#(Re)Formasi1998: Titik Balik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Reformasi 1998 jadi tonggak perjuangan masyarakat adat modern di Indonesia, dari sporadis jadi lebih terorganisasi.

Bicara masyarakat adat, tak bisa dilepaskan dari keberadaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Organisasi yang dikenal teguh memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan pengakuan hak-hak adat, baik di tingkat lokal maupun internasional ini lahir berkat momentum Reformasi 1998.
Eustobio Rero Renggi, Deputi I Sekjen AMAN menuturkan, (30/4), gerakan masyarakat adat perlu berterima kasih kepada gerakan pro-demokrasi saat Reformasi. Sebab mereka menjadi pemantik kebangkitan organisasi yang menaungi berbagai komunitas masyarakat adat itu. AMAN memang
Senada dengan pernyataan Eustobio, riset Askardi (2016) bertajuk “Melawan Penyingkiran (Studi Kasus: Perkembangan Pola Perlawanan Masyarakat Adat Kenegerian Senama Nenek…)” juga menunjukkan, perubahan struktur politik pasca-Reformasi membuka ruang bagi masyarakat adat untuk melawan secara lebih terbuka dan terorganisasi.
Baca juga: #(Re)formasi1998: Penobatan Soeharto Jadi Pahlawan Ancam Gerakan Perempuan
Masyarakat Adat dalam Bayang-Bayang Orde Baru
Selama 32 tahun masa Orde Baru, masyarakat adat mengalami berbagai bentuk penindasan. Salah satu yang paling menyakitkan adalah pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UU ini disinyalir lebih banyak menguntungkan negara dan korporasi dibanding masyarakat adat.
“Tanah adat sampai kuburan adat itu banyak yang hilang karena isu-isu seperti itu (UU Pokok Agraria). Rezim Orde Baru dengan otoritarianisme dan kediktatoran itu berdampak pada banyak tanah-tanah adat, wilayah-wilayah adat, hutan, sampai laut, yang dicaplok untuk pembangunan yang tidak sesuai dengan keberlangsungan hidup masyarakat adat,” jelas Eustobio.
Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan praktik pengalihan tanah (land grabbing) dilakukan dengan cara intimidatif. Penolakan terhadap pengalihan lahan kerap dibalas dengan pelabelan sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), cap yang sangat menakutkan pada masa itu.
Baca juga: Apa Hukumnya Bilang “izin bertanya” Pas lagi Meeting? Pertanyaan yang Sangat Buruh
Dari Gerakan Sporadis Menuju Jaringan Solid
Pada era Soeharto, gerakan masyarakat adat bersifat sporadis dan tidak terorganisasi. Namun, titik balik mulai terlihat pada 1993 melalui forum diskusi di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Forum tersebut menjadi cikal bakal terbentuknya Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA).
“Jadi dulu itu karakternya si sporadis,” kata Eustobio. Ia menambahkan, JAPHAMA fokus pada perluasan partisipasi dan memperjuangkan hak masyarakat adat dari berbagai perspektif.
Walau begitu, proses pengorganisiran masih menemui hambatan karena belum ada momentum pemersatu. Hingga akhirnya, Reformasi 1998 hadir sebagai peluang emas.
“Di penghujung tahun 98, kelompok-kelompok yang sebelumnya di tahun 93, melalui JAPHAMA dan jaringan-jaringan dan organisasi masyarakat sipil itu kemudian berkumpul. Mereka berdiskusi untuk bagaimana menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan di tahun 93 waktu itu,” ujar Eustobio.
Dalam buku “Hidup Bersama Raksasa” karya Pujo Semedi & Tania Murray Li (2021) dijelaskan, Reformasi jadi titik puncak gerakan masyarakat adat. Di Kalimantan Barat, masyarakat Dayak bersama komunitas Melayu melakukan blokade terhadap perusahaan sawit Natco yang dituding mencaplok tanah adat. Perlawanan itu merupakan simbol konsolidasi kekuatan rakyat adat menghadapi keserakahan negara.
Melihat potensi besar dari momentum ini, JAPHAMA dan komunitasnya bergerak cepat. Tak ingin kehilangan momen, mereka sepakat membentuk wadah bersama.
“Kalau tidak segera diambil momentum untuk mengkonsolidasikan seluruh masyarakat adat di Indonesia pada waktu itu, maka bisa saja isu dari gerakan masyarakat adat ini akan hilang,” tegas Eustobio.
Akhirnya, pada 17 Maret 1999, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) resmi berdiri sebagai wadah pemersatu perjuangan masyarakat adat di Indonesia. Visi disepakati, hambatan diidentifikasi, dan gerakan pun mulai terorganisasi secara nasional.
Baca juga: Rezim Ekstraktif Menekan, Masyarakat Adat Melawan
Perjuangan Belum Selesai
Tahun ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) genap berusia 25 tahun. Meski telah seperempat abad bergerak memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, ancaman terhadap wilayah, identitas, dan kehidupan mereka masih terus terjadi.
Kasus terbaru dialami oleh Suku Balik di Desa Sepaku, Kalimantan Timur, yang terdampak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). “Dewi”, salah satu warga mengaku kehilangan akses atas air bersih dan terganggu ruang hidupnya.
“Sudah sulit air di kampung itu. Kalau mau pakai, kita harus beli Rp80 ribuan satu tandon.”
Dalam Rapat Kerja Nasional AMAN ke-VIII yang digelar pada April lalu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi menyebut wajah penindasan terhadap masyarakat adat belum benar-benar berubah, hanya berganti rupa. Karena itulah keberadaan AMAN relatif semakin relevan hari ini.
