Culture Screen Raves

‘In the Name of God: A Holy Betrayal’: Bukti Media Terobsesi pada Adegan Pemerkosaan

Dokumenter Netflix ‘In the Name of God: A Holy Betrayal’ memperlihatkan bagaimana adegan pemerkosaan jadi sumber utama hiburan penonton.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 7 min read
  • 1618 Views
‘In the Name of God: A Holy Betrayal’: Bukti Media Terobsesi pada Adegan Pemerkosaan

Sejak pertama kali teaser dokumenter Netflix In the Name of God: A Holy Betrayal tayang, Chika Ramadhea tak sabar menontonnya. Ia antusias karena dokumenter itu mengangkat tentang sekte agama di Korea Selatan, isu yang jarang dibahas dan mayoritas ditutup-tutupi pihak berwajib.

Sayang, antusiasmenya berganti dengan perasaan tak menyenangkan. Ia memutuskan tak lanjut begitu menonton tiga episode pertama. Di episode-episode awal In the Name of God: A Holy Betrayal ditampilkan kasus kekerasan seksual berkedok agama oleh pemimpin sekte agama JMS (akronim dar Jesus Morning Star), Jung Myung Seok.

 

 

Pada April 2009, Jung Myung-seok dijatuhkan hukuman penjara sepuluh tahun karena pemerkosaan oleh Mahkamah Agung Korea. Pasca-dibebaskan pada 18 Februari 2018, Korea Post melaporkan, gerakan kepercayaan ini telah menjangkau lebih dari 70 negara.

Lepas dari ide ceritanya, kata Chika, adegan-adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh Jung kepada jemaat perempuannya ditampilkan secara eksplisit. Adegan yang membuat ia mual tak karuan.

“Ini pengalaman pertama kali dalam hidupku ketrigger waktu nonton bahkan aku sampai muntah nonton ini karena bener-benar begitu kejamnya digambarin adegan pemerkosaannya,” curhat Chika.

 Baca Juga:‘City of Joy’: Ubah Luka Korban Pemerkosaan Jadi Kekuatan

Saya sepakat dengan Chika. Selama menonton tiga episodenya yang masing-masing berdurasi sekitar 50 menit, saya diliputi perasaan tidak enak. Setiap adegan pemerkosaan membuat saya pusing, mual, dan marah. Apalagi mengingat korban-korban Jung juga banyak yang masih anak-anak.

Saya jadi berpikir, bagaimana rasanya jadi korban? Kenapa media punya obsesi terhadap kekerasan perempuan dan harus menampilkannya secara eksplisit?

Obsesi Media pada Pemerkosaan

Sebelumnya di artikel Magdalene pernah dijelaskan bagaimana publik sangat terobsesi dengan genre true crime. Genre sastra, podcast, dan film non-fiksi yang berfokus pada kejahatan aktual dan merinci peristiwa kejahatan dengan melibatkan orang-orang nyata di dalamnya.

Dalam genre ini, kejahatan yang dilakukan pelaku diglorifikasi, sementara narasi dari korban sering kali dibungkam. Ini membuat para pelaku justru lebih populer dan menurut The Conversation memicu adanya copycat atau peniru.

In the Name of God: A Holy Betrayal adalah salah satu produk dari genre true crime. Sama seperti produk true crime pada umumnya, serial ini punya porsi banyak menceritakan kejahatan Jung, lengkap dengan rekonstruksi adegan-adegan pemerkosaan eksplisit. Narasi korban hanya dijadikan plot device untuk mendukung glorifikasi kejahatan Jung. Di saat bersamaan, narasi ini juga dijadikan bahan sob story atau cerita sedih pemantik simpati.

Sayangnya, In the Name of God: A Holy Betrayal bukanlah yang pertama kali menampilkan adegan-adegan pemerkosaan eksplisit untuk tujuan hiburan. Ini terlihat dari berbagai dokumenter tentang pemerkosa berantai, film, dan serial TV. Games of Thrones, baik versi buku atau serialnya, memuat banyak adegan pemerkosaan eksplisit. Pun, The Girl with the Dragon Tattoo (2011) yang memenangkan lima piala Oscar dan film Holy Spider (2022), keduanya juga dikenal lewat adegan pemerkosaan eksplisit.

Sementara itu, Laura Hudson dalam tulisannya di Wired mengatakan, obsesi media terhadap adegan pemerkosaan timbul karena pemerkosaan bisa menimbulkan perasaan yang kuat kepada audiens. Bahkan ketika dipisahkan dari semua konteks dan konsekuensinya.

Ini dianggap pembuat media sebagai kesempatan emas untuk menarik perhatian audiens. Istilahnya adalah“resep drama murahan” yang membuat penonton jadi ketagihan.

Dalam analisis feminis Şehriban Kaya, profesor dari Dokuz Eylül University, cara media memperlakukan adegan pemerkosaan ini tak lepas dari pandangan patriarki terhadap perempuan. Perempuan di dalam masyarakat, kata dia, akan selalu dilihat sebagai satu-satunya objek yang dapat dieksploitasi. Karena itu, dalam media, perempuan hanya ditampilkan dalam dua cara. Perempuan adalah objek erotis bagi laki-laki (jika film atau serial fiksi berarti karakter laki-laki, jika dokumenter berarti pelaku kekerasan) dan sebagai objek erotis bagi audiens dalam relasi seksual heteroseksual aktif/pasif.

Baca Juga:Superhero Perempuan dan Problematika Representasinya

Dengan cara pandang ini, tak heran narasi kekerasan perempuan di media sering kali masuk dalam kategori torture porn atau ‘pornografi penyiksaan’. Ini didefinisikan sebagai penggambaran perempuan yang diperkosa dan disiksa secara brutal atas nama hiburan.

Torture porn menurut Kaya sebenarnya sama saja dengan melakukan erotisasi kekerasan terhadap perempuan. Pasalnya, seksualitas perempuan korban hampir selalu menjadi pusat perhatian. Lewat penempatan tersebut, media sebenarnya juga tak pernah memosisikan pemerkosaan sebagai isu serius melainkan komoditas belaka.

Dalam kaitannya dengan dokumenter In the Name of God: A Holy Betrayal, adegan pemerkosaan eksplisit juga jadi salah satu jualan utamanya. MBC yang memproduksi dokumenter ini bahkan menyewa aktor untuk memerankan adegan-adegan eksplisit. Ada unsur kesengajaan untuk membuat adegan-adegan ini jadi sensasional.

Tak cuma itu, perempuan korban digambarkan sebagai perempuan muda, cantik, dan seksi di dokumenter ini. Sebuah cara yang ditulis oleh Rachel Edidin, kontributor Wired hampir selalu digunakan media untuk melakukan dehumanisasi pada perempuan bahkan dalam konteks kekerasan.

The women are exaggeratedly — and always — sexy. They’re sexy on the phone. Sexy on the job. Sexy fighting. Sexy tortured. Sexy dead. Sexy raped.”

Tanpa memikirkan kondisi korban apalagi sampai sekarang persidangan atas kasus pemerkosaan yang dilakukan Jung belum kunjung dilakukan, In the Name of God: A Holy Betrayal justru menjadikan pengalaman kekerasan dan trauma sebagai barang jualan. Hiburan bagi penontonnya. Boro-boro bicara simpati.

Baca Juga:Film Sebagai Katarsis Bagi Penyintas Kekerasan Seksual

They’re watching it but in mere hours they will get over it.

Ada Cara Lain untuk Menceritakan Pengalaman Kekerasan Seksual

Hudson menuturkan, kendati pemerkosaan dilihat sebagai kejahatan, tetapi dengan maraknya penggambaran sensasional terkait kekerasan, muncul penyempitan makna dari definisi pemerkosaan itu sendiri. Ia mencontohkannya lewat istilah seperti pemerkosaan abu-abu atau grey rape dan “rape-rape” (alias pemerkosaan “nyata”).

Eufimisme ini pun Hudson kaitkan dengan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Violence and Gender. Penelitian terhadap 86 mahasiswa laki-laki itu menemukan, sekitar satu dari tiga mahasiswa laki-laki bersedia memperkosa perempuan jika tidak ada konsekuensinya, dan hanya jika kita tidak menyebutnya “pemerkosaan.”

Bagi mereka, penolakan atau ketidaktertarikan perempuan dipandang sebagai hal yang tidak tulus atau tidak penting. Pun, penggunaan kekerasan atau paksaan dipandang sebagai hal yang dapat diterima, atau berada di wilayah “abu-abu” yang samar-tetapi bukan “rape-rape.”

Itulah mengapa definisi pemerkosaan dan persetujuan menjadi sangat penting dan menurut Hudson, segala bentuk media yang memperkuat gagasan-gagasan ini secara aktif memungkinkan terjadinya kekerasan seksual ini. Pada gilirannya ini dapat menjauhkan realita pemerkosaan dari masyarakat sendiri dan orang-orang yang mereka kenal.

Memang benar pengalaman kekerasan perempuan dalam hal ini pemerkosaan layak untuk diceritakan ke publik. Namun, tanpa penelitian yang mendalam mengenai masalah, stereotip, dan perjuangan yang dihadapi para korban pemerkosaan, termasuk apa yang membuat kekerasan seksual berbeda dengan bentuk kekerasan lainnya, adegan-adegan ini tak punya faedah sama sekali.

Karena itu, menurut Edidin penting sekali bagi media yang tetap ingin menceritakan pemerkosaan untuk mempertimbangkan aturan dasar. Di antaranya adalah:

Jika kita tidak memahami apa yang dimaksud dengan pemerkosaan, kita tidak boleh merekam adegan pemerkosaan.

Jika kita tidak memahami bagaimana menggambarkan pemerkosaan tanpa menseksualisasikannya, kita tidak boleh menggambar adegan pemerkosaan.

Jika kita tidak memahami implikasi dari menambahkan pemerkosaan secara grafis ke dalam narasi, kita tidak boleh melakukannya.

Terakhir, tak kalah penting dibandingkan menggambarkan adegan eksplisit, media bisa melakukan pendekatan implisit untuk menceritakan pemerkosaan. Ini dilakukan oleh Dana Stevens dan ketiga produser perempuan Maria Bello, Viola Davis, dan Cathy Schulman dalam menggarap The Woman King (2022). Film ini sangat kental dengan isu pemerkosaan dan trauma Nanisca sebagai penyintas.

Namun, alih-alih memperlihatkan adegan pemerkosaan secara grafis, keempat perempuan ini justru disampaikan lewat petunjuk-petunjuk kecil, metafora mimpi serta ritual budaya yang bisa dipahami penonton dengan mudah.

Dengan cara ini, baik Stevens, Bello, Davis, Schulman tetap bisa menyampaikan isu kekerasan terhadap perempuan dengan membumi dan tidak mengurangi esensi utamanya. Tak kalah penting, dengan tidak menggambarkan adegan pemerkosaan eksplisit ini berarti ada porsi yang lebih banyak diberikan kepada korban. 

Bagaimana mereka mengatasi trauma. Bagaimana mereka bisa membangun ruang aman untuk dirinya sendiri dan penyintas lain. Hal yang justru lebih penting untuk diketahui penonton dibandingkan dengan menonton ramai-ramai pengalaman traumatis mereka.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *