Culture Screen Raves

Pasangan ‘Green Flag’ di ‘1 Kakak 7 Ponakan’ Terlalu Sempurna untuk Jadi Nyata

Karakter pasangan Moko dan Maurin dalam ‘1 Kakak 7 Ponakan’ digambarkan terlalu ideal hingga terasa tidak realistis dan meyakinkan.

Avatar
  • February 5, 2025
  • 4 min read
  • 1304 Views
Pasangan ‘Green Flag’ di ‘1 Kakak 7 Ponakan’ Terlalu Sempurna untuk Jadi Nyata

Menghangatkan hati adalah dua kata yang pas untuk menggambarkan 1 Kakak 7 Ponakan, film Indonesia terbaru yang disutradarai Yandy Laurens. Selama kurang lebih dua jam, penonton disuguhi kisah penuh emosi tentang pengorbanan, tanggung jawab, dan cinta, yang dibungkus sedemikian rupa hingga membuat kita haru biru namun juga tersenyum.

Namun, ada satu hal dari film ini yang terus mengganjal di pikiran saya: hubungan Moko dan Maurin. Sebagai karakter utama, pasangan ini digambarkan sungguh ideal—Moko sangat bertanggung jawab, sementara Maurin begitu pengertian dan penuh dukungan. Kalau ada penghargaan untuk pasangan paling green flag, mereka pasti menang telak. Tapi saking terlalu green flag, muncul pertanyaan, memangnya orang seperti mereka benar-benar ada?

 

 

Baca juga: Review ‘Home Sweet Loan’: Impian Terjepit Generasi Sandwich

Moko dan Maurin kelewat green flag

Dalam film yang menyoroti isu sandwich generation ini, karakter Moko (Chicco Kurniawan) adalah contoh nyata dari generasi yang terjebak di antara tuntutan keluarga dan mimpi pribadi. Ditinggal wafat kakak dan kakak iparnya saat sedang menempuh S2 jurusan arsitektur, Moko harus menanggung beban berlipat: lima keponakan usia sekolah—bahkan ada yang masih bayi— dan juga merawat kakak serta kakak ipar yang lain. Ia akhirnya rela melepas mimpi pendidikan tingginya demi memastikan keluarganya tetap hidup layak. Luar biasanya, Moko menjalani semua itu tanpa keluhan sedikit pun. Tidak sekali pun ia menunjukkan rasa frustrasi di tengah tekanan yang begitu tinggi.

Di sisi lain, Maurin (Amanda Rawles), pacar Moko sejak kuliah, digambarkan sebagai sosok yang penuh welas asih, sabar, dan mengalah. Meski kerap dijadikan prioritas kesekian, bahkan setelah diputuskan sepihak, Maurin terus mendukung Moko tanpa syarat. Karakternya menjadi representasi tanpa cela dari my ride or die, alias orang yang selalu setia mendukung kita dalam situasi apa pun, baik suka maupun duka.

Karakter Moko dan Maurin dipuji sebagai  pasangan yang “green flag banget” dan menjadi gambaran pasangan ideal yang banyak didambakan orang. Namun, idealisasi berlebihan ini justru membuat karakter mereka terasa kurang realistis.

Baca juga: Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’

Konflik emosional yang terlalu diredam

Keadaan Moko mengingatkan saya pada konsep self sacrifice schema dalam psikologi, yakni pola pikir di mana seseorang terbiasa mengorbankan kebutuhan, keinginan, atau kepentingan pribadinya sendiri demi orang lain. Ketika dilakukan secara berlebihan, hal ini biasanya berdampak negatif, seperti rasa frustrasi atau kelelahan emosional. Tapi pada Moko, dampak ini nyaris tidak terlihat. Sesekali memang ia tampak lelah, tapi rasanya tidak sebanding dengan beratnya beban yang dipikul. Moko terus-terusan digambarkan sebagai “pahlawan” untuk keluarganya, tanpa ruang untuk menunjukkan kelemahan atau konflik batin yang lebih dalam.

Bahkan ketika keponakan-keponakan sudah cukup dewasa untuk bekerja, ia malah menyuruh mereka berhenti, seolah semua tanggung jawab harus tetap ada di pundaknya. Keputusannya untuk berpisah dengan Maurin juga ditampilkan terlalu sederhana, seolah-olah masalah hubungan dapat diselesaikan tanpa dinamika emosional yang kompleks. Semua ini membuat karakter Moko terasa kurang manusiawi.

Maurin pun berada dalam posisi serupa. Ia merasa bersalah setiap kali ingin mempertanyakan kebutuhan pribadinya dalam hubungan dengan Moko. Namun, pengertian dan dukungan Maurin yang tanpa batas itu justru menimbulkan pertanyaan: apakah dalam kehidupan nyata, orang harus mengabaikan kebutuhanya sendiri demi mendukung pasangannya? Wajar jika Maurin menujukkan rasa kecewa atau marah atas keputusan Moko, tapi film ini tidak memberi ruang untuk itu. Maurin tetap digambarkan sebagai pasangan yang stabil secara emosional hingga akhir, menjadikan karakter keduanya terasa kurang realistis.

Baca juga: 5 Film Indonesia 2024 dari #MadgeReview: Jeritan Milenial Sampai Konflik Masyarakat Adat

Penggambaran karakter Moko dan Maurin yang terlalu ideal tampaknya merupakan pilihan sadar dari penulis film ini. Namun, sebagai penikmat film—dan mungkin juga bagi penonton yang lain—karakter yang sepenuhnya ideal tidak selalu menarik. Kami juga ingin  melihat representasi karakter yang lebih jujur dalam mengekspresikan kompleksitas emosi manusia.

Tanpa mengurangi apresiasi atas besarnya tanggung jawab Moko terhadap keluarganya dan dukungan Maurin kepada Moko, saya merasa mereka nyaris tanpa konflik emosional di tengah situasi yang begitu pelik. Pada akhirnya, karakter Moko dan Maurin lebih menyerupai gambaran pasangan impian ketimbang representasi realistis pasangan pada umumnya dalam kondisi serupa.

Fatmache hobi menonton film dan mengopinikan pengalaman kegalauan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Fatmache

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *