Deklarasi Konsensus Jenewa dan Kenapa Ini Bisa Merugikan Perempuan
Deklarasi Konsensus Jenewa digadang-gadang mendukung penguatan keluarga, tetapi isinya justru bisa merugikan perempuan.
Pada 22 Oktober 2020, melalui seremoni internasional virtual, pemerintah Indonesia menandatangani Deklarasi Konsensus Jenewa atau yang lengkapnya bertajuk “Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family”. Tidak hanya menjadi satu dari 33 negara yang turut menandatangani, Indonesia bersama lima negara lainnya, yaitu Amerika Serikat, Brazil, Uganda, Mesir, dan Hungaria, menjadi sponsor deklarasi ini. Situs Kementerian Kesehatan Indonesia menyatakan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto hadir dalam peluncuran ini.
Dari pernyataan di situs resmi Kementerian Kesehatan AS atau US Department of Health and Human Services, deklarasi ini mulanya akan ditandatangani negara-negara tersebut di Jenewa, Swiss, sebelum pertemuan langsung dengan Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly, WHA) yang berada di bawah payung Badan Kesehatan Dunia (WHO). Seiring adanya pandemi COVID-19 dan pemberlakuan pembatasan sosial, seremoni penandatanganan dipindahkan ke Washington D.C., AS.
Meskipun Indonesia punya peran besar sebagai salah satu sponsor, tidak banyak yang mendengar kabar mengenai Deklarasi Konsensus Jenewa. Sejumlah pihak, yang terdiri dari 33 organisasi dan 25 individu yang mengetahui draf dan non-paper Deklarasi Konsensus Jenewa, menunjukkan sikap kontranya terhadap deklarasi ini. Kelompok ini menamakan diri mereka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia (KSRI).
Dalam respons tertulis mereka yang dirilis 19 Oktober 2020, koalisi ini menyatakan bahwa Deklarasi Konsensus Jenewa memberi kesan akan menjamin penyediaan layanan kesehatan lebih baik bagi perempuan dan anak perempuan dalam skala global. Namun, dalam pengambilan keputusan untuk berpartisipasi dalam komitmen internasional satu ini, pemerintah tidak melibatkan dan berkonsultasi lebih dulu dengan masyarakat sipil, dan isinya terlihat bisa berdampak merugikan bagi perempuan.
“Isinya seolah berpihak pada perempuan dan keluarga, tetapi dalam pembacaan kritis kami, ini memundurkan kemajuan yang sudah dilakukan masyarakat sipil maupun pemerintah,” ujar Nur Jannah, Community Access Advisor Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia, organisasi yang juga tergabung dalam KSRI, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.
Baca juga: Penipuan Sampai Risiko Nyawa: Konsekuensi Besar Aborsi Tidak Aman
Apa isi Deklarasi Konsensus Jenewa?
Deklarasi Konsensus Jenewa mengangkat isu penguatan keluarga dan peningkatan kesehatan perempuan. Selain itu, deklarasi ini juga menyebutkan soal perlindungan hak untuk hidup.
Deklarasi Konsensus Jenewa mengakui hak asasi manusia (HAM) perempuan dan bahwa semua orang punya kedudukan sama di bawah hukum. Dokumen ini juga menekankan hak setara secara sipil dan politik, serta pembagian tanggung jawab dalam keluarga yang sama antara laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut, di dalamnya juga terdapat sokongan bagi perempuan dan anak perempuan untuk bisa mengakses pendidikan, sumber daya ekonomi, dan partisipasi politik.
Deklarasi ini juga menyoroti secara khusus soal kesehatan dan keselamatan perempuan yang melalui proses kehamilan dan persalinan, juga bayinya. Selain itu, ada satu poin dalam deklarasi ini yang menekankan “larangan mempromosikan aborsi sebagai metode keluarga berencana” dan “segala hal terkait aborsi di dalam sistem kesehatan hanya bisa diatur di tingkat nasional atau lokal sesuai proses legislatif nasional”.
Indikasi larangan aborsi total terlihat pula dalam pernyataan berikutnya, “anak membutuhkan pengawasan khusus dan perhatian…sebelum dan sesudah dilahirkan”.
Poin mengenai penguatan keluarga terlihat dalam pernyataan bahwa keluarga merupakan kelompok fundamental bagian dari masyarakat dan patut dilindungi masyarakat serta negara. Perempuan juga dikatakan memainkan peran penting dalam keluarga.
Seiring dengan pernyataan dalam Deklarasi Konsensus Jenewa, ada tujuh komitmen yang disepakati bersama oleh ke-33 negara. Pokok-pokok komitmen itu adalah jaminan pemenuhan HAM dan kesetaraan kesempatan, akses kesehatan bagi perempuan, penguatan peran keluarga, serta penekanan pada tidak adanya hak internasional apa pun untuk mengakses atau memfasilitasi aborsi.
Menurut KSRI, Deklarasi Konsensus Jenewa mengecualikan hak dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi perempuan dan anak perempuan, khususnya terkait wacana aborsi yang sebenarnya sudah diatur dalam sejumlah peraturan di Indonesia. Partisipasi Indonesia dalam deklarasi ini bisa dipandang sebagai suatu kemunduran.
Baca juga: Perempuan, Kelompok Rentan Hadapi Diskriminasi dalam Akses Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Di level internasional, sudah ada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), SDGs, Universal Periodic Review (UPR), dan Beijing Platform for Action (BPfa +25) yang menyinggung soal hak-hak perempuan. Indonesia sendiri sudah meratifikasi CEDAW dan mengeluarkan UU No. 7/1984 terkait ini. Mengenai isu hak asasi manusia, Indonesia sudah mengesahkan UU No. 39/1999 tentang HAM dan hak perempuan termaktub pada bagian kesembilan. Hak reproduksi perempuan juga disinggung dalam Pasal 49 UU ini.
Secara spesifik mengenai tindakan aborsi, Indonesia sudah melegalkannya hanya untuk tiga kondisi: ada indikasi medis ibu; ada indikasi medis janin; dan untuk korban pemerkosaan sesuai UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Aturan mengenai batas maksimal pengambilan tindakan ini serta tata laksananya juga telah ada dalam regulasi yang keluar berikutnya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 61/2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3/2016.
Proses yang tak lazim
KSRI menyayangkan keputusan pemerintah yang terlihat buru-buru menandatangani deklarasi ini tanpa mengkritisi lebih jauh.
“Bahasa yang digunakan dalam deklarasi dan seremoni ini begitu subtle, mengutamakan keluarga, sehingga dampaknya yang besar terhadap akses kesehatan reproduksi perempuan tidak terlalu terlihat,” kata Riska Carolina, peneliti dan pakar hukum transnasional dalam diskusi tersebut.
Untuk mendukung pernyataan soal HAM dan penguatan keluarga, deklarasi ini juga mengutip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs).
“Sementara, CEDAW yang menjadi acuan untuk pemenuhan hak perempuan dan telah diratifikasi Indonesia tidak dijadikan referensi sama sekali di deklarasi itu,” ujar Nur Jannah.
“Ada pemisahan seolah HAM ada hierarkinya, mana yang penting dan tidak. Padahal hak kesehatan reproduksi adalah hal komprehensif untuk ditekankan.”
Deklarasi ini merupakan bagian dari side event acara WHA, bukan mekanisme resmi organisasi dunia tersebut. Di PBB itu hanya ada empat mekanisme terkait HAM: melalui UPR, Special Procedure, dewan HAM PBB, dan Badan Traktat PBB.
“Kalau Indonesia berpartisipasi dalam deklarasi ini, dampaknya akan mempengaruhi reputasi negara yang sudah mengikuti empat mekanisme PBB tersebut. Laporan UPR kita makin jelek, laporan CEDAW dari masyarakat sipil juga akan jelek,” kata Riska.
Retorika global tentang “nilai-nilai keluarga” adalah representasi dari upaya terukur oleh pihak-pihak yang tidak mengindahkan hak perempuan untuk membuat keputusan atas dirinya, untuk memundurkan capaian kesetaraan gender selama beberapa dekade.
Upaya untuk melakukan audiensi dan menyampaikan kritik terhadap deklarasi sebelum Indonesia menandatangani Deklarasi Konsensus Jenewa telah dilakukan KSRI. Namun, pihak kementerian terkait, yaitu Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kesehatan, menyatakan bahwa deklarasi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
“Concern sudah disampaikan. Ini proses aneh sekali, tidak umum, kementerian yang tahu sedikit sekali padahal ini cross cutting issues dan ada kesan alienasi terhadap hak-hak layanan reproduksi,” ujar Nur Jannah.
Ia menambahkan, proses penggalangan dukungan untuk deklarasi ini hanya menyasar negara-negara berpemikiran serupa yang cenderung berpemerintah konservatif.
Agenda pemerintahan Trump
Menurut KSRI, munculnya deklarasi ini tidak lepas dari kepentingan pemerintahan AS di bawah Donald Trump, yang dikenal konservatif dan menentang tindakan aborsi atau gerakan pro-choice. Pada masa pemerintahannya, Trump menegakkan kembali kebijakan melarang penyedia layanan kesehatan yang dibiayai negara untuk memfasilitasi atau membicarakan soal aborsi.
Ini terlihat misalnya dari pidato Menlu Mike Pompeo, yang mengatakan AS menginisiasi Deklarasi Konsensus Jenewa. Menarik untuk diketahui bahwa AS yang menginisiasi deklarasi ini, justru merupakan negara yang belum meratifikasi CEDAW sampai sekarang.
KSRI mengkritik pemerintah Indonesia yang dipandang luput melihat deklarasi ini berhubungan upaya Trump untuk mengecilkan peran lembaga-lembaga PBB, yang telah mengeluarkan konvensi-konvensi yang isinya mendukung kesetaraan gender dan pemenuhan hak individu perempuan.
Kecurigaan akan adanya agenda Trump ini terlihat pula dalam pemberitaan di The Washington Post, bahwa pihak pengkritik mencermati Deklarasi Konsensus Jenewa ditandatangani kurang dari dua minggu sebelum pemilu AS. Ini mengindikasikan adanya usaha pemerintahan Trump untuk menggalang aliansi dengan para pemimpin negara lain untuk menyokong pembatasan aborsi secara global.
Merugikan perempuan
Jika Indonesia kemudian mengikuti isi deklarasi tersebut, implikasi yang dapat terjadi kemudian adalah berkembangnya tindakan aborsi tidak aman, termasuk dalam kondisi yang sebenarnya dikecualikan dalam UU No. 36/2009 tadi. Padahal rekomendasi umum CEDAW menyinggung mengenai kesakitan dan kematian ibu yang utamanya disebabkan oleh aborsi tidak aman.
Baca juga: Refleksi Setahun Konvensi ILO 190: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja
Di Indonesia sendiri, angka kematian ibu (AKI) pada 2015 adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), sementara target SDGs (waktu itu Millenium Development Goals, MDGs) adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup. Masalah AKI ini menjadi pekerjaan rumah berat bagi Indonesia mengingat pada 2030 nanti, SDGs menargetkan angka kematian ibu menurun hingga 70 per 100.000 kelahiran hidup.
Menjadi kontradiktif ketika Deklarasi Konsensus Jenewa menekankan perlindungan hak hidup, tetapi menyingkirkan opsi aborsi aman dengan kondisi yang sudah dikecualikan di UU No. 36/2009 seperti adanya indikasi medis ibu. Ketika kehamilan dan persalinan tetap terpaksa dilakukan karena aborsi dilarang sepenuhnya, risiko kematian ibu dengan indikasi medis pun tinggi.
Dalam Pasal 72 UU No. 36/2009, disebutkan bahwa setiap orang berhak menentukan kehidupan reproduksinya. Secara khusus dalam huruf (d), dikatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pembatasan informasi atau layanan aborsi sebagaimana tersirat dalam Deklarasi Konsensus Jenewa dengan demikian berkontradiksi dengan pasal ini.
Kendati mengapresiasi usaha pemerintah untuk memperhatikan keluarga, KSRI menyayangkan sikap pemerintah yang seolah abai terhadap banyaknya bentuk keluarga dengan individu-individu yang memiliki persoalan dan kebutuhan berbeda. Penekanan yang diberikan oleh Deklarasi ini kepada keluarga mereka pandang sebagai upaya yang sistemik dan terstruktur untuk mengabaikan kesetaraan gender dengan membatasi ruang dan peran perempuan dengan dalih kepentingan terbaik untuk keluarga.
Argumen KSRI ini disertai dengan catatan dari UN Women pada 2019 lalu, yang menyatakan bahwa retorika global tentang “nilai-nilai keluarga” adalah representasi dari upaya terukur oleh pihak-pihak yang tidak mengindahkan hak perempuan untuk membuat keputusan atas dirinya, untuk memundurkan capaian kesetaraan gender selama beberapa dekade.
KSRI menilai, kendati tidak mengikat secara hukum, keterlibatan Indonesia dalam Deklarasi Konsensus Jenewa bisa menjadi angin segar bagi para pendukung RUU Ketahanan Keluarga. Hal ini seolah mengafirmasi tujuan yang hendak dicapai dalam RUU yang kontroversial tersebut.