Health Lifestyle

‘Revenge Bedtime Procrastination’, Menyenangkan tapi Buruk untuk Kesehatan

Menonton film dan membaca buku sebelum tidur ternyata bisa berdampak buruk untuk fisik dan mental.

Avatar
  • July 16, 2021
  • 4 min read
  • 303 Views
‘Revenge Bedtime Procrastination’, Menyenangkan tapi Buruk untuk Kesehatan

Di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, kita harus pintar-pintar mengatur waktu antara work from home (WFH) dan pekerjaan rumah tangga. Tak jarang, aktivitas ini justru memakan waktu lebih panjang ketimbang saat kita bekerja di luar rumah. Aktivitas yang tak kunjung ada habisnya ini cenderung memicu kebiasaan revenge bedtime procrastination.

Istilah tersebut pertama kali populer pada Juni 2020, lewat cuitan jurnalis Daphne K. Lee yang merujuk pada frasa dalam bahasa Mandarin “bàofùxìng áoyè.” Ia mendefinisikannya sebagai penundaan waktu tidur untuk melakukan kegiatan yang menyangkut kesenangan pribadi, lantaran tidak adanya waktu luang di siang hari. Adapun kegiatan yang dilakukan, yakni menonton film atau serial televisi, memantau media sosial, membaca buku, hingga bermain games.

 

 

Selain sebagai hiburan, kita tetap melakukan kebiasaan itu karena menganggap ini setimpal diberikan pada diri usai bekerja keras. Walaupun menyenangkan, sayangnya saya punya beberapa alasan kenapa kebiasaan ini harus kita tinggalkan.

Baca Juga: Tips Sehat untuk Generasi ‘Burnout’

Akibat dari Pandemi

Terbatasnya opsi hiburan selama pandemi semakin membuat revenge bedtime procrastination yang berhubungan dengan gawai menjadi pilihan. Belum lagi sulitnya menetapkan batas antara waktu bekerja dan kehidupan pribadi.

Pada 2020, World Economic Forum mencatat, selama WFH terdapat 31 juta pekerja dari 21 ribu perusahaan yang memiliki waktu kerja lebih panjang. Situasi ini semakin memicu timbulnya stres dan terganggunya waktu tidur, sebagaimana ditunjukkan dalam hasil penelitian Haitham Jahrami, dkk. yang berjudul “Sleep problems during the COVID-19 pandemic by population: a systematic review and meta-analysis” (2021). Penelitian tersebut menunjukkan, 40% dari masyarakat umum dan tenaga kesehatan memiliki gangguan tidur.

Debora (23) adalah salah satu orang yang mengalaminya. Ia menyebutkan jam kerjanya menjadi tidak pasti. Perempuan yang bekerja sebagai pegawai swasta itu menilai ruang kerja dan istirahat yang menjadi satu tempat, sangat mengganggu waktu rehatnya.

“Waktu sebelum pandemi, saya bisa melakukan hobi pas berangkat atau pulang kantor dan di rumah bisa langsung istirahat. Nah, kalau WFH kayak sekarang, saya selesai kerja antara pukul 19.00-21.00. Akhirnya baru sempat cari hiburan selepas jam kerja dan bisa sampai subuh,” ceritanya. Soal hiburan, Debora memilih untuk membaca utas di Twitter, menonton video di Youtube, atau maraton serial televisi selama 4-5 jam.

Selain Debora, Vanessa (21) mengaku kebiasaannya untuk mengulur waktu tidur meningkat saat pandemi. “Di awal kuliah online saya menonton tv series yang durasi per episodenya 2 jam. Itu nontonnya bisa sampai jam 02.00. Lama-lama ya sadar juga kalau itu terlalu ngambil waktu tidur, jadi harus bisa lawan rasa penasaran di setiap episodenya,” katanya. Bahkan, ia pernah menghabiskan waktu 8 jam untuk menonton serial televisi.

Baca Juga: Sleeping Beauty: Bagaimana Tidur Jadi Komoditas Langka Saat Dewasa

Gangguan Paparan Blue Light

Melansir WebMD, blue light dapat mengganggu kemampuan tubuh untuk bersiap tidur. Hal ini disebabkan oleh terhalangnya hormon melatonin yang membuat kita mengantuk sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur. Perlu diketahui, paparan blue light di malam hari membuat otak terkecoh karena mengira kita masih beraktivitas di siang hari.

Kondisi ini dialami oleh Tiara Aprilia (24) yang memiliki kebiasaan menggunakan TikTok dan Instagram sebelum tidur. Alih-alih mengantuk, ia justru semakin tak bisa tidur hingga jam 5 pagi, meskipun tahu harus bekerja di hari itu.

Untuk meningkatkan kualitas tidur, sebaiknya kita membatasi diri dalam menggunakan gawai. Penggunaannya perlu dikurangi mulai dari 2-3 jam sebelum tidur, atau memasang notifikasi screen time yang mengingatkan jam tidur setiap harinya.

Baca Juga: Jangan Tekan Kecemasan: Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Krisis Corona

Dampak Buruk bagi Tubuh

Terlepas dari aktivitasnya yang bersifat sebagai pelepas penat dan gangguan blue light, kebiasaan ini memiliki dampak buruk yang nyata bagi tubuh. Dalam podcast The Daily Helping, Dr. Richard Shuster, seorang psikolog klinis, menjelaskan adanya pengurangan tahap tidur Rapid Eye Movement (REM) jika seseorang menonton serial televisi selama 4 jam sebelum tidur.

Tahap ini memulihkan kondisi tubuh seseorang sehingga saat bangun tidur, tubuh terasa segar. Inilah sebabnya merelakan jam tidur untuk beberapa episode drakor favorit bisa membentuk pola tidur yang salah. Selain itu, Shuster juga menyebutkan tubuh kita akan tetap terasa lelah, meskipun sudah tidur selama delapan jam penuh.

Tiara pun merasakan situasi ini. Setiap hari ia merasa lelah dan mengantuk sehingga harus minum kopi.

“Ini kebiasaan buruk sih. Kalau minum kopi bisa langsung melek lagi kayak enggak capek, cuma efeknya deg-degan dan malamnya enggak bisa tidur lagi. Malah berulang terus siklusnya begitu,” ujarnya.

Mengutip Healthline, revenge bedtime procrastination dapat menyebabkan seseorang kurang tidur hingga meningkatkan beberapa risiko kesehatan, seperti penyakit jantung dan tekanan darah tinggi. Selain itu, kebiasaan ini dapat berpengaruh kesehatan mental, seperti depresi dan pengambilan keputusan, serta kesehatan emosional.

Hal ini dialami oleh Debora yang kerap kali merasa suasana hatinya buruk dan tidak dapat berpikir jernih saat bekerja. Namun, sepengalamannya, masalah itu dapat teratasi dengan jam tidur yang lebih lama.

Sebagai solusi untuk mengurangi “hutang” tidur, kita dapat menerapkan power nap selama 15-20 menit antara pukul 12.30-14.00. Kegiatan tersebut dapat meningkatkan psikomotorik, memori jangka panjang, kreativitas, dan membantu agar tetap fokus.


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *