhana adalah peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *