Screen Raves

Review ‘The Boys’: Sadis, Satir, Sarat Humor

Saya kira superhero fatigue adalah frasa aneh yang hadir hanya karena sekarang Hollywood sibuk bikin film superhero. Namun, setelah menonton The Boys, kelelahan itu hilang.

Avatar
  • July 11, 2022
  • 5 min read
  • 3821 Views
Review ‘The Boys’: Sadis, Satir, Sarat Humor

Artikel ini mengandung sedikit spoiler.

Diadaptasi dari komik karya Garth Ennis dan Darick Robertson, The Boys punya premis sederhana: Bagaimana kalau kita hidup berdampingan dengan superhero sungguhan? Premis ini lantas diaduk sedemikian rupa, sehingga ia menjadi satir yang menarik.

 

 

Superhero di dunia The Boys memang memiliki kemampuan super, mereka juga “bekerja” untuk menyelamatkan orang. Namun, tak seperti superhero manis yang kita biasa tonton di MCU atau film-film DC, superhero dalam The Boys tak pernah takut-takut mengotori tangan mereka dengan darah. Kalau manusia tanpa kekuatan super saja bisa melakukan hal-hal buruk, bayangkan apa yang bisa diperbuat mereka yang tahan dengan peluru dan bisa terbang.

Episode pertama The Boys dibuka dengan perkenalan yang baik. Laki-laki bernama Hugh (Jack Quaid) kehilangan kekasihnya di trotoar karena dia ditabrak oleh superhero hingga badannya berceceran di jalanan. Opening ini tidak hanya mengenalkan kita terhadap moral karakter-karakternya tapi juga tontonan seperti apa yang akan kita nikmati. Walaupun The Boys adalah serial superhero, jangan sekali-sekali kamu mengajak penonton di bawah umur untuk menyaksikan program ini. Anggota tubuh yang terbengkalai di awal serial hanyalah puncak dari gunung es.

Hugh akhirnya bergabung dengan kelompok yang sama-sama berjuang untuk menunjukkan kepada dunia, para superhero bersama korporasi yang menaungi mereka, yaitu Vought, adalah orang-orang busuk. Kalau musim pertamanya Hugh bersama Billy (Karl Urban), Mother’s Milk (Laz Alonso), Frenchie (Tomer Capone), dan Kimiko (Karen Fukuhara) mencoba meyakinkan kita bahwa superhero ini jahat, musim kedua mereka disibukkan dengan superhero yang ternyata seorang Nazi.

Baca juga: Superhero Perempuan dan Problematika Representasinya

Villain adalah Kunci

Penjahat yang bagus adalah resep utama guna membuat tontonan superhero paripurna. Hitung berapa kali Joker muncul di film Batman. Waktu telah berlalu tapi kita masih tetap melihat penjahat yang sama. Itu karena pembuatnya tahu, hubungan Joker dan Batman selalu asyik untuk dieksplorasi. Sebelas dua belas, The Boys menurut saya tidak akan menjadi tontonan yang baik kalau dia tak punya villain yang meyakinkan: Homelander (Antony Starr).

Homelander adalah apapun yang kamu inginkan dalam sosok villain. Ambisi yang kuat, ego setinggi angkasa, dan cara berpikir yang sudah “tidak bisa diselamatkan lagi”. Tambahkan fakta bahwa dia memiliki kemampuan seperti Superman (sinar mata laser, bisa mendengar dari jauh, matanya bisa menembus tembok, tahan peluru, dan bisa terbang) akan membuatmu sepakat ia sosok menyeramkan.

Kabar baiknya, para pembuat The Boys sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membuat Homelander terlihat abu-abu. Tidak ada backstory yang menyedihkan atau masa lalu yang membuat iba. Orang berbahaya ini dicitrakan sebagai megalomania yang mempunyai kemampuan super. Inilah yang kemudian membuat konflik The Boys sungguh seru.

Jika musim kedua The Boys membahas tentang “apa yang terjadi kalau Homelander memiliki pacar yang sama bejatnya”, topik di musim ketiga adalah “apa yang bisa membuat Homelander meninggal dunia”. Bagaimana cara membunuh orang yang tidak bisa dibunuh?

Masuklah Jensen Ackles sebagai Soldier Boy, superhero dengan kemampuan luar biasa yang dipercaya bisa membinasakan Homelander. Soldier Boy diceritakan sudah meninggal dunia puluhan tahun lalu tapi geng The Boys menemukannya sedang dibekukan di Rusia. Kocaknya, menyelamatkan Soldier Boy ternyata tidak mempermudah urusan mereka. Soldier Boy sama buruknya dengan Homelander, dan sekarang geng The Boys justru punya masalah baru yang sama peliknya.

Baca juga: ‘Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings’ Runtuhkan Stereotip Perempuan Asia

Serial The Boys Merupakan Penawar Jika Kamu Jenuh dengan Tontonan Superhero

Eric Kripke, kreator The Boys, bersama Amazon Prime merilis serial ini di saat yang sangat tepat. Ketika penonton sudah mulai jenuh dengan tontonan superhero yang begitu-begitu saja (main aman, tidak banyak eksplorasi, dan akhirnya mudah ditebak), Kripke menawarkan alternatif cerita superhero yang menyegarkan. Tidak bisa dimungkiri, di awal episode, kamu bisa melihat serial ini terlalu bergantung dengan shock value (ketelanjangan dan graphic violence). Namun, seiring dengan berjalannya waktu, saya melihat The Boys beranjak dewasa.

Tidak seperti dua musimnya yang sungguh liar (bayangkan bayi bermata laser yang digunakan karakter protagonis untuk mengiris para penjahat), musim ketiga The Boys dibuat dengan sebuah konklusi yang agak lebih kalem. Hebatnya, pembuat The Boys bisa melakukan itu tanpa mengorbankan konsistensi cerita dan perkembangan karakter yang sudah ada.

Di akhir musim ketiga, kita melihat superhero yang memutuskan untuk berhenti melayani korporasi yang selama ini membohongi publik, laki-laki yang memutuskan untuk menyembunyikan rahasia demi misi terakhir, dan ayah yang menunjukkan ke anaknya bahwa mengontrol massa adalah hal mudah. Ini semua dibungkus dalam satu episode, yang seperti biasanya, penuh dengan baku hantam.

Baca juga: Ada hubungan antara Superhero, Ketaatan, dan Mengapa Kita Percaya pada Tuhan

Mungkin bagian terbaik dari The Boys sebenarnya adalah bagaimana cara dia menertawakan dunia. Serial ini adalah satir yang sangat gemar menunjukkan cermin ke dunia kita. Momen seperti iklan Pepsi Kendall Jenner atau video Imagine-nya Gal Gadot direka ulang oleh tim The Boys. Buat saya, itu menjadi peluru tawa yang efektif.

Di sinilah saya akhirnya tersadar kenapa The Boys lebih dari sekadar tontonan superhero. Ia bukan produk MCU yang mengajak saya untuk mematikan otak saat menonton. The Boys mengajak saya tetap aktif karena ia tidak ragu-ragu untuk menampar wajah saya. Ia berhasil melakukan itu dengan karakter-karakter yang tiga dimensional, adegan aksi yang top, humor cadas, sindiran yang sangat woke (butuh artikel lain lagi untuk membahas ini), serta adegan orgy paling aneh sedunia. 

The Boys dapat disaksikan di Amazon Prime.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *