Ria Ricis Bawa Anak Naik Jetski: Contoh ‘Kidfluencers’ yang Rawan Eksploitasi
Belakangan, Ria Ricis membuat konten video bayinya naik ‘jet ski’. Celakanya fenomena ‘kidfluencers’ ini tak cuma sekali dilakukan para artis.
Dua tahun lalu, Ria Ricis dihujat netizen lantaran mengunggah video tak simpatik, di tengah berpulangnya sang ayah. Kali ini Ricis melakukan hal serupa, setelah mengunggah video liburan bersama anaknya, Moana. Ricis dan sang suami, Teuku Ryan, mengajak bayi berusia lima bulan itu melakukan berbagai aktivitas outdoor yang relatif tak aman. Di antaranya, jet ski, ATV, dan naik perahu di tengah laut.
Namun, konten naik jet ski itulah yang paling disorot. Dalam video tersebut, Ricis memegang kamera. Sementara, Ryan menyetir jet ski dengan tangan kanannya, sambil menggendong Moana di tangan kiri.
Yang membuat netizen geram, demi clickbait, youtuber tersebut mengunggah potongan klip ketika Ryan dan Ricis mengenakan pelampung, sedangkan Moana tidak. Kalau kamu melihat vlog lengkapnya, sebenarnya Moana memakai pelampung. Hanya saja pada menit ke 6:30, potongan clickbait itu ditampilkan.
Alhasil, klip itulah yang menimbulkan keprihatinan netizen. Lewat raut wajah Moana yang tampak tegang, netizen menyimpulkan sang bayi dalam kondisi tidak nyaman–di tengah laut, terpapar angin, tanpa pengaman, di bawah terik matahari, dengan jet ski yang dikendarai cukup kencang. Belum lagi pertanyaan Ryan pada Moana, yang bikin semakin menggelengkan kepala.
“Moana seru nggak naik jet ski? Kok diem aja, gimana, sih? Nggak ada ketawa-ketawanya,” kata Ryan.
Akibatnya, netizen menganggap Ryan dan Ricis cuma mengutamakan konten. Sementara, keselamatan anaknya dikesampingkan. Melansir Baby Center, bayi sebetulnya memang tidak disarankan naik jet ski–maupun watercraft pribadi lainnya–sampai berusia dua atau tiga tahun. Meskipun mereka bisa mengenakan pelampung yang ukurannya sesuai.
Melihat kritik netizen, Ricis menanggapi dengan berbagai respons. Ia membalas komentar netizen di Instagram, yang menilai Moana merasa tidak nyaman. Menurut Ricis, bayi yang tidak nyaman pasti akan menangis.
Lewat Instagramnya juga, Ricis mengunggah screenshot percakapan bersama dokter sang anak. Katanya, Moana semakin aktif setelah liburan, dan pertumbuhannya lebih cepat dua bulan dibandingkan usianya.
Kemudian, Ricis meminta maaf pada Moana lewat Instagram story. “Maaf ya Moana, parenting ibu memang enggak sebagus ibu-ibu yang lain, tapi, Inshaallah Moana aktif terus di tangan Bu Icis,” tulisnya.
Dilengkapi judul clickbait yang sukses bikin geger, video Moana naik jet ski sendiri mendulang satu juta viewers. Kalau menampilkan Moana lewat konten sensasional adalah cara Ricis meningkatkan engagement, asumsi netizen benar adanya. Ricis menjadikan anaknya sebagai sumber konten, yang menguntungkan finansial lewat monetisasi.
Fenomena ini disebut kidfluencers, yakni anak-anak yang memperoleh penghasilan, lewat kerja sama dengan brand maupun sponsor pada konten media sosialnya. Tentu Ricis bukan satu-satunya youtuber yang terlibat dalam fenomena ini. Lalu, sejauh mana kidfluencers telah berkembang? Apa saja masalah yang muncul dari fenomena itu?
Baca Juga: Di Internet, Perempuan Influencer Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri
Di Balik Fenomena Kidfluencers
Melihat anak-anak yang populer lewat sorotan kamera, sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Kita familier dengan sejumlah aktor dan penyanyi cilik yang tampil di layar kaca.
Pada 1970-an ada Chicha Koeswoyo dan Ira Maya Sopha. Kemudian Trio Kwek Kwek dan Joshua Suherman pada 1990-an hingga awal 2000-an. Diikuti Baim Alkatiri dan Nizam Hasan yang terkenal pada akhir 2000-an, lewat sinetron Tarzan Cilik (2009).
Namun, segelintir bintang cilik itu merasa dirinya dieksploitasi orang tua, lantaran harus mencari nafkah. Salah satunya Marshanda. Beberapa tahun silam, aktor tersebut berselisih dengan ibunya. Ia mengaku depresi, akibat sewaktu kecil harus syuting sinetron setiap hari, alih-alih bermain.
Sorotan kamera itu kini meluas tak hanya pada selebritis yang membangun karier di dunia hiburan, melainkan media sosial. Lantaran orang tuanya adalah sosok tersohor dan “berpengaruh”, kehadiran anak-anak public figure justru debut di dunia maya lewat foto ultrasonografi dan test pack.
Sebut saja Xabiru dan Chava, anak dari Rachel Vennya dan Okin. Kemudian Baim dan Mecca, anak dari pasangan influencer Arief Muhammad dan Tiara Pangestika. Pun, Ameena, anak Atta Halilintar dan Aurelie Hermansyah.
Postingan orang tua mereka kemudian menjadi jejak digital, dan mengikuti perjalanan mereka sebagai anak-anak. Kontennya bahkan dinantikan netizen, dan menjadi pertanyaan jika sehari dua hari, anak-anak tidak muncul di Instagram story orang tuanya. Hal ini menunjukkan tingginya atensi publik terhadap anak-anak tersebut.
Enggak heran, kalau sejumlah brand mengajak kerja sama lewat orang tuanya. Misalnya Andori Toegiono–terkenal dengan handle @dorippu di Instagram. Ia mengajak anak sulung dan bungsunya, untuk bikin konten kerja sama dengan brand meses dan makanan pendamping ASI (MPASI) instan.
Sementara, Tiara Pangestika mengiklankan produk camilan, yang jadi snack favorit anak-anaknya selama berlibur di Swiss. Itu dilakukan melalui postingan Instagram, maupun vlog di kanal Youtube milik Arief Muhammad, suaminya.
Tentu target pasarnya adalah orang tua, yang merupakan followers media sosial para figur publik. Secara enggak langsung, anak-anak mereka menjadi kidfluencers lewat tangan orang tuanya.
Namun, kidfluencers tidak hanya lahir dari latar belakang orang tua yang tersohor. Ada Ayasha Putri, kidfluencer berusia 10 tahun dengan profil centang biru dan memiliki lebih dari 300 ribu followers Instagram. Ia mulai terkenal sejak berusia 2,5 tahun. Saat itu, orang tua Ayasha senang mendokumentasikan keseharian mereka dan mempublikasikannya di Instagram. Tak sedikit netizen yang gemas dengan tingkah laku Ayasha, sehingga membuatnya jadi sorotan.
Layaknya influencer pada umumnya, Ayasha sering bekerja sama dengan sejumlah brand. Seperti pasta gigi dan snack anak-anak, hotel, dan e-commerce berkonsep farm-to-table.
Hal ini mencerminkan kidfluencers telah merintis kariernya sejak dini di dunia digital, walaupun mereka jauh dari usia pekerja. Bahkan, awalnya berangkat dari ketidaksengajaan karena anak-anaknya menyita perhatian publik, sehingga kesempatan untuk monetisasi dapat dimanfaatkan. Selama ada anak-anak yang bisa “dipengaruhi” dan uang yang dihasilkan, kidfluencers–dan orang tuanya–akan tetap memperoleh pundi-pundi rupiah.
Sebab, berdasarkan riset Neurosensum Indonesia Consumer Trend 2021: Social Media Impact on Kids (2021), Neurosensum–perusahaan neuroscience dan kecerdasan buatan (AI)–mencatat, 87 persen anak-anak di Indonesia telah diperkenalkan dengan media sosial sebelum berusia 13 tahun.
Neurosensum juga mencatat, Youtube merupakan media sosial yang paling banyak digunakan, sebesar 78 persen. Instagram menempati posisi ketiga setelah WhatsApp, sejumlah 54 persen.
Angka tersebut menunjukkan, kidfluencers memiliki target pasar cukup besar di media sosial. Sekalipun Instagram dan Youtube menetapkan kebijakan, pengguna akun minimal berusia 13 tahun. Itu pun tidak menutup kemungkinan, anak-anak di bawah usia tersebut untuk tidak memiliki akun.
Pasalnya, kedua media sosial ini juga memiliki ketentuan, orang tua dapat mengelola akun anak-anaknya. Tak jarang kita mendapati bio Instagram anak-anak, bertuliskan “handled by mom/parents”.
Sementara, Youtube bisa diregistrasi oleh orang tua atau walinya. Peran orang tua dan wali sekaligus terlibat dalam peraturan menghargai privasi, yaitu persetujuan agar anak dapat tampil di video mana pun. Partisipasi itu juga bersifat sukarela.
Pertanyaan selanjutnya, ketika anak “dipekerjakan” sejak dini, apakah kidfluencing termasuk tindakan eksploitasi?
Baca Juga: ‘Fairy-tale Wedding’ Aurel-Atta dan Frekuensi Publik yang Dicuri
Kidfluencers dan Eksploitasi Anak
Membicarakan kidfluencers tidak lepas dari brand, yang memilih mengajak mereka mengiklankan produk. Artinya, brand tahu anak-anak–yang merupakan target pasarnya–juga aktif di media sosial, baik akun yang dikelolaorang tua atau mereka sendiri.
Salah satunya Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Ketika Rafathar berusia setahun, anak Raffi dan Nagita itu menghasilkan Rp2 miliar. Rafathar memperoleh uang tersebut sebagai upah kerjanya sebagai bintang iklan untuk produk snack. Meskipun pemilik produk tersebut salah satunya adalah Raffi.
Namun, yang perlu digarisbawahi adalah, sebagai orang tua dan pebisnis, Raffi mengetahui potensi Rafathar dalam mendukung penjualan produk. Pasalnya, sejak dilahirkan, hidup Rafathar berada di bawah spotlight. Kamera selalu mengikutinya, tak terkecuali saat berada di rumah.
Bahkan, pada 2020 Raffi bercerita, putra sulungnya itu lelah disorot kamera dan ingin privasinya dihormati. Rafathar meminta, Raffi tidak membawa kamera saat bertemu dengannya. Kemudian, Rafathar juga mempertanyakan, apakah bisa main tanpa disyuting.
“Aa selalu disuruh dengerin Papa, kapan Papa dengerin Aa? Aa pengen main kayak saudara-saudara Aa tanpa disyuting kamera,” tutur Raffi menirukan Rafathar, dalam channel Youtube Deddy Corbuzier.
Respons Rafathar mengingatkan kita, pada dasarnya yang anak-anak perlukan adalah haknya untuk beristirahat, dan memanfaatkan waktu untuk bermain, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun, hak itu perlahan luntur, ketika mereka menjadi kidfluencers dan menghadapi sejumlah tuntutan sejak hidupnya diekspos ke publik. Keseharian mereka serupa dengan orang dewasa yang bekerja, bahkan menjadi representasi berbagai brand.
Realitas ini kemudian rentan memosisikan anak sebagai korban eksploitasi. Hal itu dapat terjadi, apabila kidfluencing dilakukan tanpa adanya persetujuan anak, yang “dipekerjakan” di media sosial demi mendapatkan keuntungan materiel. Salah satunya seperti kasus Machelle Hackney, pemilik kanal Youtube Fantastic Adventures asal Amerika Serikat, dengan jumlah subscribers saat itu hampir mencapai 800 ribu.
Di balik popularitas Fantastic Adventures, Hackney akan menghukum anak-anaknya, kalau menurut Hackney penampilan mereka di video belum cukup baik–seperti membuat kesalahan atau lupa dengan naskah. Ia juga mendisiplinkan anak-anaknya menggunakan pepper spray, dan mengunci mereka di lemari tanpa memberikan akses untuk makan, minum, dan ke toilet.
Akibatnya, pada 2019, Hackney digugat dengan tujuh dakwaan atas pelecehan anak, lima dakwaan atas penelantaran dan pemenjaraan anak, serta dua dakwaan penganiayaan terhadap anak.
Namun, kidfluencing tidak termasuk eksploitasi, apabila pekerjaan itu dilakukan untuk mengembangkan bakat dan minat anak, dengan sejumlah catatan. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 115 Tahun 2004 tentang Perlindungan Bagi Anak yang Melakukan Pekerjaan untuk Mengembangkan Bakat dan Minat.
Kepmen tersebut meliputi, pekerjaan yang dikerjakan anak sejak usia dini harus diminati anak, berdasarkan kemampuan mereka, serta menumbuhkan kreativitas dan sesuai dengan usia anak. Kemudian, anak dilarang bekerja lebih dari tiga jam sehari, atau dua belas jam seminggu.
Di samping itu, pelibatan anak dalam pekerjaan juga harus memerhatikan kepentingannya bagi mereka. Dalam arti pendapat anak didengar dan dihormati, mereka tetap memperoleh pendidikan, anak diperlakukan sama dan tanpa paksaan, serta tidak menghambat pertumbuhan anak secara fisik, mental, sosial, dan intelektual.
Sementara orang tua atau wali juga harus mendampingi tiap kali anaknya bekerja, demi menjaga keselamatan dan mencegah perlakuan eksploitatif terhadap anak.
Namun, risiko dari kidfluencing bukan hanya eksploitasi. Anak-anak bisa kehilangan privasi, identitasnya dicuri, dan keselamatannya terancam lantaran rawan pelecehan seksual daring maupun perdagangan anak–lewat foto-foto dan informasi yang diekspos di media sosial.
Terlepas dari risikonya, fenomena kidfluencers bukan hanya melibatkan anak, orang tua, dan brand. Netizen ikut berperan aktif di dalamnya, sebagai audiens sekaligus target pasar konten-konten yang dipublikasikan kidfluencers.
Baca Juga: Tak Mesti Sensasional, Kreator Juga Perlu Buat Konten Berpihak pada Kemanusiaan
Peran Netizen dalam Kidfluencing
Jumlah viewers video jet ski Ria Ricis enggak akan sampai sejuta, kalau netizen enggak terpancing dengan potongan klip dan judul yang mendulang clickbait. Dari situ, internet terbelah dua: Yang mengritik dan membela pola pengasuhan Ricis.
Mereka yang menkritik mengkhawatirkan keselamatan Moana, yang tampil dalam potongan klip tanpa mengenakan pelampung. Sementara yang membela, para penggemar Ricis, menilai setiap orang tua memiliki cara parenting-nya masing-masing. Menurut mereka, pola pengasuhan Ricis yang mengajak Moana berpetualang, sangat menginspirasi dan menambah referensi pola pengasuhan anak.
Sayangnya, segelintir netizen yang pro malah mengglorifikasi perilaku, yang seharusnya dikoreksi dan dihindari. Dikhawatirkan mereka justru meniru kesalahan tersebut, yang berisiko bagi anak-anaknya. Bahkan, mendorong pemilik platform mengulangi tindakan yang sama, melihat backlash yang diterima enggak seberapa dibandingkan dukungannya.
Sebenarnya bukan hanya clickbait yang mengundang audiens, melainkan tingkah laku dan penampilan anak-anak–atau kidfluencers–yang menggemaskan. Itu membuat anak-anak menjadi pusat perhatian, dan memiliki audiensnya sendiri.
Misalnya Ryan Kaji, kidfluencer yang memiliki kanal Youtube Ryan’s World. Ia memulai kariernya sebagai kidfluencer sejak 2015, tepatnya ketika Kaji berusia tiga tahun. Pada 2018, Forbes melaporkan, dari kontennya yang mengulas dan unboxing mainan, melakukan eksperimen sains, serta seni dan kerajinan do-it-yourself (DIY), Kaji menghasilkan 22 juta dolar Amerika Serikat per tahun–setara dengan Rp341 miliar.
Angka tersebut menjelaskan, konten Kaji menarik audiens yang merupakan anak-anak. Mereka menyaksikan lewat akun milik orang tuanya. Hal itu melatarbelakangi demografi Youtube channel audiens kidfluencers, didominasi perempuan berusia 25-34 tahun, seperti disampaikan Alex Chavez-Munoz–founder dari Viral Talent yang bekerja sama dengan kidfluencers–kepada The New York Times.
Selain menemukan hiburannya di media sosial, enggak heran penghasilan sebesar itu mendorong anak-anak lain terlibat dalam industri kidfluencing. Mereka melihat sejumlah keuntungannya, seperti popularitas dan penghasilan sendiri yang tampak menjanjikan.
Namun, secara keseluruhan, netizen perlu kritis terhadap fenomena kidfluencing. Kita enggak tahu, bagaimana kidfluencers bekerja di balik layar. Apakah sesuai dengan kemampuannya, hak mereka sebagai anak tetap terpenuhi, dan diperlakukan tanpa paksaan.
Karena itu, dibandingkan mengglorifikasi konten kidfluencers, sebagai netizen kita dapat melihat “kerja” mereka di media sosial yang rawan eksploitasi.