Sederhana, tapi Kenapa Film Horor Indonesia Takut ‘Sex-positive’?
Seks sering dieksploitasi dalam film-film horor. Tapi, seberapa sering kamu melihat seks dipotret adil dan sehat dalam film-film itu?

Satu ulasan pendek di Letterboxd membuat saya terhenyak lebih dari filmnya sendiri. Pabrik Gula, disebut azzamkalakazam sebagai dunia tempat seks dipandang hina, tidak bermoral, dan wajib dijauhi. Namun, membunuh orang demi memuaskan iblis? Tentu saja boleh, asal korbannya pelaku seks bebas.
Dalam logika film itu, sebagaimana simpul sang pengulas, seks adalah dosa yang layak diganjar dengan kematian.
Pemikiran itu menghantui saya jauh lebih lama dibanding jumpscare filmnya. Mengapa film horor Indonesia, yang kerap mengeksploitasi tubuh dan sensualitas, justru hampir tidak pernah bersikap sex-positive?
Seks hampir selalu dibingkai dalam nuansa dosa dan hukuman. Film horor nyaman membangun atmosfer erotik, tapi enggan membela atau sekadar merayakan seks sebagai bagian alami dari kehidupan manusia.
Baca juga: Hantu Orba yang Bangkit dalam ‘KKN di Desa Penari’
Mengapa Horor Begitu Anti-Seks?
Pola ini bukan hal yang baru. Sejak film-film dari era kejayaan slasher horror di Hollywood seperti Halloween (1978) dan Friday the 13th (1980), terdapat rumus tetap: Karakter yang berhubungan seks akan mati lebih cepat. Sementara karakter yang menahan diri dari seks, biasanya perempuan yang digambarkan “baik”, akan bertahan hidup. Pola ini direproduksi pula dalam horor Indonesia, dari film semi-erotis tahun 80-an hingga rilisan baru seperti Pabrik Gula. Seks bukan hanya pemicu konflik, tetapi menjadi bukti kelayakan untuk dihukum.
Secara struktural, ini menciptakan logika moral: tubuh, terutama tubuh perempuan, adalah sumber dosa. Seksualitas tidak hadir sebagai ekspresi keintiman atau kenikmatan, tetapi sebagai jalan menuju kematian—baik secara harfiah maupun simbolik. Di sini, horor bukan lagi sekadar genre hiburan, tetapi alat reproduksi nilai-nilai konservatif yang memandang seksualitas sebagai kekacauan yang harus diredam.
Kritikus horor Robin Wood menyebutkan bahwa film horor adalah cerminan dari ideologi dominan, utamanya yang kapitalis dan patriarkal. Dengan kata lain, genre ini mencerminkan ketakutan masyarakat terhadap hal-hal yang menggoyahkan keteraturan sosial: tubuh, seks, penyimpangan, dan kebebasan. Maka wajar jika seks, apalagi yang non-normatif, dianggap mengancam.
Dalam konteks Indonesia, hal ini berkelindan dengan warisan moral agama, sensor negara, dan konservatisme budaya. Tubuh boleh ditampilkan dalam balutan tipis dan kamera lambat, tapi seks harus tetap dibungkus dengan rasa bersalah, dihukum, atau dijadikan penyebab teror. Ini menciptakan lanskap horor yang hypocritical: Visual boleh sensual, tapi narasinya tetap puritan.
Baca juga: Dua Versi, Satu Film: Membaca Strategi ‘Uncut’ Ala ‘Pabrik Gula’
Film-film Sex-Positive: Narasi Alternatif yang Langka
Meski dominasi moralitas konservatif sangat kuat, sejumlah film horor internasional telah mencoba merekonstruksi cara pandang terhadap seks. Film seperti Jennifer’s Body (2009) menampilkan perempuan yang secara sadar menggunakan seksualitasnya bukan sebagai alat dosa, tapi kekuatan. Di sini, tubuh bukan korban, tapi agen aktif. Bukan hanya bertahan, tapi mendominasi.
Film Prancis Raw (2016) menyamakan sexual awakening dengan naluri kanibal, tapi bukan untuk menghakimi. Justru, ia menyajikan pengalaman coming-of-age yang kompleks, saat seks adalah bagian dari identitas yang berkembang. Bahkan Thelma (2017), dengan gaya horor psikologisnya, menunjukkan bagaimana penerimaan terhadap orientasi seksual bisa membebaskan—dan bahkan membangkitkan kekuatan luar biasa.
Semua ini adalah contoh sex-positive horror: Film yang tak hanya memperlihatkan seks, tapi juga memposisikannya secara manusiawi, membebaskan, bahkan kadang transformatif.
Sayangnya, film horor Indonesia belum banyak yang mengeksplorasi seks dengan nuansa positif. Film seperti Keramat (2009) atau Qodrat (2022) memilih untuk tidak menyentuh seks sama sekali, sementara film lain justru mereproduksi stigma yang sama: seks mendatangkan kutukan, dan tubuh adalah bahan tumbal. Bahkan dalam film-film dengan unsur sensualitas prominen seperti Perjanjian Gaib atau KKN di Desa Penari, fungsi utama seksualitas adalah sebagai pemikat pasar.
Padahal, ada ruang besar untuk eksplorasi. Seks bisa menjadi simbol pemberontakan, penyembuhan, bahkan keintiman spiritual; bukan hanya pintu masuk ke neraka. Film horor sebagai genre juga punya kapasitas besar untuk merefleksikan perubahan zaman, termasuk dalam soal tubuh dan seksualitas.
Baca juga: ‘Ecohorror’, Alternatif untuk Film Horor Religi di Indonesia
Seruan untuk Horor Indonesia: Bebaskan Tubuh dari Teror Moral!
Film horor Indonesia, dan horor secara umum, sering menjadi cermin kecemasan sosial, termasuk kecemasan terhadap seks.
Namun, cermin juga bisa menjadi jendela: Membuka kemungkinan baru untuk memandang tubuh dan hasrat bukan sebagai dosa, tapi sebagai bagian dari pengalaman hidup yang kompleks dan sah.
Justru karena horor berkaitan erat dengan rasa takut, ia bisa menjadi ruang untuk menghadapinya, termasuk rasa takut kita terhadap seksualitas.
Horor bisa merayakan tubuh, bukan menghukumnya. Horor bisa membebaskan hasrat, bukan mengekangnya. Tapi itu hanya bisa terjadi jika pembuat film mulai merombak cara pandang mereka terhadap seks, tubuh, dan siapa yang punya kuasa atas keduanya.
Jika tubuh terus-menerus dihukum karena seks, maka horor akan terus jadi genre yang menakutkan; bukan karena hantunya, tapi karena pesan moral yang dibawanya.
