Issues Politics & Society Prose & Poem

Review ‘Wahnan ala Wahnin’, Soroti Kesetaraan dalam Perkawinan dan Kesulitan Ibu

Buku ‘Wahnan ala Wahnin Pesan Kesalingan dalam Pernikahan’ berisi refleksi penulisan tentang kesulitannya jadi ibu, dan pentingnya pesan kesetaraan dalam pernikahan.

Avatar
  • December 13, 2023
  • 6 min read
  • 1133 Views
Review ‘Wahnan ala Wahnin’, Soroti Kesetaraan dalam Perkawinan dan Kesulitan Ibu

Kecil-kecil cabe rawit mungkin ungkapan yang pas buat menggambarkan buku terbaru Nur Kholilah Mannan. Cuma setipis 94 halaman, tapi “Wahnan ala Wahnin Pesan Kesalingan dalam Pernikahan” karya eks santri Pondok Pesantren Nurul Islam, Sumenep, Jawa Timur ini cukup bernas dan gamblang. Khususnya ketika menjelaskan betapa sulitnya menjadi ibu dan bagaimana relasi setara yang seharusnya dalam keluarga.

Kedua tema ini menurut Nur penting untuk dibedah lantaran selama ini, tafsir-tafsir di tentangnya mayoritas diprakarsai oleh laki-laki. Padahal, mereka tidak mengalami langsung susahnya pengalaman mengandung, melahirkan, dan menyusui.

 

 

Dalam tafsir laki-laki, konsep mubadalah (kesalingan) atau kerja sama antara suami istri dalam menjalankan peran dalam berumah tangga tidak disampaikan. Hal ini membuat pemahaman soal peran suami dan istri dalam benak banyak Muslim dan Muslimah Indonesia jadi terkotak-kotakkan. Biasanya itu sudah disesuaikan dengan peran gender tradisional yang justru lebih banyak mendatangkan kemudharatan dalam pernikahan.

Nur paham betul, bukunya bakal “berat” jika fokus berbicara soal tafsir agama saja. Karena itulah, ia memutuskan untuk memasukkan refleksi pribadi sebagai ibu. Sejak pertama kali membaca buku tersebut, pembaca akan langsung disuguhkan dengan cerita Nur mengandung, melahirkan, hingga menyapih. Ini jelas membuat pembaca jadi lebih mudah memahami konteks tafsir yang ia coba dalami.

Tak hanya itu, agar tulisannya tak terkesan menggurui atau menghakimi, ia juga kerap kali memberikan contoh kisah Rasulullah SAW. Cara ini bisa dibilang cukup ampuh untuk mendorong pembaca mempertanyakan ulang bias-bias mereka dan belajar memahami agama Islam yang lebih adil dan setara dari tuntunan Nabi.

Jangan Tinggalkan Ibu Sendirian

Sesuai dengan judul bukunya, tafsir utama yang ingin Nur coba dalami bersumber dari Surat Al-Luqman ayat 14 yang mengatakan, mengandung adalah pengalaman berat berkelanjutan (wahnan ‘alā wahnin). Semakin bertambah tua masa kehamilan, semakin berat dan masyakah (kesukaran) pembawanya, melahirkan sampai selesai masa nifas, menyusui kemudian menyapih. Beratnya pengalaman reproduksi perempuan ini sayangnya tak banyak dipahami dalam fiqh Islam.

Mufassir yang kebanyakan laki-laki nampaknya belum menemukan kata pas yang mampu merepresentasikan pengalaman khas perempuan. Tak ayal, ini membuat pemahaman masyarakat Muslim tentang segala kesukaran perempuan mengandung hingga menyapih cuma dipahami sebagai kodrat alami tanpa ada usaha untuk meringankan beban kesukaran itu.

Karena itu, dalam buku kecil ini Nur tidak hanya menjelaskan kembali keistimewaan posisi seorang ibu dengan segala beban reproduksinya. Namun juga pentingnya peran suami yang selama ini luput dibicarakan dalam fiqh Islam. Dalam memaknai wahnan ‘alā wahnin secara utuh, Nur menawarkan pesan kesalingan dalam ayat menyusui yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 233.

Selama ini kita memahami, ayat ini cuma berbicara soal peran kodratiah perempuan dalam menyusui karena ia telah dikaruniai kelenjar payudara untuk memproduksi asi. Namun menurut Nur, ayat ini nyatanya secara implisit membawa pesan penting bahwa menyusui adalah tanggung jawab bersama bagi kedua orang tua bukan ibu saja.

Dalam ayat ini dijelaskan, ayah memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan rezeki dan pakaian ibu. Penyebutan “rezeki dan pakaian” di sini menurut Nur hanya sekedar simbol dari sekian banyak kebutuhan suda ibu dan anak, sehinga sejatinya kebutuhan ibu saat menyusui bukan sekadar materiil melainkan juga immateril. Hal tersebut meliputi dukungan suami, komunikasi yang baik, serta luapan kasih sayang yang membuat ibu menyusui dalam kondisi baik dan bahagia.

Karena itu ayat tersebut sebenarnya memerintahkan suami dan ayah untuk mendampingi istrinya ketika menyusui dengan ASI eksklusif selama dua tahun. Laki-laki punya tanggung jawab memenuhi segala kebutuhan ASI, mulai alat pumping ASI, cooler bag, lemari khusus untuk menampung ASI, dan sebagainya. Tidak lupa ia menciptakan situasi dan kondisi rumah yang bersih dan bahagia.

Selain itu, ayat ini juga menegaskan tentang bagaimana setiap manusia tidak diberi beban melebihi kemampuannya. Oleh karena itu seorang ibu tidak boleh menderita karena anaknya. Begitu pula ayah. Dalam tafsir Baidhawi, penggalan ayat ini adalah representasi dari kesepakatan orang tua untuk memberikan yang terbaik dan menyayangi anak sepenuh hati. Sehingga dalam merawat anak sejak ia lahir ke dunia jelas bukanlah jadi tanggung perempuan semata, tetapi juga laki-laki. Perempuan dan laki-laki harus saling bahu membahu untuk merawat anaknya.

Tak lupa, Nur juga menggarisbawahi tentang bagaimana menyapih adalah kehendak bersama (ارادة) juga kerelaan( عن تراض  ) maka keduanya baru bisa tercapai dengan musyawarah (تشاور ). Dengan demikian, menyapih lagi-lagi dalam Islam lekat dengan pesan-pesan mubadalah atau kesalingan. Kesalingan di sini adalah keinginan dua orang tua untuk saling memberi kebaikan tanpa menimbulkan madarat bagi satu sama lain. Kesalingan tak harus berbentuk sama, asasnya adalah mengerjakan apa pun yang bisa kita kerjakan agar tak ada salah satu pihak dibiarkan berjuang dalam kesukaran seorang diri.

Pengkerdilan Peran Ayah

Pekerjaan perawatan termasuk di dalamnya kerja domestik hingga hari ini masih banyak dimaknai masyarakat sebagai kodrat perempuan. Mereka bisa hamil, melahirkan, dan menyusui maka sudah sepatutnya semua kerja perawatan dibebankan kepada mereka. Pemahaman ini menurut Nur salah kaprah dan sebenarnya bertentangan dengan agama Islam.

Tak heran kini kita mulai mengenal fenomena fatherless. Fenomena ini jamak di Indonesia, di mana laki-laki absen dalam proses tumbuh kembang anak. Nur pun menjelaskan fenomena ini seharusnya tidak ada jika kita memahami dengan benar bahwa institusi rumah tangga pada faktanya berasaskan ta’awn (saling membantu dalam kebaikan). Melalui landasan asas ini, saling membantu dan berbagi peran tak bisa dibantah lagi dan siapa saja yang mampu dialah yang berperan.

Langsung dari panutan seluruh umat Muslim dunia, Nur memberikan contoh kisah Nabi Muhammad SAW. Sosok yang selama ini ternyata aktif dalam kerja perawatan di tengah kesibukannya sebagai rasul, hakim, pemimpin, dan pedagang.  Kepada Ibrahim putranya sendiri, Nabi tak segan mencium, memeluk, dan membelai dengan kasih sayang. Kepada cucunya, Hasan, Husain dan Umama, Nabi berlaku serupa meski saat itu dalam tradisi Arab sikap Nabi dianggap tidak lumrah dilakukan laki-laki.  

Suatu hari Al-Aqra’ bin Habis At- Tamimi melihat Nabi mencium Hasan. Ia pun berkomentar, “Sungguh aku memiliki sepuluh anak dan belum pernah mencium satupun dari mereka.” Nabi merespons pernyataan Al-Aqra’ dengan sabda, “Man la yarham la yurham” yang berarti siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.

Laki-laki masa jahiliyah dulu tidak terbiasa menampakkan kasih sayang pada anak, sehingga akhirnya merasa malu jika punya kebiasaan yang berbeda dari kebiasaan nenek moyangnya. Namun Islam tulis Nur datang melalui Nabi Muhammad yang penuh kasih, sabar mengasuh dan mengasah kasih sayang dengan bahasa tubuh. Ini semua terwujud karena sikap timbal balik dari keluarga Nabi, yang memberi kesempatan setara untuk berperan dalam kerja-kerja domestik maupun publik.

Dalam kerja domestik, kata istri Nabi Humaira, Nabi terbiasa melakukan pekerjaan rumah dan melayani keluarga. Dalam kitab Fathu Al-Bam ada penjelasan tambahan dari Aisyah tentang bentuk pelayanan Nabi. Ia menambal sandalnya, menjahit baju, meletakkan barang di tempatnya, dan beres-beres rumah.

Dari kisah Nabi, Nur lalu menjelaskan tentang pemaknaan Baiti Jannati (rumahku surgaku). Menurut Nur, ini adalah gambaran keberhasilan sebuah rumah tangga untuk menjadikan tempat tinggalnya seperti surga. Keberhasilan ini tidak bisa dicapai jika ada satu pihak yang pasif mendukung penciptaan surga ini.

Baik laki-laki dan perempuan punya tanggung jawab untuk mewujudkannya. Istri bukan sekedar konco wingking yang hanya berada di belakang suami dan tidak berfungsi. Istri adalah partner yang setara, sehingga dalam kesukaran ia perlu diringankan bebannya dan itu adalah meringankan beban reproduksi dan kerja perawatannya


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *