Culture Screen Raves

‘The Zone of Interest’ dan Teror Berhari-hari Setelahnya

Di balik atmosfer monoton yang direkam sang sutradara, ada horor dan daya kejut yang akan bikin film ini terngiang-ngiang lama. Bahkan berhari-hari setelah kamu menontonnya.

Avatar
  • March 13, 2024
  • 5 min read
  • 1540 Views
‘The Zone of Interest’ dan Teror Berhari-hari Setelahnya

(Artikel ini mengandung sedikit spoiler)

The Zone of Interest betul-betul luar biasa. Sebuah film yang saking powerful-nya, bikin saya teringat dengan imaji-imaji yang ada di dalamnya berhari-hari setelah menonton. Film terbaru Jonathan Glazer ini bukan untuk semua orang. Beberapa teman menggelengkan kepala seusai menonton. Tapi banyak juga, seperti saya, yang terperangah dengan pertunjukan “sadis” yang ditampilkan film ini.

 

 

Tidak banyak yang bisa diceritakan tentang The Zone of Interest dari segi naratif. Premis singkat film ini adalah tentang kehidupan sebuah keluarga yang tinggal di samping kamp konsentrasi di Auschwitz.

Rudolf Höss (Christian Friedel) dan istrinya Hedwig Höss (Sandra Hüller) menjalani hari-hari mereka seperti layaknya keluarga yang fungsional di rumah mereka yang sungguh estetis. Taman mereka besar, dipenuhi dengan tumbuhan dan sayuran. Ada perosotan dan kolam renang. Semua ini terlihat menyenangkan kecuali background asap mengepul dan suara teriakan warga Yahudi yang disiksa dan dibunuh di sebelah.

review terbaru The Zone of Interest
Sumber: The New Yorker

Baca juga: 5 Buku tentang Palestina yang Harus Kamu Baca

Jonathan Glazer menyiapkan The Zone of Interest selama satu dekade. Persiapan yang lama ini terlihat jelas di layar. Glazer tidak hanya tahu benar cara membuatnya, tapi juga tahu bagaimana cara mengeksekusi idenya.

Salah satu hal revolusioner yang ia lakukan dalam The Zone of Interest adalah bagaimana ia membuat film tentang Nazi tanpa meromantisasi adegan penyiksaan. Film-film sejenis mempunyai kecenderungan untuk merekam adegan-adegan kejam tersebut demi thesis “lihatlah betapa kejam orang-orang ini”. The Zone of Interest menolak untuk merekam adegan tersebut. Sebaliknya, film ini bermain-main dengan bentuk. Ada dua film yang sebenarnya bermain di film ini. Film yang kita lihat (sebuah keluarga yang menjalani hari-harinya dengan damai dan bahagia) dan film yang kita dengar (keluarga yang digenosida). Hasilnya adalah sebuah tamparan yang sangat keras. Fakta bahwa film ini muncul saat Israel sedang melakukan hal yang sama pada Palestina dan banyak orang melakukan hal yang sama seperti keluarga Höss membuat film ini menjadi satu-satunya film paling penting saat ini.

Sumber: IMDB

Baca juga: Bias Media Barat dan Sejarah Israel Beri Keterangan Palsu

Mempertahankan yang Monoton Sekaligus Tak Membela Penindas

Dalam The Zone of Interest, Glazer sama sekali tidak tertarik untuk membuat apa yang dilakukan para penindas terlihat sinematik. Narasi dan gambar yang cenderung monoton justru mempertebal statement-nya. Satu-satunya adegan yang bisa dianggap perkembangan dalam cerita adalah ketika Rudolf dipindah-kerjakan dan Hedwig menolak keputusan itu. Sang istri merasa telah membuat “rumah” yang nyaman untuk keluarganya.

Sepanjang film, Glazer tidak pernah sekali pun memperlihatkan secara visual bagaimana pemimpin seperti Rudolf bekerja di kamp konsentrasi. Adegan yang berhubungan soal “pekerjaan” Rudolf dibuat sekasual mungkin. Orang-orang ini meeting di meja besar layaknya korporasi sedang meeting mingguan. Mereka berbicara soal instalasi “oven” yang baru layaknya orang mau pasang AC.

Gambaran yang sangat normal ini, dan bagaimana mereka memperlakukan orang Yahudi sebagai objek, membuat film ini lebih menyeramkan dari film-film seperti Saw atau Hostel.

Patut dicatat, dalam The Zone of Interest, Glazer tidak pernah sekali pun menggambarkan keluarga Rudolf sebagai keluarga yang kejam. Satu-satunya adegan yang mungkin terlihat seperti agresi, adalah ketika Hedwig memarahi salah satu PRT-nya setelah mendengar berita buruk tentang pekerjaan suaminya.

Rudolf digambarkan sebagai bapak yang baik. Suka mengajak anaknya berenang dan piknik. Hedwig digambarkan sebagai ibu yang hadir dalam kehidupan anak-anaknya. Gambaran yang indah ini membuat horor yang ada di layar terasa makin nyata. Kita tidak hanya akan terus mendengar teriakan orang-orang di luar rumah mereka, tapi juga ancaman-ancaman dituturkan seperti obrolan sehari-hari.

“Aku bisa menyuruh suamiku membuang abumu di sungai,” kata Hedwig sambil terus menghabiskan sarapannya.

Seorang teman menyebut The Zone of Interest seperti “nonton vlog Nazi”. Ini bukan komentar yang sepenuhnya salah. Glazer merangkai film ini tanpa kepribadian apa pun. Gambar-gambarnya tidak memiliki nafsu untuk membuat indah atau memberi makna tertentu.

Dalam video behind the scene yang saya tonton di Youtube, Glazer dan sinematografer Lukasz Zal menaruh kamera di berbagai lokasi. Glazer kadang menyembunyikan kameranya. Pergerakan kamera muncul hanya untuk menunjukkan setting, tidak ada keinginan untuk menyorot atau menoonjolkan emosi secara spesifik. Gambar yang begitu boring ini “kawin” dengan narasi Glazer yang tenang. Tidak ada tension, katarsis atau bahkan kejutan.

Kalau film-film Nazi lain mencoba untuk bertanya-tanya “bagaimana bisa melakukan kejahatan sebegini kejamnya”, Glazer berargumen bahwa “orang-orang jahat ini manusia biasa”.

ulasan The Zone of Interest
Sumber: Variety

Pembukaan, Pertengahaan, dan Penutupan yang Kuat

Film ini dibuka dengan layar gelap yang cukup lama dengan scoring yang begitu mengganggu dari Mica Levi. Ketika akhirnya gambar pertama muncul, efeknya adalah kejut. Layar yang tiba-tiba dipenuhi dengan keluarga yang sedang piknik setelah kegelapan yang cukup lama membuat silau. Di pertengahan film, Glazer menampilkan gambar bunga-bunga sebelum akhirnya dia mengisi layar dengan warna merah menyala. Ini mungkin satu-satunya momen di mana The Zone of Interest tertarik untuk membuat penonton merasakan teror.

Tentu saja The Zone of Interest berakhir tanpa ada konklusi, karena kita tahu bagaimana cerita ini berakhir. Kita yang sudah belajar sejarah.

Baca juga: Review ‘Perempuan di Rumah No.8’: Luka Perih dari Orang Terkasih

Glazer menutup film ini dengan jump cut yang begitu mengejutkan, tanpa aba-aba, yang membuat saya melongo. Setelah pesta berakhir, Rudolf menuruni tangga dan terlihat muntah-muntah.

Apakah asap orang-orang terbakar yang selama ini ia hirup akhirnya mempengaruhi kesehatannya? Atau apakah ia akhirnya tersadar bahwa pekerjaannya selama ini berhubungan dengan puluhan ribu nyawa menghilang? Semua itu tidak penting. Glazer berhasil membuat cermin raksasa yang sulit untuk dihiraukan. Dan kita semua dipaksa untuk melihat kita sendiri di pantulannya.

Artikel ini telah divitalisasi dan dipublikasi ulang pada 13 Maret 2024 untuk tujuan pendidikan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *