Culture

The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme

The Linda Lindas, band anak perempuan berusia 10 sampai 16 tahun menyampaikan semangat punk yang anti-diskriminasi dan konformitas lewat lagu-lagunya.

Avatar
  • June 16, 2021
  • 5 min read
  • 719 Views
The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme

Dengan baju kaos warna terang dan rok kotak-kotak, The Linda Lindas memang tidak tampak seperti band punk, apalagi semua anggotanya masih berusia anak-anak. Namun, tidak ada yang lebih menonjolkan semangat dan jiwa punk dari menyanyikan lagu anti-seksisme dan rasialisme di tengah perpustakaan yang menolak kebisingan.

Penampilan kakak beradik Mila dan Lucia de la Garza, Eloise Wong, dan Bela Salazar, yang berusia 10 hingga 16 tahun, melejit Mei lalu saat membawakan Racist, Sexist Boy di Perpustakaan Umum Los Angeles. Selain itu, lagu anti-diskriminasi tersebut juga membawa udara segar bagi perempuan di skena musik punk dan rock. Musisi seperti Hayley Williams dari Paramore, Cyndi Lauper, dan Kathleen Hanna dari band punk feminis, Bikini Kill, memberikan acungan jempol untuk semangat keadilan The Linda Lindas.

 

 

Racist, Sexist Boy viral di tengah peringatan bulan penghargaan komunitas Asia Amerika atau Asian American Pacific Islander (AAPI) Heritage Month dan memburuknya rasialisme serta kebencian pada orang Asia atau keturunan Asia di AS. Kebetulan Mila, Lucia, dan Eloise adalah warga keturunan Cina.

Mila, pemain drum dan anggota termuda The Linda Lindas, mengatakan  bahwa Racist, Sexist Boy terinspirasi dari pengalamannya berhadapan langsung dengan rasialisme karena stigma negatif terhadap orang Asia dalam kaitannya dengan virus corona.

Ia bercerita, seorang anak laki-laki di sekolahnya mengatakan dengan terang-terangan untuk menjauhi orang Cina. Merasa terkejut dan kesal, Mila mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Cina—sebuah pernyataan yang membungkam anak laki-laki tersebut.

Baca juga: Red Velvet, MAMAMOO, dan ITZY: Idola K-Pop dan Bahasa Feminis Mereka

Jiwa ‘Ngepunk’ yang Turun Temurun

The Linda Lindas adalah musik kemarahan perempuan. Dalam liriknya, mereka tidak takut mengkritik orang-orang yang memilih untuk menutup telinga dan pikiran daripada mendengar hal yang benar.

Seperti dikutip The Guardian, Eloise, sang vokalis dan pemain bass, mengatakan bahwa Racist, Sexist Boy juga terinspirasi dari rasa “gerah” melihat banyaknya laki-laki seksis. Ia berharap musik The Linda Lindas bisa menjadi kekuatan untuk kelompok minoritas yang tertindas melawan hal itu.

Dalam wawancara yang sama, Lucia sang gitaris mengatakan, pesan tidak menjadi rasialis bukan hanya ditujukan untuk anak-laki-laki teman sekolah Mila saja, tetapi untuk semua orang tanpa pandang bulu.[

“Lagu ini untuk menjadi lebih baik, edukasi apa yang tidak seharusnya dilakukan. Jangan menjadi rasialis, seksis, homofobik, bahkan jika bukan laki-laki. Intinya, jangan menjadi orang jahat,” kata Lucia. 

Nama The Linda Lindas terinspirasi dari film coming of age Jepang Linda Linda Linda (2005), yang mengisahkan perjalanan band beranggotakan empat sahabat perempuan untuk tampil di festival sekolah. Sementara itu, judul dari film itu sendiri terinspirasi dari lagu Linda Linda dari band punk Jepang, The Blue Hearts.

Para anggota The Linda Lindas sudah mengenal musik sejak balita karena pengaruh orang tua mereka. Carlos de la Garza, ayah Mila dan Lucia, adalah produser musik peraih Grammy Award yang kerap bekerja dengan musisi rock terkenal, seperti band Paramore, Young The Giant, dan Jimmy Eat World.

Sementara Eloise tertarik dan tumbuh dengan budaya dan konser musik punk karena pengaruh ayahnya, salah satu pendiri majalah pop Asia-Amerika, Giant Robot. Ia juga terpapar dari atmosfer di Chinatown, Los Angeles, yang secara historis merupakan tempat band punk melakukan konser sejak tahun 70an.

“Orang tua saya sering menggalang dana untuk program musik sekolah bersama Phranc, Alice Bag, dan Alley Cats (ketiganya adalah musisi punk),” ujarnya, seperti dikutip Pitchfork.

Meski demikian, dari segi kemampuan bermusik, hanya Bela, gitaris dan anggota tertua, yang biasa memainkan genre musik rock dan punk. Ketiga anggota lain memiliki latar belakang musik klasik dan baru belajar mengikuti ritme musik rock setelah mulai manggung.

Baca juga: Penyanyi Dangdut: Tulang Punggung Keluarga, Hadapi Stigma

Punk Tidak Hanya Milik Laki-laki

Band perempuan punk tersebut terbentuk pada 2018 setelah ikut dalam festival musik khusus musisi perempuan, Girlschool. Namun, pintu karier musik mereka terbuka lebar ketika Kathleen Hanna menemukan video mereka menyanyikan Rebel Girl milik Bikini Kill, pada sebuah penggalangan dana sekolah, pada 2019.

Hanna kemudian mengunggah video itu ke akun Twitter pribadinya, lalu mengajak The Linda Lindas untuk menjadi penampil pembuka untuk konser reuni Bikini Kill di tahun yang sama.

Komedian Amy Poehler menyaksikan The Linda Lindas di konser itu dan kemudian mengajak mereka untuk tampil pada film yang disutradarainya, Moxie . Selain itu, The Linda Lindas juga menulis lagu bertajuk Claudia Kishi untuk film dokumenter pendek tentang karakter dari The Babysitter Club tersebut. Saat ini, The Linda Lindas berada di bawah naungan label musik punk terbesar di AS,  Epitaph Records.

Baca juga: Menghadapi Skena Musik Penuh Ujaran Seksis

The Linda Lindas mengatakan bahwa punk adalah wadah yang sempurna untuk menyalurkan pikiran dan emosi yang mereka rasakan. Eloise sendiri mengatakan ada perasaan lega ketika mengekspresikan kemarahannya lewat teriakan lagu punk.

Kehadiran The Linda Lindas semakin meneguhkan pendapat punk tidak hanya dimiliki laki-laki kulit putih saja. Secara stereotipikal, perwajahan punk lekat dengan Sex Pistols, Ramones, dan Black Flag.

Secara historis, genre musik punk dimulai oleh Death, band beranggotakan tiga laki-laki kulit hitam asal Detroit, AS, pada awal tahun 1970an. Death sendiri dilekatkan dengan istilah proto-punk karena mereka telah memainkan genre tersebut bahkan sebelum diberi nama.

Skena musik punk juga banyak diisi oleh band perempuan, mulai dari Bikini Kill dan Sleater-Kinney, sampai The Donnas dan Pussy Riot. Kemudian juga ada Big Joanie, tiga perempuan feminis kulit hitam di London yang menolak hegemoni kulit putih dalam skena musik punk. Di Indonesia, ada trio asal Bandung The Bananach, dengan lagu otokritik pada budaya konsumerisme.

Sejak awal, punk tidak eksklusif untuk satu komunitas saja. Pesan yang disampaikan juga menolak segala bentuk konformitas, anti-kapitalisme, dan anti-diskriminasi. Dalam wawancara dengan The Guardian, Bela mengatakan bahwa banyak pendengar yang mengirimkan pesan pribadi di media sosial The Linda Lindas karena merasa didengarkan.

“Ini sesuatu yang keren karena mereka mengatakan, kami telah menyentuh mereka,” ujarnya.

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *