*Peringatan Pemicu: Pelecehan dan kekerasan seksual.
Kehadiran perempuan dalam acara musik enggak bisa dilepaskan dari isu keamanan. Liputan Magdalene misalnya pernah mengangkat pelecehan yang dilakukan musisi Pamungkas pada 2022. Saat itu ia mengambil ponsel penggemar untuk merekam dari atas panggung. Lalu, dengan dalih fan service, Pamungkas menggesekan ponsel itu ke alat kelaminnya.
Kasus Pamungkas bukan satu-satunya. Di setiap konser musik, kita sering kali mendengar cerita perempuan yang jadi korban kekerasan. Karena itulah banyak musisi atau band yang memitigasi pelecehan di konsernya dengan beberapa peraturan buat fansnya.
Pertanyaannya, seiring dengan kian santernya topik ruang aman di acara musik, sebenarnya seberapa jauh ruang aman terhadap perempuan sudah dibentuk?
Baca juga: ‘We Are Lady Parts’: Perempuan Muslim ‘Ngepunk’, Kenapa Tidak?
Di Balik Sejarah
Bermula di Olympia, Washington pada 1986, Kathleen Hannah, mahasiswi Fotografi di Evergreen State College akan mengurasi pameran foto bertemakan seksisme, HIV, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan. Sayangnya pameran tersebut dicekal oleh pihak administrasi sekolah.
Inilah yang mendorong Kathleen banting setir jadi seniman cum aktivis. Ia membangun galeri seninya sendiri bernama ‘reko muse’ yang di dalamnya memuat karya seni bertema feminisme dan persamaan ras. Mulai dari karya visual hingga puisi dan performing art. Kegiatan ini mempertemukan Kathleen dengan Tobi Vail, pembuat zine berjudul ‘Jigsaw’ di 1990.
Zine sendiri adalah majalah yang dikerjakan secara mandiri dan telah melekat sebagai subkultur punk sejak akhir 1970-an. Namun kebanyakan zine yang beredar saat itu sering kali dinilai seksis dan merendahkan perempuan. Karena itu ‘Jigsaw’ dibuat sebagai kontra-budaya dari scene punk saat itu. Setelahnya, Tobi pun bergabung dengan Kathleen membuat zine bersama bernama ‘Bikini Kill’.
Selain Zine, mereka merasa membutuhkan media lain demi lebih menyebarluaskan suara mereka. Maka kendaraan terbaiknya adalah musik punk itu sendiri. Akhirnya Bikini Kill pun merambah menjadi band punk dengan merekrut Kathi Wilcox dan Billy Karren. Ep pertama Bikini Kill “Pussy Whipped”(1993) diproduseri Ian McKaye (Minor Threat, Fugazi). Track “Rebel Girl” menjadi anthem bagi punk perempuan hingga sekarang.
Di saat yang bersamaan, dua sahabat mahasiswa University of Oregon, Allison Wolfe dan Molly Neuman sering datang ke Olympia untuk menyaksikan gig punk. Di sana mereka bertemu dengan Kathleen dan Toby yang akhirnya menginspirasi untuk membuat zine feminis ‘Girl Germs’. Keduanya lantas mewawancarai band lokal lainnya, seperti Calamity James, Jawbox, Fastback, dan 7 Year Bitch
Sama seperti yang dilakukan Bikini Kill, Wolfe dan Neuman yang tidak bisa bermain alat musik dengan nekat membentuk band ‘Bratmobile’. Kemudian teman mereka Calvin Johnson menawarkan gig pertama pada Hari Valentine 1991 di Olympia.
Setelah pertunjukan yang berantakan itu, anggota Some Velvet Sidewalk Robert Christie berbaik hati meminjamkan ruangan dan peralatan untuk berlatih. Ia juga menyarankan Bratmobile untuk mendengarkan Ramones sebagai referensi. Namun Wolfe malah merespons dengan, “Jika semua band punk laki-laki mendengarkan Ramones sebagai acuan menulis lagu, maka kami akan melakukan sebaliknya.”
Baca juga: The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme
Aku tidak akan mendengarkan Ramones, sehingga kami akan terdengar berbeda.
Kembali ke Bikini Kill, pada masa-masa awal, mereka sering kali dihina oleh penonton bahkan hingga jadi korban kekerasan fisik. Kemudian Hanna akan merespons hal tersebut dengan turun langsung ke penonton dan mengonfrontasinya. Hal ini juga yang membuat Kathleen Hanna kemudian memanggil seluruh penonton perempuan untuk maju ke depan panggung di setiap pertunjukan.
Pada edisi kedua zine ‘Bikini Kill’, diperkenalkan The Riot Grrrl Manifesto. Manifesto tersebut berisikan keharusan dibuatnya ruang aman untuk perempuan dan skena musik yang bebas dari rasisme, bias kelas, serta seksisme.
Dari Riot Grrrl, hadir pula Safe Gigs For Women. Safe Gigs For Women merupakan organisasi yang berdiri di 2015 dan aktif bekerja sama dengan gigs di seluruh Inggris untuk penyuluhan mengenai pengupayaan ruang aman untuk perempuan di acara musik.
Selain itu, organisasi ini juga mengedukasi cara-cara yang harus dilakukan jika mereka mengalami pelecehan seksual dalam acara musik. Terdapat pula program Safe Space Now yang didirikan oleh UN Women UK untuk membuat ruang aman bagi perempuan dan masyarakat marjinal tidak hanya di gig, tapi juga di seluruh ruang publik.
Selain gerakan Riot Grrrl dan Safe Gigs For Women yang berbasis di Inggris, di Tanah Air sendiri sudah banyak diskusi mengenai ruang aman untuk perempuan di acara musik. Salah satunya ialah diskusi yang diinisiasikan oleh Woman Ngalam bertajuk “Karena Kami Butuh Ruang Aman” di tahun 2024.
Diskusi yang diadakan dalam rangka merayakan International Women’s Day tersebut menyuarakan berbagai keresahan dan pengalaman yang menyoroti tantangan dan harapan dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan di lingkungan sosial, musik, dan pendidikan.
Terdapat pula gerakan penyuluhan yang dilakukan oleh musisi-musisi yang mendukung ruang aman untuk perempuan seperti gerakan untuk menyalakan tanda S.O.S berwarna merah yang bertujuan untuk meminta bantuan jika terjadi pelecehan seksual. Template dari tanda S.O.S tersebut telah disebarluaskan dari akun media sosial para musisi, seperti Baskara dari .Feast, Kunto Aji, dan The Panturas.
Selain musisi tersebut, Grrrl Gang dan The Dare aktif menyuarakan ruang aman untuk perempuan dengan mengarahkan audiens perempuannya untuk maju di barisan depan agar terhindar dari pelecehan seksual. Angeeta Grrrl Gang juga acap kali menarik penonton perempuan ke panggung jika terdapat pelecehan seksual yang dialami penontonnya.
Baca juga: Ini Konser Kami Juga: Bagaimana Agar Acara Musik Bebas Kekerasan Seksual
Dari gerakan-gerakan di atas dapat disimpulkan, upaya membuat skena musik ramah perempuan sudah dilakukan sejak lama.
Beberapa tips untuk mencegah atau menangani pelecehan seksual di acara musik juga dapat dilakukan dengan:
- Selalu sadari keadaan sekitar
- Arahkan kamera kepada pelaku
- Jangan takut untuk meminta tolong penonton yang lain
- Turut menjaga ruang aman untuk perempuan dengan tidak menjadi pelaku
Upaya-upaya di atas tidak akan berarti jika kita tidak memiliki kesadaran untuk memilih tidak menjadi pelaku pelecehan seksual. Sudah seharusnya ruang publik menjadi ruang yang aman bukan hanya untuk perempuan, namun seluruh lapisan masyarakat.
Widya A. Putri dari Pop Berandalan.