Issues

Apa yang Tidak Kita Bicarakan Saat Berbicara tentang Tionghoa Indonesia

Komunitas Suara Peranakan berbicara tentang stereotip terhadap orang-orang Tionghoa dan konteks sejarah sosial politik yang menyuburkan diskriminasi terhadap mereka.

Avatar
  • February 11, 2021
  • 15 min read
  • 895 Views
Apa yang Tidak Kita Bicarakan Saat Berbicara tentang Tionghoa Indonesia

Apa yang tebersit di pikiranmu ketika berbicara tentang etnis Cina atau Tionghoa di Indonesia? Bahwa kulitnya putih dan matanya sipit? Orang Tionghoa itu pasti pintar dagang dan kaya raya? Atau orang Tionghoa itu eksklusif karena maunya bergaul dan menikah dengan sesama Tionghoa saja?

Stereotip semacam itu melekat erat pada komunitas keturunan Cina atau Tionghoa di Indonesia. Namun, jarang sekali ada yang mau membahas kenapa kehadiran orang Tionghoa di ranah politik sangat minim. Atau kenapa orang Tionghoa cenderung hidup di komunitasnya sendiri dan enggan masuk aktivisme sosial. Dan bahwa mereka merupakan kelompok masyarakat yang sering menghadapi diskriminasi dan rasialisme sejak zaman dulu.

 

 

Kevin Ng, dari komunitas Suara Peranakan, mengatakan bahwa adanya sejarah kelam di Indonesia yang masih ditutup-tutupi membuat perbincangan tentang isu-isu tersebut seolah menjadi tabu. Bahkan kelompok Tionghoa sendiri tak jarang masih enggan membicarakan hal itu.

Situasi ini mendorong Kevin dan kawan-kawannya sesama keturunan Cina lainnya memutuskan untuk membentuk Suara Peranakan, sebuah kolektif dan tempat aman untuk membicarakan isu-isu selama ini dianggap tabu. Lewat Suara Peranakan, mereka ingin mengajak lebih banyak lagi orang Tionghoa untuk lebih berani bersuara tentang apa yang menjadi keresahan mereka selama ini.

“Kalau kita bertahan di bubble itu dan di zona nyaman itu ya kita enggak akan bisa berpikir maju. Kita harus keluar dan berani berinteraksi. Harus mau belajar dan mendengarkan orang dulu, baru bisa berbicara,” ujar Kevin, mahasiswa di University of Western Australia.

Menurutnya, semua stereotip yang disematkan kepada orang Tionghoa tidak bisa dipandang dari satu sisi saja karena semua itu merupakan produk yang sudah terbentuk sejak masa kolonial, sehingga penting untuk melihat dari sisi sejarah terlebih dahulu.

Simak obrolan lengkap Kevin dengan Junior Editor Magdalene, Patresia Kirnandita, berikut ini.

Magdalene: Boleh diceritakan, Suara Peranakan itu apa sih?

Ini adalah sebuah kolektif Tionghoa Indonesia, di mana kami membicarakan isu rasialisme, diskriminasi, dan segala jenis penindasan lainnya. Jadi, kami ini menghimpun Tionghoa Indonesia untuk bicara tentang pengalaman mereka.

Saat ini saya rasa belum ada yang memberikan tempat kepada Tionghoa Indonesia untuk bicara masalah ketidakadilan atau kemanusiaan. Sehingga, kami berdiri di sini memberikan tempat bagi mereka agar bisa lebih bersuara.


Kapan inisiatif Suara Peranakan ini terbentuk? Siapa saja yang bisa bergabung
?

Inisiatif ini sebetulnya awalnya itu lebih ke obrolan sesama teman aktivis, jurnalis, dan kawan-kawan lainnya. Terbentuknya sekitar empat bulan lalu. Memang masih sangat baru jadi kami masih terus belajar untuk memperbaiki diri dan merefleksikan diri sendiri. Para anggotanya saat ini aktivis, penulis, jurnalis, dan Tionghoa Indonesia yang tertarik dengan isu-isu sosial politik, budaya dan segala macamnya.

Berbicara tentang peranakan Tionghoa pasti salah satu karakteristik yang kuat adalah tampilan fisik. Bahwa Tionghoa Indonesia itu berkulit putih dan matanya sipit.

Stereotip dari segi fisik itu benar, tapi yang paling ditekankan biasanya adalah matanya sipit. Beberapa waktu lalu sempat ramai gambar di mata uang Indonesia yang dipermasalahkan, karena katanya ada budaya Tionghoa karena ada anak yang sipit. Jadi menurut saya yang paling kentara itu matanya sipit.

Biasanya orang yang kulitnya gelap sekalipun kalau matanya sipit, pasti orang bertanya-tanya apakah dia Tionghoa apa bukan. Nah, kalau misalnya ada Tionghoa yang matanya agak belo, kita biasanya menanyakan, apakah dia campuran. Jadi lebih ke sipit sih yang saya lihat.

Selain itu ada anggapan bahwa orang Tionghoa itu harus bisa bahasa Mandarin. Itu juga asumsi yang sangat liar ya. Menurut saya, asumsi itu berasal dari anggapan bahwa keturunan Tionghoa di Indonesia itu pasti dari Tiongkok dan bisa bahasa sana. Padahal, kan Tionghoa itu beragam sekali. Chinese Singaporean dan Malaysian itu berbeda. Begitu pun dengan peranakan Tionghoa di sini, pasti berbeda karena sudah ada akulturasi dengan budaya Indonesia.

Masalahnya, sudah ada semacam pakem-pakem yang ada pikiran orang-orang yang berasumsi bahwa orang Tionghoa itu dari Tiongkok. Mmang secara enggak langsung kita punya darah Tionghoa juga, tapi kan sekarang dari generasi ke generasi sudah beragam. Apalagi sudah terjadi akulturasi antara Tionghoa dan non-Tionghoa.

Makanya suka ada bahasa rasialis yang bilang, orang Tionghoa balik saja ke negara asal. Padahal, negara asal kita lahir ya di Indonesia lah.

Baca juga: Menjadi Cina Antara Mei 1998 dan 2019

Ada pengaruh dari kondisi sosial politik di masa lalu enggak sih terkait dengan penggunaan bahasa Mandarin itu?

Nah, itu sebetulnya satu generasi yang kehilangan identitas, karena pada masa Orde Baru kelompok Tionghoa Indonesia dibatasi ruang geraknya. Mereka dilarang untuk menampilkan budayanya ke publik, agamanya tidak diakui, begitu pun bahasa Mandarin yang jarang sekali digunakan. Orang Tionghoa ini belajar Mandarin secara diam-diam.

Alhasil, generasi saya terutama, semakin sulit sekali belajar bahasa Mandarin karena tidak diturunkan, dan orang tua kami juga kebanyakan tidak mengerti bahasa Mandarin. Pada masa itu jarang sekali orang belajar bahasa Mandarin. Jadi, ada satu generasi yang dirampas identitasnya.

Terkait dengan penghilangan identitas itu, selain soal bahasa, biasanya orang Tionghoa itu punya dua nama, Indonesia sama Tionghoa. Apakah itu bagian dari perampasan identitas tadi?

Iya sebetulnya kita ini sebagai peranakan kebingungan, apakah kita ini Indonesia atau Tionghoa. Ada  semacam ambiguitas dalam mencari identitas diri. Kartu Tanda Penduduk (KTP) kita Indonesia, tapi identitas kita Tionghoa. Itu berdampak besar sekali bagi Tionghoa Indonesia karena proses pencarian jati diri itu betul-betul panjang.

Bahkan, beberapa ada yang terjebak dengan ultranasionalisme. Jadi, dia tidak mengakui dia Tionghoa. Ada asimilasi paksa di sana, artinya dia sudah menganggap dirinya sebagai Indonesia tulen dan menghilangkan identitas Tionghoa-nya. Ada juga yang sebaliknya, jadi dia hanya menganggap dirinya sebagai Tionghoa saja bukan Indonesia. Itu yang kadang membingungkan sekali.

Apakah ada diskriminasi terhadap peranakan Tionghoa yang berkulit gelap?

Dulu saya punya kawan Tionghoa berkulit agak gelap. Tapi menurut saya apa pun warna kulitnya dia tetap Tionghoa-Indonesia. Memang, pasti ada ejekan baik dari luar maupun dari orang Tionghoanya sendiri. Hal itu karena prasangka diskriminasi terhadap orang di luar Tionghoa yang masih kental sekali. Teman saya bilang dia tetap Chinese dan bisa bahasa Hokkian. Walau sempat bingung kenapa dia mendapatkan diskriminasi, tapi lambat laun dia bisa juga diterima sebagai Chinese Indonesian.

Saat masa Orde Baru kelompok Tionghoa dibatasi partisipasinya dalam layanan publik, seperti pemerintahan atau perusahaan nirlaba. Di saat iklim politik sekarang ini sudah lebih terbuka, apakah masih ada keengganan bagi masyarakat Tionghoa untuk masuk bidang tersebut?

Kita harus melihat dari segi sejarahnya dulu, kenapa orang Tionghoa tidak diberikan partisipasi politik.  Pada tahun 1960-an orang Tionghoa itu sangat berpartisipasi dalam politik. Ada Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Keduanya sempat berseteru karena Baperki itu lebih setuju dengan akulturasi, di mana integrasi masyarakat Indonesia Tionghoa itu tanpa menghilangkan identitas Tionghoa-nya. Namun di LPKB itu lebih setuju melebur secara menyeluruh menjadi Indonesia.

Setelah Soeharto bangkit, generasi itu hilang karena Baperki itu dikaitkan dengan komunis Tiongkok. Siauw Giok Tjhan pemimpin Baperki itu juga kena imbasnya, beberapa anggotanya kena imbasnya.

Di zaman Soeharto, kemudian banyak dikeluarkan kebijakan rasialis, seperti kita harus punya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), sampai dengan pergantian nama. Pada saat itu, masyarakat Tionghoa masih berpartisipasi tapi dalam segi ekonomi karena mereka digunakan sebagai mesin penggenjot ekonomi, mesin ATM Orde Baru.

Sedangkan dalam sisi politik, Tionghoa berusaha dijauhkan agar enggak berpartisipasi. Kalau dibiarkan masuk politik ya itu dianggapnya sangat berbahaya sekali bagi rezim Orde Baru. Masyarakat Tionghoa juga kan ada yang kaya dan miskin, tapi yang dimanfaatkan itu yang memiliki kapital, perusahaan dan pabrik. Namun mereka yang kaya juga dijauhkan dalam politik, mereka hanya diberikan kuasa modal tapi tidak dengan kuasa politik. Sekarang ini Ahok (mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) itu dielukan banyak pihak karena bisa masuk politik. Padahal, dari dulu sudah banyak yang masuk ke politik dan jadi aktivis.

Baca juga: Kamu Orang Mana, Kamu Orang Apa: Ketika Jadi Orang Indonesia Tak Cukup

Apakah karena partisipasi Tionghoa di bidang ekonomi itu, jadinya muncul stereotip bahwa orang Tionghoa itu jago berdagang, kompetitif dan pekerja keras?

Saya selalu berusaha melihatnya itu secara sistemis dan itu sudah terjadi sejak zaman Belanda. Kita kan oleh pemerintah kolonial sejak dulu itu sudah dikotak-kotakkan. Ada golongan pribumi, golongan Tionghoa, Eropa, sampai dengan golongan Timur Asing. Nah, itu tuh sudah lengkap dengan berbagai stereotipnya. Kenapa kok kita dibedakan begitu? Karena kalau kita bergabung itu dianggap berbahaya sekali oleh pemerintah kolonial. Kalau ada gerakan Tionghoa dan non-Tionghoa bakal jadi sangat kuat, sehingga mereka semakin takut.

Politik semacam itu juga gunakan di peristiwa Geger Pecinan (tahun 1740). Pihak Belanda menghasut kalau Tionghoa bakal memperbudak dan memperkosa pribumi. Akibatnya, ribuan orang Tionghoa itu dibunuh secara sadis oleh orang-orang. Bahkan, pihak Belanda itu memberikan insentif pada mereka yang bisa membawa kepala Tionghoa. Jadi, kebencian itu sudah ditanamkan sejak lama.

Selain itu, Belanda juga menggunakan Tionghoa itu sebagai peminta uang pajak. Mereka digunakan sebagai orang-orang di pemerintahan VOC, tapi setelah digunakan ya mereka dibuang.

Kerusuhan tahun 1998 pun punya narasi yang sama, bahwa masyarakat Tionghoa itu bikin negara miskin karena mereka merampas ekonomi dan mengeksploitasi ekonomi. Sasaran amuk itu bukan cuman Tionghoa yang kaya saja tapi semua Tionghoa yang miskin sekalipun kena imbasnya. Mereka yang kaya itu bisa kabur ke luar negeri pada saat itu. Sedangkan yang miskin, itu toko kelontongnya dibakar, mereka harus membangun toko mereka sendiri.

Saya punya analogi unik sendiri, apakah kita menentang praktik Lippo Group, misalnya karena pemiliknya Tionghoa atau kita menentang karena mereka merampas lahan dan dampaknya besar bagi masyarakat sekitar. Kalau alasannya yang pertama, ya berarti kita sudah terjebak dengan isu rasialisme. Dalam analogi tersebut itu esensinya kan pertarungan kelas. Jadi, kita harus berpikir lebih kritis lagi.

Mengungkit masa lalu itu berat, tapi kita harus beri kesempatan orang Tionghoa untuk berbicara tentang rasialisme di masa lalu. Ini bukan masalah siapa yang paling tertindas. Ini masalah memberi kesempatan orang untuk bersuara, karena selama ini tidak diberi kesempatan.

Orang Tionghoa itu katanya eksklusif kalau menikah maunya sama orang Tionghoa lagi, emang benar?

Jadi, bagi orang Tionghoa muda kayak kami ini, katanya kami boleh mencintai tapi bersyarat. Kadang saya bertanya sama teman-teman, bagaimana kalau mereka pacaran dengan yang non-Tionghoa. Mereka menjawab, bisa-bisa KTP-nya dicabut atau dikeluarkan dari Kartu Keluarga. Memang saya kira masih kental sekali konservatismenya. Enggak cuman etnis saja, biasanya ada pantangan-pantangan lain, seperti agama tertentu.

Berarti sebetulnya di dalam kelompok Tionghoa juga ada diskriminasi?

Saya kurang setuju dengan reverse -isms. Sebetulnya kita ini kan korban dari sebuah sistem rasialisme yang telah mengakar. Kalau misalnya kita bilang dia kan rasialis, tapi kita harus mencari tahu kenapa dia rasialis, apa yang membuatnya menjadi rasialis. Itu bukan cuman masalah personal tapi masalah struktural. Istilahnya dia rasialis karena dia benci gue, nah, kebencian itu kan berasal dari sistem yang membuat mereka begitu dan sudah lama dilanggengkan sampai sekarang.

Pangeran Diponegoro misalnya, dia enggak punya masalah xenofobia awalnya. Tapi karena kekalahan dia di Perang Gawok, setelah itu dia membenci Tionghoa. Itu kan sebetulnya berangkat dari asumsi yang tidak berdasar, dan kemudian itu dilanggengkan pada masa kolonial, terus masa Orde Baru, dan sekarang kita menanggung akibatnya.

Masyarakat Tionghoa secara keseluruhan itu kan berbeda-beda, ada yang berasal dari daerah Hokkian misalnya, ada sentimen enggak sih kalau di tubuh Tionghoanya sendiri?

Wah kalau sudah sampai ke situ sudah kuno sekali ya. Setahu saya, kalau di luar pulau Jawa itu masih kental sekali, mereka masih menggunakan dialek Hokkian, seperti di Medan itu masih dipakai Hokkian sehari-hari. Namun saya rasa, kebanyakan anak muda sekarang kurang tahu apakah dia Hokkian, kecuali dia diberi tahu.

Stereotip itu ada sih. Misalnya Kek itu disebutnya agak pelit. Kalau saya Hokkian, jadi enggak tahu saya stereotipnya apa. Jadi sebetulnya ada juga asumsi kalau kelompok ini lebih pelit dari kelompok saya.

Baca juga: 22 Tahun Pasca-Kerusuhan Mei 1998, Prasangka dan Trauma Masih Ada

Bagaimana membangkitkan kepedulian masayarakat Tionghoa tentang isu kemanusiaan dan kepedulian sosial?

Saya rasa bisa dimulai dengan role model sih, siapa saja mereka yang terlibat dalam isu sosial politik. Jadi di Suara Peranakan kami berusaha memberikan lebih banyak lagi orang-orang selain Ahok, atau yang paling banyak orang tahu kan Soe Hok Gie.  Masih ada banyak tokoh dalam sejarah yang terlupakan, Hendrawan Xie, atau Ita Martadinata juga salah satu orang yang sangat berani. Dia itu penyintas dan saksi pemerkosaan massal 1998, dan dia dibunuh sebelum bersaksi di konferensi di PBB. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer juga ada turunan Tionghoa, pokoknya banyak sekali.

Secara personal, apakah ada kekhawatiran dalam diri Kevin saat melakukan aktivisme?

Itu berat sekali, teman-teman juga mungkin akan berpikir berkali-kali apakah worth it untuk masuk ke dunia aktivisme. Tapi kalau kita tahu ada sesuatu yang salah, pasti akan tergerak untuk melakukan sesuatu yang mengarah ke perubahan. Itu kan natural ya sebagai manusia. Kalau kita tahu ada ketidakadilan, kita pasti ingin ada keadilan.

Ketakutan itu pasti ada, cuman kalau misalnya kita tetap diam maka ya sistem ini enggak bisa kita robohkan. Dan ini perjuangan bersama, bukan cuman orang Tionghoa saja tapi semua orang sebagai manusia. Kita harus bisa melepas pikiran yang melihat seseorang itu dari wujudnya. Kita harus bisa melihat seseorang sebagai manusia. Jadi kita harus memanusiakan manusia.

Kalau kita sudah paham bahwa manusia itu harus memperjuangkan haknya sebagai manusia, jadinya kita ya enggak ragu untuk bergerak dalam isu sosial.

Pernah jadi pelaku diskriminasi enggak, karena jadi korban sekian lama?

Masa SMA itu yang paling berat ya, saya sampai di fase depresi karena dikatain penjual bakmi lah, sipit lah. Nah itu tiap hari jadi bulan-bulanan. Sekarang sudah tahan mental. Dulu sih sempat enggak kuat. Setelah mencari tahu banyak hal, saya sadar bahwa kita harus mencari keadilan. Politik itu bukan cuman politik praktis, tapi juga hak individu sebagai warga negara yang berhak hidup aman.

Apakah karena merasa berbeda itu yang membuat orang Tionghoa mencari kelompok yang sama sehingga dinilai eksklusif?

Dalam jangka pendek iya bisa dikatakan seperti itu. Pengalaman personal saya karena sering terkena bullying, jadinya mencari orang yang seperti saya dan pada akhirnya ketemu juga. Yang menarik, ini adalah pengalaman teman saya yang berbeda-beda. Ada yang campuran tapi yang satu menolak ketionghoaannya, yang satunya lagi menolak keindonesiaannya. Jadi dua pandangan yang sangat berbeda, memang harus dicari kesamaan, dan kesamaannya itu kita sama-sama manusia. Kalau kita bertahan di bubble itu, dan di zona nyaman itu ya kita enggak akan bisa berpikir maju. Kita harus keluar dan berani berinteraksi. Mendengarkan orang-orang dulu, baru berbicara.

Ada seorang Tionghoa mengatakan, ketika dirinya sering berbicara tentang rasialisme di sosial media, temannya sesama Tionghoa menuduhnya playing victim karena penindasan di masa lalu jangan diungkit lagi. Bagaimana tanggapan Kevin?

Ya, itu dalam pikiran saja sudah tidak adil. Tidak memberikan tempat bagi Tionghoa untuk berbicara. Saya mengerti memang ada orang yang memang lelah untuk bersuara. Mereka berpikir ya mau ngapain lagi, bersuara juga disalahkan, enggak bersuara juga disalahkan.

Memang mengungkit masa lalu itu berat, tapi kita harus berubah. Setidaknya kita kasih kesempatan orang Tionghoa untuk berbicara tentang rasialisme di masa lalu. Jangan jadi direduksi begitu, apalagi dibilang, halah ungkit-ungkit masa lalu. Kan suka ada tuh orang yang merasa, lu aja yang paling merasa tertindas. Padahal, ini bukan masalah siapa yang paling tertindas, ini masalah memberi kesempatan orang untuk bersuara, selama ini kan enggak diberi kesempatan.

Kenapa perlu memberi tahu anak-anak muda tentang tragedi yang menimpa komunitas Tionghoa di masa lalu?

Saya masih umur 20 tahun, belajarnya itu awal-awal dari YouTube dan Google. Awalnya, itu saya mencari peristiwa genosida di dunia, karena setiap negara pasti punya sejarah kelam. Bahkan, pendiri bangsa kita juga enggak sempurna, banyak sekali kekurangannya.

Dari situ saya mulai belajar untuk lebih skeptis, tidak mudah percaya, dan mulai mempertanyakan segalanya. Kalau kita dicekokin buku-buku tebal tentang sejarah kan sangat sulit. Dari dasar dulu saja, kayak pertanyaan “kenapa sih terjadi kerusuhan 98”. Intinya, kita harus lebih terbuka dan enggak mudah percaya. Dalam melihat Ahok misalnya, karena dia itu Tionghoa ya sudah kita harus mengikuti. Padahal, dia juga kebijakannya bias kelas, melakukan penggusuran paksa. Kita harus lebih kritis.

Kamu lahir setelah 1998, kenapa tertarik dengan isu itu?

Meskipun saya tidak terlibat langsung dengan kejadian itu, tapi saya itu tetap korban dari sejarah yang ditutup-tutupi. Saya mau kejelasan dari sejarah itu, kalau saya enggak tahu bagaimana saya mau menjadi orang Indonesia. Kita semua ini korban dari suatu sejarah yang kelam dan sampai sekarang belum ada kejelasannya, pemerkosaan massal saja belum jelas. Kalau dengar kata pemerkosaan aja kita kesal, apalagi ini terjadi secara massal. Ita Martadinata ini dibunuh, kita enggak bisa diam mendengar itu. Di mana rasa kemanusiaan kita kalau kita diam? Kita enggak perlu muluk-muluk ikut demonstrasi, kita harus bisa memulai mencari tahu serta membaca, dan turut meminta keadilan bagi keluarga penyintas.

Bagaimana untuk memulai aktivisme sebagai orang keturunan Tionghoa?

Itu masalah anak muda banget ya. Saya rasa bukan karena ras banget sih, tapi karena ada ketakutan atau teror yang tidak terlihat. Sejak masa Orde Baru kan kelompok Tionghoa dijauhkan dari politik. Jadi, masih ada ketakutan itu. Tapi kita ini generasi rebel, ya sudah lah. Saya rasa semua orang tua pasti khawatir kalau misal anaknya membahas isu politik dan sosial bukan cuman Tionghoa saja.

Ada juga kan, kalau kita bersuara ada ancaman bahwa akan terjadi lagi kerusuhan 1998, atau kejadian yang menimpa Ahok juga akan terjadi pada kita. Tapi kalau kita majunya secara kolektif ya enggak akan disalahkan. Kita berjuang untuk keadilan dan hak-hak kita sebagai individu.

Bagaimana caranya menghilangkan rasa insecure sebagai minoritas?

Sampai sekarang rasa insecure itu masih ada. Saya percaya semua orang pasti punya ketakutan cuman kalau Tionghoa sebagai minoritas itu lebih kali ya. Bahkan, sebelum berbicara aja sudah ada kecaman. Paling untuk mengurangi itu coba ikut serta dalam diskusi yang aman dan menghargai kamu sebagai seorang manusia. Cari teman diskusi yang punya pemikiran sama. Support system itu membantu banget.

Tren generasi muda di kelompok Tionghoa sekarang ini konservatif atau progresif?

Sulit disebutkan ya konservatif apa progresif. Cuman saya masih lihat stereotip Tionghoa harus kaya yang masih sangat kuat sekali di anak muda. Secara enggak langsung pemikiran kayak gitu justru memerankan pemikiran rasialis yang sistemis itu. Enggak cuman di Tionghoa, semua sekarang harus sukses dalam artian kaya. Itu kan sistem kapitalisme yang bikin orang berpikir kayak gitu. Istilahnya, American Dream, yang memberi kesempatan untuk semua orang. Padahal kan enggak segampang itu, ada unsur privilese dan warisan kekayaan misalnya.

Ada pesan untuk teman-teman yang lain?

Ini untuk semuanya ya, kita harus belajar mendengarkan dan berdialog. Tapi bukan debat ya, harus dengan kepala dingin dan jangan menyanggah. Kalau misal, ada orang yang membicarakan tentang pengalamannya, didengarkan dan jangan dihakimi playing victim lah. Begitu pun stereotip pribumi malas misalnya, kita juga harus mendengarkan mereka. Kan kita sedang sama-sama melawan kebencian stereotip yang sudah mengakar dan sistematis.

Ilustrasi oleh Karina Tungari, Adhitya Pattisahusiwa


Avatar
About Author

Siti Parhani

Hani adalah seorang storyteller dan digital marketer. Terlepas dari pekerjaannya, Hani sebetulnya punya love-hate relationship dengan media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *