SDGs Gender Index 2022: Indonesia Masih Jauh dari Setara
Laporan lembaga Equal Measures 2030 menemukan, proses Indonesia memenuhi target SDGs delapan tahun lagi berjalan lambat.
Indonesia berkomitmen memenuhi target Sustainable Development Goals (SDGs) atau rencana aksi global untuk mengurangi kemiskinan, mencapai kesetaraan gender, dan pelestarian lingkungan pada 2030. Meski demikian laporan dari Equal Measures 2030 (EM2030), kolaborasi lembaga perempuan global yang menganalisis data untuk advokasi mencapai tujuan SDGs, menemukan perkembangan Indonesia memenuhi SDGs berjalan lambat.
Laporan Gender Index 2022 Back to Normal is Not Enough tersebut mengukur komitmen dan perkembangan global dengan lensa gender sejak SDGs dimandatkan pada 2015 sampai awal 2020. Laporan ini sendiri melibatkan 98 persen penduduk perempuan sebagai responden data di 144 negara.
Misiyah, Direktur Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan berkata, data dan analisis penggunaan lensa dan indeks gender dimaksudkan membongkar pandangan sempit bahwa isu gender dalam SDGs hanya ada pada poin lima, tentang kesetaraan gender saja. Kapal Perempuan sendiri bekerja sama dengan EM2030 untuk menghimpun perkembangan data di Indonesia.
“(Indeks gender) memandu dan mengajarkan bagaimana cara mengimplementasikan dan mengarusutamakan gender di setiap tujuan SDGs. Sehingga, inklusivitas (pada perempuan) ada dalam setiap gol dan gender tidak ditinggalkan,” ujar Misiyah dalam diskusi Media SDGs Gender Indeks 2022 “Back to Normal is Not Enough oleh Kapal Perempuan, awal April lalu.
Laporan tersebut menemukan skor indeks Indonesia mencapai 66,7 atau terdapat peningkatan 1,8 poin sejak 2015. Meski demikian, skor tersebut masih di bawah rata-rata untuk daerah Asia dan Pasifik dengan skor 67,7. Karenanya, untuk wilayah tersebut Indonesia menduduki peringkat 15 di antara 26 negara. Sementara itu, laporan EM2030 pada 2019 menunjukkan Indonesia berada di posisi 11 di antara 23 negara wilayah Asia dan Pasifik.
Baca juga: Deklarasi Konsensus Jenewa dan Kenapa Ini Bisa Merugikan Perempuan
Dalam wilayah global, Indonesia berada pada peringkat 76 dari 144 negara pada 2020, sedangkan pada laporan sebelumnya Indonesia berada di peringkat 69. EM2030 menyatakan Indonesia memang mengalami sedikit perkembangan dalam beberapa poin SDGs sejak 2015, tetapi berjalan dengan buruk.
Indonesia Meningkat, tapi dengan Catatan
Dalam rentang waktu lima tahun, Indonesia mengalami perkembangan di beberapa tujuan SDGs, seperti tujuan keenam tentang air bersih, sembilan tentang inovasi, dan tiga belas tentang penanganan perubahan iklim. Menurut Justine Anthonie, staf dari Kapal Perempuan, pada tujuan enam, Indonesia mencapai skor 89 atau ada kenaikan 8,2 poin dari pencapaian tahun sebelumnya.
Selain itu, tujuan sembilan ada kenaikan 11,9 poin atau mencapai skor 63,5, membuat Indonesia berada dalam peringkat ke 68 dunia terkait tujuan tersebut. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh akses perempuan terhadap perbankan digital dan internet yang lebih luas. Sedangkan pada tujuan 13 ada kenaikan sebanyak 13,5 poin dan Indonesia memiliki skor 65,5 dan peringkat 35 dunia.
“Indonesia juga ada skor rendah. Tujuan lima tentang kesetaraan gender dengan skor 51 (penurunan 1,5 poin) dan berada di peringkat 115 di dunia, tujuan sepuluh tentang pengurangan kesenjangan dengan skor 58 (berkurang 2,5 poin), dan tujuan 11 tentang kota dan permukiman berkelanjutan dengan skor 60 (minus 12,4 poin) dan berada di peringkat 120 dunia,” ujarnya dalam diskusi
Ia melanjutkan, penurunan dan peningkatan tersebut memiliki banyak catatan yang sebaiknya menjadi perhatian pihak pengambil keputusan. Dalam poin lima, misalnya, walaupun sudah ada regulasi hukum yang mendukung kesetaraan gender, implementasi dari kerangka hukum tersebut masih sulit. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang diusulkan sejak 2016, misalnya, butuh waktu sekitar enam tahun disahkan menjadi UU (12/4).
“Tantangannya juga ada norma sosial yang patriarkal dan subordinasi perempuan atas nama ajaran agama. (Selain itu) kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dan terus merajalela,” ujarnya.
Selain itu, walaupun tujuan delapan tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan poin sebanyak 7,5, sehingga menghasilkan skor 64, pekerja perempuan sektor formal dan informal belum memiliki hak dan perlindungan yang sama.
“Misalnya pekerja rumah tangga tidak berhak atas upah kayak, jaminan sosial atau lingkungan kerja yang aman, dan sering menjadi korban kekerasan. Organisasi Masyarakat Sipil, penggiat advokasi gender dan peruburuhan telah mendorong agar RUU PRT disahkan sejak 2004 tapi sampai saat ini belum ada hasil nyatanya,” jelas Justine.
Baca juga Apa Pemerintah dan Anggota Legislatif Masih Ingat CEDAW?
Sementara peningkatan pada tujuan sembilan, Justine mengatakan, “Catatannya masih ada ketidaksetaraan yang signifikan terutama di kalangan perempuan di daerah terpencil dengan alat komunikasi, dan jangkauan internet maupun listrik yang terbatas,”
Kemajuan Lambat Asia dan Pasifik
Aarushi Khana, Regional Coordinator Asia EM2030 juga menyatakan, perkembangan yang lambat dalam mencapai tujuh belas tujuan SDGs tersebut juga dialami wilayah Asia dan Pasifik. Pasalnya skor wilayah Asia dan Pasifik yang mencapai 67,7 dari total 100 termasuk rendah. EM2030 mengkhawatirkan, jika perkembangan lambat tersebut terus berlanjut, khususnya dalam sektor kesetaraan gender, dunia baru bisa mencapai skor 71 dari 100 saat 2030.
Kekhawatiran yang senada juga dituliskan dalam Global Gender Gap Report 2021 dari World Economic Forum yang menyatakan untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik berhasil menutup kesenjangan gender sebanyak 68,8 persen. Akan tetapi, jika progres terus berjalan dalam kecepatan yang sama, maka butuh sekitar 165 tahun untuk benar-benar mengakhiri kesenjangan itu.
Indonesia juga telah berupaya menutup ketimpangan gender sebanyak 68,8 persen. Meski demikian, Indonesia mengalami penurunan peringkat menjadi 101, sementara tahun sebelumnya berada pada posisi 85. World Economic Forum berargumen dalam laporannya, penurunan tersebut disebabkan oleh masih minimnya partisipasi perempuan di ruang kerja, kesenjangan upah, dan minimnya perempuan di posisi pengambil keputusan.
Dalam laporannya World Economic Forum juga menyebutkan pandemi COVID-19 juga berdampak pada upaya menutup kesenjangan gender. Dalam partisipasi ekonomi, misalnya, ILO menyebutkan lima persen pekerja perempuan kehilangan pekerjaan, semantara 3,9 persen untuk laki-laki. Pandemi juga mempercepat proses digitalisasi menunjukkan kesenjangan dalam ranah pekerjaan yang memerlukan keterampilan teknis. Cloud Computing, misalnya, hanya ada 14 persen perempuan yang berpartisipasi, sementara data dan Artificial Intelligence (AI) mencapai 32 persen.
Baca juga: Kampanye KemenPPPA Soal Ketahanan Keluarga Hapus Beragam Identitas
Khana mengatakan, terkait hasil laporan dari EM2030 dan dampaknya dengan COVID-19 masih sulit diukur sebab pengumpulan data terjadi sebelum pandemi. Namun, melihat situasi sebelum pandemi, kembali ke normal saja tidak cukup sebab upaya yang dilakukan belum cukup untuk mencapai kesetaraan gender dan inkusivitas dalam tujuan SDGs.
Karenanya, dia merekomendasikan beberapa langkah, seperti melakukan reformasi atau membentuk hukum yang sarat kesetaraan gender, mendorong lebih banyak perempuan di posisi pemimpin atau pengambil keputusan, serta memberikan sumber dukungan finansial maupun non-finansial untuk organisasi feminis agar kerja untuk kesetaraan dapat terus berlanjut.
“Selain itu, ikut menyadari ada lubang dalam data penelitian yang menghambat kita melihat gambaran penuh hal yang terjadi pada perempuan. Pun, paling penting bekerja langsung dengan perempuan agar suara mereka bisa didengar, ikut terlibat, dan memiliki kekuatan,” jelasnya.
Sementara Justine mengatakan, “Kinerja Indonesia dalam Gender Indeks SDGs 2022 memerlukan political will yang lebih besar dan upaya yang terkoordinasi untuk memenuhi hak perempuan,”