‘Perang Kota’, Set Mewah, dan Ambisi “Film Perjuangan” yang Meleset
Perang Kota (judul internasional: This City is a Battlefield) adalah film yang rilis di momen yang secara historis dan sinematik menarik.
Baru-baru ini, salah satu artefak penting sejarah film Indonesia, Turang (1960), ditemukan kembali di Rusia setelah lama dianggap hilang akibat pembersihan politik Orde Baru. Film yang disutradarai Bachtiar Siagian ini tengah diputar secara keliling di berbagai kota lewat pemutaran komunitas, membuka kembali ruang diskusi tentang bagaimana sinema Indonesia merekam perang kemerdekaan dan dampaknya terhadap masyarakat sipil.
Kedua film ini—Perang Kota dan Turang—bicara tentang perjuangan, kekalahan, dan luka, namun dari pendekatan yang sangat berbeda. Turang adalah sebuah potret neorealis, tentang manusia biasa dalam ketegangan sejarah besar. Perang Kota, adaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, memilih jalur tragedi psikologis, dengan lapisan-lapisan hasrat, pengkhianatan, dan trauma pasca-perang.
Perbandingan ini bukan soal mana yang lebih baik, tetapi menunjukkan bagaimana narasi kemerdekaan bisa didekati dari berbagai sudut, dan bagaimana konteks hari ini memengaruhi cara kita menonton ulang (atau menonton baru) film-film seperti ini.
Disutradarai oleh Mouly Surya, Perang Kota tayang perdana di International Film Festival Rotterdam pada Februari 2025 dan melibatkan kolaborasi dengan Hubert Bals Fund serta Purin Pictures.
Berlatar Jakarta tahun 1946, film ini mengikuti Isa (Chicco Jerikho), mantan pejuang kemerdekaan yang kini menjadi guru sekolah dasar. Ia hidup dengan finansial pas-pasan, dalam bayang-bayang trauma, impoten secara seksual, dan perlahan kembali terseret ke dalam konflik bersenjata melawan tentara Belanda. Di tengah ketegangan itu, Isa harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Fatimah (Ariel Tatum), secara diam-diam menjalin hubungan seksual dengan Hazil (Jerome Kurnia), murid dan rekan seperjuangannya sendiri.
Baca juga: Menonton Kembali ‘Turang’, Film yang Dilarang dan Dilenyapkan Orde Baru
Eksplorasi Karakter yang Tanggung
Drama segitiga ini seharusnya menjadi inti emosional film: Sebuah tragedi runtuhnya rumah tangga di tengah runtuhnya stabilitas negara. Sayangnya, konflik ini tidak berkembang dengan cukup matang. Isa, Fatimah, dan Hazil adalah karakter-karakter yang mengandung potensi psikologis besar, tapi tidak pernah terasa benar-benar hidup atau mengalami perkembangan emosional yang kompleks. Ketegangan antar-mereka lebih banyak ditunjukkan lewat kode-kode visual yang kurang membekas, tanpa dukungan dramatik yang cukup untuk membuat kita peduli.
Isa, misalnya, adalah potret laki-laki yang kalah di tubuh dan di ranjang, tetapi pergulatan internalnya sebagai karakter terasa stagnan. Bahkan, tindak kekerasan yang ia salurkan atas nama perjuangan, tidak berhasil hadir sebagai eksternalisasi dari gemuruh batinnya.
Fatimah, yang seharusnya mengisi posisi rumit sebagai perempuan yang mencintai suaminya tapi juga mencari keintiman di tempat lain, justru tampil datar. Posisinya nyaris hanya jadi “fungsi” dalam struktur narasi.
Hazil pun tak kalah tumpul. Relasi kekuasaannya dengan Isa dan relasi emosinya dengan Fatimah tidak pernah diperdalam; yang terjadi hanyalah pertukaran peran tanpa penggalian. [SPOILER] Itulah kenapa, saat Hazil tewas di sekuens puncak, tidak menimbulkan rasa kehilangan dari sisi penonton. Pun filmnya tidak berupaya mengeksplor bagaimana tragedi itu memengaruhi Isa setelahnya.
Baca juga: Arti Ingatan dan Kematian Penyintas 1965 dalam Dokumenter ‘Eksil’
Set Mewah yang Tak Berarti Persembahan Wah
Padahal, film ini punya ambisi besar. Dengan skala produksi yang luas dan production value yang dipuji “megah” dalam banyak diskursus online, Perang Kota mencoba membungkus drama personal dengan latar historis yang monumental. Tapi, megah tidak selalu berarti mewah. Justru banyak elemen visual film ini terasa generik, dan bisa saya deskripsikan sebagai estetika produksi Netflix dalam konotasi negatif: mahal, tapi tidak bernyawa. Set dekor dan kostum terasa seperti properti panggung, bukan dunia yang hidup. Ada jarak antara apa yang dilihat dan apa yang dirasakan.
Kritik soal “estetika Netflix” ini juga tidak muncul dari ruang hampa. Mouly Surya sebelumnya menyutradarai Trigger Warning (2024), film Hollywood pertamanya yang didistribusikan Netflix, dibintangi Jessica Alba.
Film tersebut adalah produk khas Hollywood pasca-9/11: militerisme terang-terangan, biner moral antara aparat negara dan “teroris”, dan glorifikasi kekerasan sebagai solusi. Sensibilitas action generik ala Trigger Warning—koreografi yang bersih, resolusi cepat, estetika kekerasan tanpa beban moral—terasa menempel dalam Perang Kota. Adegan-adegan aksinya didesain lebih untuk terlihat keren ketimbang menyakitkan atau ambigu.
Baca juga: Film Indonesian Calling: Narasi Sejarah Kemerdekaan yang Terlupakan
Ini juga terbaca dari bagaimana Isa digambarkan. Meski secara psikologis ia adalah karakter yang kalah dan tergilas sejarah, tubuhnya tidak demikian. Ia digambarkan kekar, maskulin, penuh otot, bahkan sempat tampil shirtless dalam adegan yang sangat “Hollywood”—figura pahlawan yang tetap gagah meski kalah. Tubuh Isa ditampilkan menyerupai bintang action konvensional ketimbang veteran yang hancur pelan-pelan dari dalam.
Kendati demikian, bukan berarti Perang Kota tidak memiliki nilai. Keberaniannya untuk mengangkat tema seksual dan konflik rumah tangga di tengah film bertema perjuangan tentu langkah yang tak lazim di perfilman Indonesia. Tapi kebaruan ini tidak didukung oleh eksplorasi mendalam. Hasilnya adalah film yang seolah ingin bicara banyak tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Sebagai bagian dari sejarah sinema Indonesia kontemporer, Perang Kota menarik untuk ditonton bukan hanya sebagai adaptasi sastra atau sebagai narasi sejarah, tetapi sebagai cermin dari cara industri film kita hari ini melihat masa lalu. Film ini mungkin tidak berhasil secara emosional, tapi tetap memberi kita ruang refleksi: bagaimana memaknai kemerdekaan, trauma, dan kehancuran personal dalam bayang-bayang perang.
Dalam konteks hadirnya kembali Turang ke tengah publik hari ini, Perang Kota menjadi lebih dari sekadar film baru. Ia jadi bagian dari percakapan lintas zaman tentang apa yang dimaksud dengan “film perjuangan”—dan bagaimana tubuh, hasrat, dan rumah tangga bisa menjadi medan perang yang tak kalah getir dari tembakan dan granat.
















