Environment Issues Opini

Kalang Kabut Pengelolaan Sampah Pembalut, Bagaimana Mengatasinya?

Dibakar mencemari kualitas udara, dikubur atau ditimbun pun sama berbahayanya buat lingkungan. Begini rekomendasi solusi buat pemerintah atasi sampah pembalut.

Avatar
  • November 5, 2024
  • 4 min read
  • 424 Views
Kalang Kabut Pengelolaan Sampah Pembalut, Bagaimana Mengatasinya?

Pembalut adalah kebutuhan mendasar buat perempuan. Ini bagian penting dari siklus kehidupan banyak perempuan, tapi di sisi lain, ada potensi kerusakan lingkungan yang mengintai jika tak dikelola dengan benar.

Hasil penelitian tesis mahasiswa yang saya ampu (dalam proses penulisan) menemukan, di Kota Yogyakarta, perempuan di masa subur menggunakan 4-5 pembalut setiap hari. Dengan fase menstruasi rata-rata enam hari dalam sebulan, kami memperkirakan perempuan menggunakan 360 lembar pembalut setiap tahun.

 

 

Di sisi lain, selain menambah volume sampah, pembalut sekali pakai memiliki kandungan yang berbahaya seperti zat perfluoroalkil dan polifluoroalkil (PFAS)yang sering disebut “forever chemical” karena bagi lingkungan dan membutuhkan ratusan tahun untuk bisa terurai. Pembalut juga mengandung sekitar 2 gr plastik yang sulit terurai sehingga berisiko mencemari ikan dan kesehatan manusia.

Dalam penelitian ini, kami menyurvei 422 perempuan usia subur dan menemukan bahwa sekitar separuh responden sudah berupaya memisahkan sampah pembalut dari sampah domestik lainnya. Sebagian besar (hampir 90 persen) juga membersihkan pembalut sebelum dibuang.

Sayangnya, upaya pengolahan dan pemilahan sampah oleh para perempuan sia-sia belaka. Pasalnya, berdasarkan penelusuran kami, Kota Yogyakarta tidak memilki sistem pengolahan sampah pembalut. Alhasil, sampah tersebut—menurut perhitungan kami jumlahnya sekitar 5 persen dari total volume sampah—berisiko mencemari lingkungan dan kesehatan.

Baca Juga: Direndahkan karena Kelola Sampah, Cerita Mantan Penakluk Api Jero Sri

Pengelolaan Sampah Tak Memadai

Hampir seluruh responden dalam penelitian menyebutkan tidak ada tempat sampah khusus pembalut di lingkungan mereka. Para pengambil sampah kerap menggabungkan semua sampah menjadi satu—meskipun sampah pembalut telah terpilah.

Keterbatasan ini menjadi kendala serius. Sebab, menurut aturan yang ada, kain atau kapas yang terkena darah atau cairan tubuh tergolong limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) atau infeksius.

Dengan status sebagai limbah B3, sampah pembalut sebenarnya memerlukan pengolahan khusus. Organisasi yang mengelola sampah, beserta pengangkutannya, perlu mendapatkan izin khusus dari pemerintah.

Sialnya, jangankan fasilitas khusus, pemerintah Kota Yogyakarta bahkan belum memiliki standar operasional prosedur (SOP) terkait pengelolaan sampah pembalut sekali pakai.

Berdasarkan penelusuran kami ke Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, mesin pengolahan sampah yang ada tidak bisa memproses sampah pembalut. Pasalnya, sampah ini terdiri dari campuran tekstil yang dapat melilit mesin.

Sampah pembalut sekali pakai dapat dibakar di insinerator. Namun, pengadaan fasilitas pembakaran ini membutuhkan biaya yang sangat mahal. Belum lagi risikonya mencemari kualitas udara.

Mengubur atau menimbun sampah pembalut juga berbahaya. Soalnya, cara itu dapat merusak kesuburan tanah.

Baca Juga: Menstruasi Bukan Aib, Kenapa Laki-laki Malu Beli Pembalut?

Jalan Terjal Daur Ulang

Sampah pembalut juga sebenarnya dapat didaur ulang asalkan lapisan plastik dan gelnya sudah dipisahkan.

Setelah itu, lapisan plastik dapat kita gabungkan dengan sampah anorganik atau plastik lainnya. Sementara gelnya dapat menjadi pupuk cair atau media tanam.

Sayangnya, teknik ini masih belum populer digunakan di Indonesia. Kelayakannya secara lingkungan juga masih belum diteliti lebih mendalam.

Membangun Sistem Pengolahan Sampah

Pemerintah daerah harus membangun sistem pemilahan dan pengolahan sampah pembalut sekali pakai yang terintegrasi. Ini terhitung mulai dari pembuangan di tingkat individu dan komunitas, pengelolaan di tempat pembuangan sampah, aktivitas daur ulang, dan sebagainya.

Penerapan teknologi pengolahan dan pemanfaatan sampah pembalut dan popok sudah mulai dikembangkan oleh beberapa kota di Italia. Teknologi ini mampu mengolah 100 persen sampah pembalut menjadi plastik selulosa dan material penyerap air lainnya. Contoh teknologi lain mengatasi sampah pembalut adalah pirolisis, yang mulai dikembangkan di Indonesia. Namun, penggunaan teknologi ini di Indonesia membutuhkan investasi yang tidak sedikit dan penuh tantangan.

Sebelum memikirkan investasi teknologi, pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak swasta dan para produsen untuk memastikan pengelolaan sampah pembalut yang optimal. Kami menemukan bahwa beberapa tempat perbelanjaan besar sudah memiliki tempat sampah khusus pembalut di WC perempuan dan bekerja sama dengan pihak swasta. Langkah ini dapat ditiru pihak-pihak lainnya di seluruh daerah.

Baca Juga: Kisah Dua Perempuan Sulap Sampah Plastik jadi Bahan Bangunan

Pemerintah juga sebenarnya menganjurkan pembuangan pembalut ke tempat sampah khusus, seperti di sekolah. Namun, hingga saat ini, masih banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas tersebut.

Pemerintah juga perlu menggencarkan sosialisasi manajemen kebersihan menstruasi (MKM). MKM turut mencakup upaya membersihkan pembalut di jamban—bukan di sembarang tempat. Sosialisasi MKM penting karena lebih dari setengah responden kami tidak pernah mendengar informasi seputar MKM. Padahal, penelitian kami menunjukkan bahwa sosialisasi MKM berhubungan positif dengan perilaku pembuangan dan pemilahan sampah pembalut yang benar.

Pemahaman juga perlu mencakup sosialisasi bahwa sampah pembalut termasuk ke dalam limbah B3 atau infeksius, sehingga perlu dipisahkan dari sampah domestik lain. Penelitian kami menunjukkan, masih banyak perempuan yang belum mengetahui hal tersebut.

Perempuan juga dapat mengurangi sampah sejak dini melalui penggunaan pembalut kain, tampon, atau menstrual cup yang bersifat guna ulang. Harapannya, kita bisa bersama-sama mengikis dilema pembalut sekali pakai dan membuat lingkungan lebih sehat.

Daniel, Dosen Public Health, Universitas Gadjah Mada.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Daniel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *