Review ‘Kisah Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang’: Lagu Lama Keegoisan Manusia
Buku ‘Kisah Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang’ mengritik manusia-manusia egois yang kerap memicu petaka.
Zorbas, kucing rumahan bertubuh gemuk sedang berjemur di atas balkon. Sinar matahari siang itu membuat ia semakin menikmati momen liburan. Momen yang sangat langka ketika ia bisa jauh dari majikan yang takkan balik ke rumah selama empat minggu ke depan.
Sayang, momen itu hancur seketika. Persis saat menelungkupkan badan agar matahari bisa menyinari punggung, Zorbas mendengar dengungan benda terbang yang mendekati dirinya dengan kecepatan tinggi.
Bruk!
Zorbas melonjak kaget. Ia melihat gumpalan bulu yang kotor sekali berwarna hitam pekat dan mengeluarkan bau menyengat. Ternyata gumpalan bulu itu adalah burung camar betina. Namanya Kengah, tubuhnya tertutup limbah minyak manusia.
Limbah minyak membuat bulu-bulu Kengah kaku dan tak bisa terbang. Ia sekarat. Tahu waktu tinggal sebentar lagi, Kengah meminta Zorbas berjanji untuk mengerami telur dan mengajari anak piyiknya terbang. Sebagai kucing pelabuhan, Zorbas pantang melanggar janji.
Dari sinilah kisah menarik keduanya dimulai. Jauh dari amatan manusia, Luis Sepúlveda penulis kebangsaan Chile meramu cerita yang ringan tapi kritis. Berjudul Kisah Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang yang diterjemahkan dan diterbitkan Marjin Kiri, novel yang tak sampai seratus halaman ini, mampu timbulkan renungan mendalam tentang perilaku manusia yang merusak alam dan memicu kerugian bagi makhluk hidup di sekitarnya.
Baca juga: Review ‘Gadis Kretek’: Rahasia Kretek Djagat Raja dan Dendam Cinta Segitiga
Keegoisan Manusia
Manusia adalah pusat semesta (antroposentrisme) dan karenanya kerap bertindak egois, menurut Sutoyo dalam Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup (2013). Fakta ini tidak terbantahkan. Lihat saja bagaimana karya sastra sampai sekarang masih didominasi oleh narasi tunggal dari sudut pandang manusia. Narasi itu bikin segala sesuatu di sekitar manusia jadi objek pasif. Mereka ada untuk membantu bahkan jadi alat untuk menghadapi segala kesepian dan rintangan manusia.
Sepúlveda berusaha mengganti paradigma ini lewat kisah para hewan (fabel). Dengan menjadikan Zorbas sebagai tokoh utama dan dunia hewan sebagai pusat narasi, ia menekankan betapa antroposentrisme berhasil mendatangkan bencana. Manusia yang cuma hidup untuk diri sendiri tanpa pikir panjang membuang limbah minyak yang membuat banyak biota laut dan hewan seperti camar mati mengenaskan.
“Kadang aku berpikir apa manusia memang benar-benar sudah gila, sebab mereka seperti ingin mengubah laut menjadi tempat pembuangan sampah raksasa.” – Banyubiru, kucing pelabuhan teman Zorbas.
Sudah bikin bencana, manusia juga tak mau tanggung jawab. Dalam benak manusia, yang penting cuma satu. Kalau limbah itu dibuang ke laut, mereka tak perlu pusing-pusing mengolahnya. Tak perlu ada biaya tambahan dan hidup mereka di darat tak secara langsung terkena dampaknya. Sebaliknya yang justru kena getahnya adalah para hewan. Karena keegoisan manusia, mereka harus memikirkan seribu cara untuk bisa bertahan hidup dan membantu sesamanya.
Dilansir dari laman resmi National Ocean Service Amerika Serikat, limbah minyak menghancurkan kemampuan isolasi mamalia berbulu, seperti berang-berang laut, dan daya tolak air pada bulu burung, sehingga membuat bulu hewan-hewan ini seakan diberi power glue. Tanpa kemampuan untuk menolak air dan melindungi diri dari air dingin, burung dan mamalia akan mati karena hipotermia.
Penyu remaja juga dapat terperangkap dalam minyak karena mengira itu adalah makanan. Lumba-lumba dan paus dapat menghirup minyak, yang dapat memengaruhi paru-paru, fungsi kekebalan tubuh, dan reproduksi. Banyak burung dan hewan juga menelan minyak saat mereka mencoba membersihkan diri dari “racun” tersebut.
Dalam Kisah Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang, dampak langsung dari limbah minyak terlihat jelas dari kematian Kengah. Bulu-bulunya yang kena minyak jadi mengeras. Ia tidak bisa terbang. Ia juga jadi menghirup racun langsung dari bulu-bulunya yang diselimuti limbah hitam pekat. Semenjak kematian Kengah, Zorbas pun jadi dapat tumpukan masalah baru.
Bagaimana caranya kucing bisa mengerami telur, memberi makan si piyik ketika sudah mengetas, melindungi piyik dari incaran kucing dan tikus lapar, dan yang paling sulit adalah bagaimana kucing mengajari burung camar terbang. Satu hewan terbunuh tapi dampaknya luar biasa bagi para hewan lainnya. Ini yang tak pernah dipikirkan manusia dan keegoisannya.
Hewan yang Dieksploitasi Manusia
Rene Descartes dan Immanuel Kant adalah filsuf modern yang karya-karyanya hingga saat ini masih dibaca dan jadi rujukan bagi banyak orang. Sama seperti Aristoteles yang mengedepankan paradigma antroposentrisme, ketiganya menyatakan, manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainnya, karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional (free and rational being).
Manusia punya akal. Manusia punya hasrat dan keinginan. Manusia juga punya daya pikir kritis nan terstruktur, terlihat dari bagaimana mereka bisa menggunakan simbol-simbol bahasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Dengan paradigma ini, Descartes menanamkan konsep dualisme. Dalam penelitian The Trouble with Anthropocentric Hubris, with Examples from Conservation (2021) dijelaskan jika manusia adalah entitas tertinggi maka alam beserta hewan dan tumbuh-tumbuhan di dalamnya adalah entitas rendah. Ada penghapusan hubungan kekerabatan dengan dunia non-manusia. Alam dan seisinya karena bukan makhluk berkesadaran dijadikan mesin yang memungkinkan pikiran manusia untuk mempertahankan posisi yang lebih tinggi dan seperti Tuhan ‘di luar’ dunia.
Memperkuat pendapat tersebut, Immanuel Kant menegaskan, hanya manusia yang merupakan makluk rasional, maka mereka (alam dan seisinya) tidak berhak untuk diperlakukan secara moral. Selain itu, manusia tidak mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral terhadapnya. Semua entitas alam hanyalah alat yang sah digunakan untuk memenuhi tujuan hidup manusia.
Paradigma ini mengakar dalam benak manusia dan menjadikannya sebagai alat justifikasi perusakan dan eksploitasi alam. Paradigma ini pula yang membuat manusia mengeksploitasi besar-besaran pada hewan untuk hiburan semata. Parahnya lagi, ketika ada hewan yang dianggap manusia “cerdas” maka level eksploitasi ini akan semakin meningkat.
Lihat saja para lumba-lumba dan paus orca di taman hiburan. Karena dianggap cerdas oleh manusia, mereka dikurung dalam akuarium selama puluhan tahun. Mereka diajarkan berbagai trik yang semuanya dilakukan hanya untuk hiburan manusia semata.
Dalam novel tipis Sepúlveda ini, eksploitasi hewan tergambarkan dari bagaimana burung beo yang ditemui Zarbos dikurung dalam sangkar hanya untuk disuruh menirukan ocehan omong kosong manusia. Eksploitasi ini juga terlihat dari sosok simpanse bernama Matias. Matias dimiliki seorang mantan pelaut bernama Harry. Ia dijadikan “peliharan” dan dipekerjakan sebagai penjaga toko antiknya. Ketika haus, Matias diberikan bir bergelas-gelas jumlahnya. Hal ini membuat Matias jadi simpanse yang pemabuk.
Selain eksploitasi kedua hewan ini, penghapusan hubungan kekerabatan dengan dunia non-manusia juga tergambar dari kehidupan Zorbas. Para pecinta kucing mungkin akan tersentil pada narasi ini. Namun, Sepúlveda tidak ragu menggambarkan narasi eksploitasi para pecinta kucing yang sebenarnya masih terjebak dalam paradigma antroposentrik.
Lewat Zorbas yang selama ini selalu membayangkan kehidupan yang bebas setelah majikan pergi berlibur, Sepúlveda memperlihatkan kebebasan tidak tunggal milik manusia.
Hewan juga ingin mencicipi kebebasan. Itu naluri dan panggilan eksistensialisnya sama persis seperti manusia. Kebebasan Zorbas untuk hidup sesuai apa yang dia kehendaki, bercengkrama dengan para kucing pelabuhan lainnya dan memutuskan membesarkan serta mengajari piyik camar terbang dalam hal ini jadi antitesis penting bahwa manusia perlu memahami posisinya dengan makhluk hidup di sekitarnya.
Pada akhirnya, walau hanya berjumlah 89 halaman saja novel karya Sepúlveda adalah karya ringan namun begitu menggigit bagi para pembaca muda maupun tua. Karyanya ini mengajarkan tanpa menggurui bahwa selama ini kita hidup dengan paradigma yang salah. Kita perlu merenungi bahwa manusia tidak hidup dan tidak bisa hidup sendiri. Karena itu, penting bagi kita untuk menghargai alam dan seisinya.