Mengapa RUU Masyarakat Adat Menyangkut Kita Semua
Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat kerap dianggap isu pinggiran yang tidak relevan bagi warga kota, apalagi perempuan muda. Pandangan ini keliru. Isu ini berkaitan langsung dengan iklim, lingkungan, kedaulatan pangan, pengetahuan lokal, hingga akses terhadap obat-obatan herbal—semua hal yang akan menentukan keberlanjutan hidup kita bersama.
Indonesia dibangun dari keberagaman ratusan suku bangsa yang telah menyatu sejak Sumpah Pemuda 1928. Layaknya tubuh, negeri ini tidak akan berfungsi optimal bila salah satu bagian dipreteli. Komunitas adat adalah bagian vital itu—rumah-rumah kecil di pinggiran yang menjadi jantung ekologi Nusantara. Dari hutan yang dijaga, sumber air yang dirawat, hingga benih yang dilestarikan, mereka menopang keberlanjutan hayati, pangan, dan budaya.
Perempuan adat, dengan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan lintas generasi, memegang peran strategis dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian nilai budaya. Mereka terlibat dalam pengambilan keputusan komunitas, mengatur pola tanam, menjaga keanekaragaman benih, dan memelihara praktik ekologis yang berkelanjutan. Namun, tanpa pengakuan hukum yang kuat, semua ini berada dalam ancaman.
Sayangnya, hingga kini, RUU Masyarakat Hukum Adat masih terkatung-katung statusnya. Padahal, undang-undang ini adalah fondasi bagi Indonesia yang adil, lestari, dan inklusif. Ia menjadi ujian bagi komitmen kita terhadap Bhinneka Tunggal Ika dan keadilan sosial. Tanpa pengesahan, masyarakat adat terus berada dalam ketidakpastian hukum, meski telah menjaga tanah air secara spiritual, ekologis, dan sosial selama berabad-abad.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mengakui hal ini melalui penetapan 9 Agustus sebagai Hari Masyarakat Adat Sedunia, untuk mengingatkan bahwa menjaga kelompok adat berarti menjaga bumi dan masa depan seluruh penghuninya.
Baca juga: Perempuan di Tengah Rezim Ekstraktif: Pemimpin Perlawanan untuk Lingkungan
Pengetahuan lokal, ekofeminisme, dan keadilan
Perspektif ekofeminisme melihat keterhubungan antara ketidakadilan terhadap alam dan ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk perempuan adat. Ketika hutan digunduli atau tanah adat diambil alih, dampaknya langsung terasa pada kehidupan mereka: sumber pangan berkurang, air bersih sulit diakses, dan ritus budaya terancam hilang.
Pancasila sebagai ideologi negara juga memberi fondasi etik bagi pembangunan ekonomi: Kemanusiaan yang berisi pengakuan terhadap martabat perempuan adat; Keadilan sosial yang menjamin redistribusi kuasa dan sumber daya alam; dan Ketuhanan yang memberi spiritualitas ekologis—bahwa tanah bukanlah properti, tetapi titipan Tuhan.
Keterhubungan nilai ekofeminisme dan Pancasila ini menemukan wujud nyatanya dalam praktik sehari-hari perempuan adat yang mengelola tanah, air, dan pangan dengan cara-cara yang menjaga keseimbangan ekologi sekaligus martabat manusia. Salah satu contoh paling menonjol datang dari Nissa Wargadipura, pendiri pesantren ekologi di Garut, Jawa Barat, yang menerima penghargaan dari Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada 2024. Ia membuktikan bahwa pengetahuan adat dapat menjadi solusi berkelanjutan bagi krisis pangan dan lingkungan.
Nissa mengembangkan pertanian berbasis pengetahuan adat Sunda tanpa pupuk kimia sintetis. Ia menanam sesuai kalender tradisional dan doa leluhur, membuktikan bahwa pertanian bisa berdaya guna secara ekonomi, ekologis, dan spiritual.
Praktik serupa juga terlihat di Kasepuhan Ciptagelar, sebuah komunitas adat Sunda di Jawa Barat yang menjadikan pertanian pro-lingkungan bagian dari sistem sosial dan budaya mereka. Hasilnya bukan hanya ketahanan dan kedaulatan pangan yang terjaga, tapi juga keberlangsungan ritus-ritus kolektif yang menyatukan komunitas. Para perempuan adat berperan penuh dalam seluruh rantai produksi pangan—dari menanam hingga mengolah—seraya memastikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam.
Mereka juga memegang peran penting dalam spiritualitas dan pelestarian nilai, meski tidak selalu duduk di posisi kepemimpinan formal. Dengan mempraktikkan pertanian organik dan rotasi alami, mereka menjaga keberlanjutan tanpa bergantung pada subsidi pupuk atau benih impor. Pengetahuan lokal yang diwariskan lintas generasi menjadi modal utama, membuktikan bahwa kedaulatan pangan tidak harus dikorbankan demi industrialisasi.
Baca juga: #PerempuanRawatBumi: Menuju Kampung ‘Zero Waste’, Perlawanan Senyap dari Rawageni Depok
Dari gotong royong ke keadilan alam
Lambannya pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat mencerminkan kegagalan negara berbagi kuasa dengan masyarakat adat. Sumber daya alam masih dilihat sebagai komoditas ekonomi, bukan warisan hidup.
Ke depan, diperlukan pembagian kuasa yang adil, bukan dominasi, dengan prinsip gotong royong sebagai fondasi. Itu berarti pertama, harus ada pengakuan hukum kolektif atas tanah dan hutan adat, bukan hanya dalam bentuk sertifikasi individual. Kedua, jaminan keterlibatan perempuan adat dalam penyusunan kebijakan dan pemantauan proyek-proyek negara. Ketiga, adanya mekanisme partisipatif dalam pengambilan keputusan pembangunan yang melibatkan komunitas adat sejak awal, bukan hanya konsultasi formal belaka.
Keempat, moratorium deforestasi sampai ada persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (free, prior and informed consent/FPIC). Kelima, penguatan ekonomi komunitas adat berbasis agroekologi, bukan industrialisasi tanah mereka.
Feminisme Pancasila menegaskan bahwa keadilan bukan kemurahan hati dari penguasa, melainkan pengakuan atas hak yang telah lama diabaikan. RUU Masyarakat Hukum Adat bukan hadiah, melainkan kewajiban negara untuk tidak membungkam komunitas yang selama berabad-abad menjaga “rumah besar” Indonesia.
Baca juga: Yang Kita Pelajari dari Nenengisme dan Revolusi Lingkungan ala Ibu Petani
Perempuan adat bukan objek pembangunan. Mereka adalah subjek sejarah, penjaga benih, air, ritus, dan keseimbangan alam. Mengabaikan mereka berarti mengabaikan masa depan bangsa. UU Masyarakat Hukum Adat adalah ujian moral: apakah negara benar-benar menghormati keberagaman dan cara hidup yang lebih arif, lestari, dan spiritual dibanding sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi.
Saatnya belajar dari perempuan adat—dari tanah yang mereka rawat, dari doa yang mereka jaga—karena dari merekalah Indonesia bisa tetap bertahan dan berakar.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















