Sejarah Membuktikan Muslimah Dilarang Jadi Pemimpin, Benarkah?
Sejak zaman Rasul, perempuan telah berkiprah sebagai pemimpin. Sayangnya, proses pencatatan sejarah yang bisa gender mengaburkan peran mereka.
Sejak zaman Nabi Muhammad, ada beberapa perempuan muslimah yang dikenal sebagai pemimpin, seperti saudagar Khadijah, istri Rasulullah. Kelihaiannya dalam berdagang membuat Khadijah disegani masyarakat dan dikenal sebagai pemimpin perempuan di dunia perniagaan.
Ada juga Aisyah binti Abu-Bakar, istri Rasulullah yang sering meriwayatkan hadis. Karenanya, setelah Nabi Muhammad wafat, Aisyah dijadikan rujukan untuk narasi keagamaan di komunitas muslim. Lalu Ummu Waraqah, muslimah yang menjadi imam salat sebab dia seorang penghafal Alquran dan memiliki jiwa kepemimpinan. Selain itu, ada Fatimah Al-Fihri, pendiri universitas pertama di dunia, Al-Qarawiyyin.
Namun, kiprah perempuan menjadi pemimpin sering berhadap-hadapan dengan anggapan perempuan tak seharusnya mengemban “tugas laki-laki”. Ungkapan itu juga didukung oleh hadis yang diriwayatkan Abu Bakrah. Bunyinya,“Ketika sampai kepada Rasulullah kabar tentang pengangkatan Putri Kisra menjadi ratu (Kerajaan Persia), beliau bersabda, ‘Tidak akan beruntung sebuah kaum yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang perempuan.’”
Yuniyanti Chuzaifah, komisioner purnabakti Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, di konteks dunia modern, hadis tersebut juga dijadikan alat untuk tidak memilih perempuan sebagai pejabat publik saat Pemilihan Umum (Pemilu). Hadis tersebut pun mengaburkan peran pemimpin muslimah dalam sejarah. Sementara kredibilitas Abu Bakrah dipertanyakan cendekiawan muslim sebab pernah memberi tuduhan tak benar seseorang sedang berzina, ujarnya.
“Dalam masyarakat Islam, hadis ini dilepaskan dari konteks, seakan-akan ini stigma penghukuman perempuan tak bisa menjadi pemimpin. Dalam versi yang progresif muncul kemarahan dari Parsi. Catatan penting lain, walaupun ada (respons) buruk ke Abu Bakrah, hadis itu tumbuh kuat karena iklim maskulin,” jelasnya dalam diskusi Magdalene Learning Club “Pemimpin Perempuan yang Dikaburkan Sejarah”, April lalu.
Dia juga mengatakan, ketika melihat perempuan pemimpin dalam tradisi Islam, perlu dicermati dengan perspektif interseksionalitas, termasuk dari mana kelasnya berasal. Walaupun ada kesamaan perempuan dari segi keagamaan, pemimpin itu cenderung datang dari sosok dengan status sosial atau kelas tinggi dan istri dari sosok yang populer. Hal tersebut tak hanya berlaku pada kesejarahan Islam, tetapi juga narasi historis perempuan pemimpin dan pahlawan di Indonesia.
“Dulu saya sering bertanya kenapa di sejarah, pemimpin ada kata raden, ajeng, pangeran, atau tuanku? Apakah kakek dan nenek saya bukan pahlawan, sementara ayah saya sering cerita mereka berjuang di masa kolonial. Ini juga kenapa sejarah elitis mengaburkan tokoh penting,” jelas Yuniyanti yang penelitian doktor dan magisternya berpusat pada peran pemimpin muslimah.
Baca juga: Perempuan yang Timbul Tenggelam dalam Peralihan Rezim
Sejarawan Belum Paham Metodologi Gender
Yuniyanti berargumen, pengaburan perempuan pemimpin dalam sejarah Islam tidak hanya disebabkan oleh hadis yang diriwayatkan Abu Bakrah saja. Namun, sejarawan atau pemimpin dalam tradisi Islam yang gagal paham metodologi kesejarahan berbasis gender. Umumnya mereka tidak mempertimbangkan perempuan. Hal tersebut lalu memengaruhi mayoritas narasi bahwa mayoritas sahabat Rasul adalah tokoh laki-laki.
“Saat menelusuri sejarah, metodologinya harus ada afiliasi demografis dan politis. Tapi perlu diketahui perempuan tidak selalu di ranah hard politics. Kekuatan perempuan tidak harus dari luar, tetapi bergerak di belakang layar, mengorkestrakan peran seseorang, dan memastikan semua baik-baik saja,” kata Yuniyanti.
Akan tetapi, lanjutnya, sejarah kepemimpinan perempuan di tradisi Islam didefinisikan sebagai sejarah politik maskulin berupa heroisme masa perang. Sementara sejarah intelektual dan gerakan isu sosial yang non-publik tak dianggap sebagai bentuk kepemimpinan, sedangkan perempuan banyak yang berkiprah di ranah tersebut. Hafshah binti Umar, misalnya, pemimpin intelektual yang menjaga mushaf atau lembaran yang menghimpun ayat Al-qur’an.
“Saya bisa membayangkan saat tradisi Islam baru awal berkembang dan sekian tahun kemudian mushaf ditulis. Tak sedikit orang yang berkepentingan untuk menghilangkan mushaf itu. Ketika perempuan menjaga dia meresikokan nyawanya,” kata Yuniyanti.
Selain itu, ketika muslimah pemimpin dituliskan dalam sejarah, perannya disimplifikasi menjadi imaji yang fokus pada fisiknya. Sedangkan gugatan progresif yang diajukan sosok pemimpin perempuan dinomorduakan. Sosok Aisyah dikenal sebagai pemimpin strategi perang. Namun, kecerdasannya tertutupi dalam citra kecantikan fisik gadis berkulit putih, hidung mancung, dan berpipi merah.
“Saya kemudian berpikir imaji seperti ini berpotensi menyuburkan perkawinan anak. Kenapa Aisyah tidak dilihat sebagai simbol yang energik dan cerdas. Hal itu kadang tidak muncul dan justru keranuman tersebut yang hadir dalam dimensi patriarkal,” kata Yuniyanti.
Sejarah yang dikonstruksi secara bias atau male centrist itu, kata Yuniyanti, juga berdampak pada pengaburan eksistensi dan konsep imam perempuan. Ummu Waraqah yang menjadi imam untuk keluarganya setelah suaminya meninggal kerap menjadi perdebatan ketika perempuan menjadi imam salat.
“Kepemimpinan perempuan ini sering tersendat konsep kalau dalam agama imam mesti laki-laki untuk ritual solat. (Konsep itu) kemudian diperluas menjadi pemimpin di publik. Ini salah satu alasan pemimpin perempuan juga lambat tumbuh,” ujarnya.
Dia melanjutkan, alih-alih menghormati pencapaian perempuan, misoginisme dalam pencatatan sejarah fokus pada aspek ornamental seseorang. Jilbab, misalnya, jika pemimpin atau pahlawan perempuan tak mengenakan jilbab, maka cenderung tak ditonjolkan dalam narasi sejarah.
“Selain itu, pemimpin perempuan dalam tradisi Islam juga tak bisa dilepaskan dari anti kolonialisme sebab agama menjadi simbol resistensi. Akan tetapi, tokoh yang muncul merupakan sosok yang tidak melakukan perlawanan serius pada kolonialisme. Karenanya, muslimah progresif yang diketahui jumlahnya minim.”
Baca juga: Menelusuri Jejak Feminisme di dalam Islam
Siapa Saja Bisa Jadi Pemimpin dalam Islam
Yuniyanti menyatakan, semua orang dapat menjadi pemimpin terlepas dari jenis kelamin atau gender yang dimiliki orang tersebut. Jika mengutip guru besar tafsir Al-quran Nasaruddin Umar, dalam Surah An-nisa ayat 34 kata qawwam yang diartikan sebagai pemimpin dapat didefinisikan sebagai orang yang bisa melindungi dan mengayomi.
Sebagian dari ayat tersebut diartikan, “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan oleh karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,”
“Selain itu, kata arrijal (laki-laki) dan annisa (perempuan) itu gender, bukan term biologis (jenis kelamin) seseorang. Jadi ditentukan pada kualitas. Kalau tuhan menginginkan pemimpin yang memiliki alat reproduksi laki-laki, maka ayatnya al zakar,” jelasnya.
Selain itu, seseorang bisa disebut pemimpin ketika memiliki fadlaallah (keutamaan atau kelebihan) dan anfaqu (kontribusi). Karenanya, perempuan buruh yang menjadi pencari nafkah utama untuk keluarganya juga dapat disebut sebagai pemimpin, ujarnya.
Cendekiawan muslim dan penulis asal Mesir Rifa’at-Tahtawi juga menyatakan perempuan bisa menjadi kepala negara. Sedangkan cendikiawan muslim Yusuf al-Qaradawi menyetujui perempuan menjadi pemimpin, tetapi menyaratkan perempuan mengingat perannya sebagai ibu.
Baca juga: Feminisme, Islam, dan Permainan Waktu
Yuniyanti mengatakan, agar narasi sejarah tidak melupakan perempuan, maka perlu dibangun metodologi penulisan yang mengakui pengalaman perempuan menjadi pemimpin sebagai nyata. Jika dikaitkan dengan dunia modern, perlu memperbanyak pemimpin perempuan tidak hanya di bidang politik.
“Perempuan bisa di bidang finance, akademik, tata ruang kota, dan ekologi. Politik juga penting, tapi harus ada multi ruang untuk perempuan pemimpin ini,” kata Yuniyanti.
“Perlu juga kritis pada kebijakan yang menyempitkan ruang gerak perempuan, seperti aturan tidak boleh keluar malam, dinilai jika tidak menggunakan atau menggunakan jilbab, dan syarat yang merumitkan perempuan untuk bisa maju,” tandasnya.