‘The Summer Hikaru Died’: Ketika Queer dan Horor Melebur dan Menggugat “Yang Normal”
Kabut tipis selalu menyelimuti Kubitachi, desa kecil yang terperangkap di antara punggung gunung dan didiami hanya segelintir kepala keluarga saja. Di situlah Yoshiki menghabiskan hari-harinya yang membosankan dengan Hikaru, sahabat masa kecil sekaligus seseorang yang ia sukai diam-diam. Bersamanya, ia pernah memimpikan sebuah pelarian di masa depan di mana mereka pergi kota besar dan memulai hidup baru yang bebas tanpa adanya penghakiman. Sayangnya, pada suatu malam badai mimpi itu kandas.
Hikaru menghilang di pegunungan. Ketika ia kembali, sesuatu dalam diri Hikaru telah berubah. Suatu entitas telah mengambil alih tubuhnya. Ia memakai senyum, logat bicara, dan kekonyolan khas Hikaru, namun dirinya menyimpan suatu yang melampaui pengalaman dan keingintahuan liar manusia. Dia adalah Nononuki-sama (ノウヌキ様), entitas yang digambarkan layaknya dewa berwujud monster.
Yoshiki terjebak. Ia masih harus memproses dukanya, tetapi di sisi lain ia juga terpikat oleh kehadiran “Hikaru” (Nonuki-sama) yang menyamar sebagai orang yang disukainya. Dengan kepolosan yang mengerikan, “Hikaru” mengeksplorasi kemanusiaannya yang baru dan Yoshiki menjadi pusat semesta eksplorasinya.
Musim panas pun seketika berubah menjelma musim sejuta badai. Batas antara duka dan hasrat, manusia dan monster, kenyamanan dan teror menjadi kabur. Pada prosesnya, Yoshiki dipaksa menghadapi bukan hanya kenyataan kematian sahabatnya, tetapi juga kebenaran paling gelap dalam dirinya sendiri.
Baca juga: Sederhana, tapi Kenapa Film Horor Indonesia Takut ‘Sex-positive’?
Queer Horror yang Melampaui Label BL
Di jantung manga The Summer Hikaru Died berdenyut kisah queer coming-of-age yang disampaikan melalui lensa horor. Mokumokuren dalam akun media sosial Bluesky mengonfirmasinya langsung. Ia sengaja melepas label BL dari karyanya untuk menyentuh audiens lebih luas. Keputusannya tepat. Ia kembali membawa audiens pada pemaknaan queer dan horor yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan.
Untuk menyampaikannya dengan sempurna, Mokumokuren menggambarkan Yoshiki bukan sekadar remaja yang berduka. Ia adalah gambaran nyata seorang remaja queer yang terperangkap dalam lingkungan heteronormatif yang membelenggu. Kubitachi boleh jadi adalah desa dengan pemandangan indah, tetapi buat remaja queer bagi Yoshiki, Kubitachi adalah penjara sosial di mana setiap pandangan dan bisik-bisik warganya berpotensi menjadi alat pengukur “kenormalan”.
Tak ada rahasia di desa itu. Situasi ini membuat Yoshiki merasa teralienasi. Sebagai remaja queer di tengah masyarakat cis-heteronormatif, ia merasa ada yang salah secara fundamental dalam dirinya karena ia menyimpan perasaan terhadap Hikaru, sahabat laki-lakinya.
Keinginannya untuk melarikan diri bersama Hikaru pun akhirnya bukan sekadar impian remaja biasa, melainkan hasrat mendesak untuk bernapas lega, untuk eksis di ruang di mana identitasnya yang sejati tidak perlu disembunyikan seperti aib. Namun karena keluar dari desa bukan pilihan paling rasional yang ia punya, Yoshiki pun terpaksa memainkan peran “normal” agar bisa diterima.
Kedatangan Nononuki-sama dalam wujud Hikaru adalah pemicu kekacauan yang sekaligus membebaskannya. Dalam beberapa panel komik terlihat jelas bagaimana Hikaru mengalami tekanan yang sama seperti Yoshiku untuk menjadi “normal”. Ayahnya secara eksplisit menginginkannya menikahi perempuan.
Di tengah tekanan, Hikaru berusaha menekan seksualitasnya dengan menciptakan pembatas dengan Yoshiki. Ia tidak pernah mau mengucapkan rasa suka terhadap Yoshiki dan memberikan afeksi lebih. Namun hasratnya kadang tidak bisa dibendung. Dalam perbincangan soal masa depan, ia berkata ingin terus bersama Yoshiki, tetapi kesadaran akan tekanan untuk jadi normal begitu besar sehingga ia mengalihkannya dengan membahas pacar perempuan.
Jika Hikaru menekan diri sendiri untuk jadi normal, “Hikaru” justru menjadi saluran bagi kebenaran queer yang tak terucapkan. Nonuki-sama beroperasi dengan logika yang asing dan memori emosional Hikaru yang tersisa, sama sekali tidak terikat oleh norma sosial yang menindas kelompok queer. Ia tidak membawa beban internalisasi homofobia atau rasa takut akan penolakan.
Ketika ia merasakan ketertarikan, baik emosional maupun seksual terhadap Yoshiki a mengalaminya dengan intensitas penuh dan menyatakannya tanpa malu. Nononuki-sama menjadi “Hikaru” yang tak pernah takut menjadi queer. Ia adalah “Hikaru” yang bebas mencintai secara terbuka. Ia adalah pemberontak dari nilai-nilai heteronormativitas yang membungkam mendiang Hikaru yang asli.
Namun, kebebasan queer yang diwujudkan oleh “Hikaru” ini tidak serta merta menjadi penawar bagi Yoshiki. Ia terjebak dalam dua proses memilukan. Menerima “Hikaru” buat Yoshiki bukan hanya berarti mengakui kematian Hikaru, proses ini juga sekaligus membuatnya harus berhadapan dengan kebenaran queer yang selama ini ia sembunyikan.
Baca juga: Hantu Orba yang Bangkit dalam ‘KKN di Desa Penari’
Dalam pergulatan ini, Yoshiki mendapati dirinya terjebak dalam internalisasi homofobia. Yoshiki melihat dirinya sendiri sebagai “monster”, sama seperti “Hikaru”. Karena queerness-nya, Yoshiki menganggap diri sendiri sebagai penyimpangan yang menjijikkan. Yoshiki yang terjebak dalam internalisasi homofobia balik menghina “Hikaru” dengan memanggilnya aneh bahkan menjijikan. Caranya memanggil “Hikaru” adalah serangan terhadap keberanian “Hikaru” mengekspresikan queerness-nya secara terbuka, berbeda dari dirinya yang masih terperangkap dalam rasa jijik dan hina.
Seperti diungkapkan oleh Laura Westengard, Profesor Bahasa Inggris dan Studi LGBTQ, dalam masyarakat cis-heteronormatif, kehadiran queer seringkali dipersepsikan sebagai sesuatu yang “hina”, “menjijikan”, dan “mengerikan”. Horor sebagai genre yang berakar pada gangguan terhadap tubuh dan norma, secara historis telah menempatkan kehadiran queer sebagai ancaman apriori terhadap tatanan tubuh dan sosial yang mapan. Narasi horor konvensional seringkali menampilkan “makhluk mengerikan” atau the Other sebagai ancaman status quo hanya lewat keberadaannya.
“Queer dan kengerian bersatu dalam estetika horror, menciptakan logika di mana yang queer secara otomatis menjadi yang mengerikan. Mereka jadi representasi dari segala sesuatu yang ‘menyimpang’ dan berlawanan dengan ‘yang normal, sehat, dan murni’,” jelasnya dalam artikel Queer Horror.
Tokoh antagonis dalam horor klasik biasanya adalah pengganggu norma yang pada akhirnya harus ditaklukkan untuk memulihkan atau memperkuat status quo. Namun dalam perkembangannya, horor dan subkulturnya seringkali mengubah narasi ini. Antagonis sebaliknya direpresentasikan sebagai bentuk perlawanan atau sosialitas alternatif.
Di sinilah kemudian sosok “Hikaru” menjadi penting. Ini karena kehadirannya adalah perwujudan perlawanan queer terhadap masyarakat cis-heteroseksual yang secara visual dimanifestasikan melalui subgenre body horror.
Baca juga: Dua Versi, Satu Film: Membaca Strategi ‘Uncut’ Ala ‘Pabrik Gula’
Tubuh yang Melawan: Body Horror sebagai Metafora Perlawanan Queer
Tekanan pada Yoshiki mencapai titik kritis ketika keberadaan “Hikaru” mulai dicurigai oleh Kurebayashi Rei. Kurebayashi bukan hanya sekadar ibu-ibu yang khawatir akan keselamatan Yoshiki, ia dan beberapa tokoh lain setelahnya adalah penjaga status quo cis-heteronormatif. Peringatannya kepada Yoshiki untuk tidak terlalu dekat dengan “Hikaru” agar tidak mazaru (混ざる: tercampur, terpengaruh, menjadi serupa) mengandung makna queer yang sangat jelas. Ini adalah peringatan kepada seseorang untuk tidak bergaul dengan komunitas queer agar tidak menjadi “seperti mereka”.
Kurebayashi melihat “Hikaru” sebagai ancaman tidak hanya karena sifatnya yang non-manusia, tetapi juga karena ekspresi queerness-nya yang terbuka dan mengganggu ketertiban heteronormatif desa Kubitachi.Ketakutan Kurebayashi akan mazaru ni semakin bermakna ketika kita memahami hakikat sejati Nononuki-sama.
Mokumokuren, sang kreator, dengan sengaja menggambarkannya bukan sebagai manusia, melainkan sebagai entitas entitas legenda, dewa pelindung sekaligus monster pemangsa yang haus. Keluarga Hikaru, Indou, secara turun-temurun menjadi penjaga ritual yang mengurungnya di gunung agar menjauhkan segala “kesialan” dari desa. Penggambaran Nononuki-sama inilah yang menggeser The Summer Hikaru Died* secara tegas ke dalam wilayah body horror.
Xavier Aldana Reyes, akademisi dan pendiri Manchester Centre for Gothic Studies, body horror menjelaskan bahwa body horror adalah subgenre horror yang berfokus pada penghancuran total atau sebagian, mutilasi, deformasi, transformasi, atau degenerasi (evolusioner) tubuh manusia. Korban dalam body horror tidak hanya terluka, tetapi tubuhnya diubah secara brutal dan seringkali tak dapat dikembalikan.
“Tujuannya adalah menciptakan rasa takut, jijik, dan terkejut, sekaligus mempertanyakan secara mendasar batas-batas normalitas tubuh dan eksistensi yang ditetapkan masyarakat,” tulisnya dalam artikel Body Horror yang diterbitkan dalam buku The Cambridge Companion to American Horror.
Dalam kerangka body horror, wujud Nononuki-sama secara sempurna mewujudkan konsep abhuman. Dalam buku The Gothic Body: Sexuality, Materialism, and Degeneration at the Fin de Siècle (1996), Kelly Hurley mendefinisikan abhuman sebagai subjek yang tidak sepenuhnya manusiawi dan terus-menerus menjadi bukan dirinya sendiri atau menjadi yang lain. Simpelnya, abhuman adalah bentuk yang cair, tidak stabil, dan mengancam gagasan tetap tentang manusia yang utuh dan “normal”.
Nononuki-sama adalah abhuman. Wujud aslinya adalah sel spiral berwarna putih, hitam, dan merah, sesuatu yang sama sekali asing dan organik sekaligus mengerikan. Yoshiki hanya bisa melihat wujud sejati ini ketika secara tidak sengaja atau sengaja “dilahap” masuk ke dalamnya. Namun, ada masa ketika transformasi tubuhnya menjadi sangat mencolok. Ini adalah ketika Nononuki-sama dilanda gejolak emosi yang kuat terhadap Yoshiki. Saat itulah tubuh Hikaru tidak lagi mampu menahannya. Sel-sel spiral itu keluar, meleleh, meluas, dan berusaha menelan Yoshiki sepenuhnya.
Momen “pelahapan” inilah yang menjadi jantung metafora body horror queer dalam komik ini. Masyarakat cis-heteronormatif telah lama mendikte bagaimana tubuh seharusnya merasakan, mendambakan, dan mengeksplorasi seksualitas. Tubuh queer selalu diantagonisasi sebagai sesuatu yang menjijikan dan hina, sehingga intimasi dalam proses eksplorasi seksualitas komunitas queer dianggap jadi sumber dosa yang harus dihindari. Judith Butler dalam Bodies That Matter (1993) lebih lanjut menjelaskan pengalaman ini harus dihindari dan dikendalikan.
Ini mengapa momen-momen “Hikaru” melahap Yoshiki yang digambarkan Mokomukuren menjadi sangat penting. Dalam panel-panel komiknya, Mokumokuren selalu menggambarkan momen ini sebagai momen intim bahkan sensual. Ada kedekatan fisik yang ekstrem, sentuhan yang ambigu antara kekerasan dan kasih sayang, dan ekspresi wajah Yoshiki yang kompleks.
Dalam momen-momen ini, Yoshiki berulang kali berteriak “jijik” dalam pikirannya, refleksi langsung dari homofobia internal yang telah lama ia telan. Namun, teriakan jijik ini selalu disusul atau diselingi dengan hasrat dan ekstasi. Ada kenikmatan dalam penyatuan fisik yang mengerikan dan transformatif ini.
Melalui peleburan tubuhnya dengan tubuh abhuman “Hikaru”, Yoshiki secara paksa dihadapkan pada queerness-nya sendiri. Ia mulai, meski perlahan dan penuh pergolakan, menghadapi ketakutannya dan mencoba menerima kebenaran tentang dirinya.
Bagi “Hikaru”, pengalaman ini juga transformatif. Melalui sisa-sisa ingatan dan emosi Hikaru yang asli, ia mulai memahami dimensi baru dari ketertarikannya pada Yoshiki. Ia mengalami sensasi dan emosi manusia (khususnya hasrat queer) pada tingkat yang sebelumnya tak terbayangkan. Queerness pada prosesnya tidak lagi hanya diasosiasikan dengan kengerian atau kejanggalan semata. Sebaliknya, menjadi queer adalah pengalaman holistik tentang jadi manusia dan melampaui apa yang telah didikte oleh norma. Di dalamnya rasa takut dan jijik melebur dan berhasil dilampaui lewat rasa nyaman dan hasrat itu sendiri.
Nononuki-sama dalam wujud “Hikaru” dengan demikian menjadi perwujudan sempurna dari janji dan ancaman abhuman seperti yang dijelaskan Hurley. Awalan “ab-” menunjukkan ‘kehilangan’ dan ‘pergerakan menjauh’ dari kondisi manusia yang stabil dan dikenal, menuju sesuatu yang “berbeda”. Proses ini mengancam status quo karena membawa ketidakpastian dan ketidaktahuan yang mendalam. Namun, ia juga menjanjikan pembebasan. Transformasi abhuman tidak harus berakhir dengan tragedi pemusnahan sang monster. Ia dapat membuka jalan menuju penerimaan diri yang radikal dan perluasan kemungkinan tentang apa yang dianggap “alami” atau “normal”.
















