Sejarah Rok: Dari Simbol Kejantanan sampai Alat Konstruksi Gender
Rok di masa ini lekat dengan perempuan dan feminitas. Tapi, dulu ia dipakai pemburu, jadi simbol kejantanan pemuda Romawi, sampai alat kontruksi gender lewat fesyen.
Jaden Smith terkenal punya selera fesyen eksentrik dan tidak biasa. Ia satu dari banyak anak muda yang mempromosikan gender fluid fashion. Terutama setelah 2016 lalu menghebohkan publik, saat ia digandeng Louis Vuitton sebagai salah satu wajah kampanye Musim Semi-Musim Panas koleksi pakaian perempuan mereka. Dalam kampanye tersebut, Jaden terlihat memakai rok, pakaian yang selama ini selalu diasosiasikan dengan perempuan.
Dilansir dari Showbiz Cheat Sheet, Jaden yang ketika itu berusia 17 tahun mengatakan bahwa dia ingin cara berpakaiannya membawa perhatian khusus atas perundungan yang dialami anak-anak muda dengan ekspresi pakaian berbeda. Dalam wawancaranya bersama Nylon, Jaden juga mengatakan, dia mencoba mengubah cara pemuda kulit hitam memandang fesyen.
Tidak hanya Jaden Smith, Harry Styles pada Desember 2020, juga sempat menghebohkan publik karena menjadi bintang sampul solo laki-laki pertama Vogue Amerika Serikat yang mengenakan rok, gaun dengan jaket tuksedo, dan crinoline dari Harris Reed Victoria.
Baca Juga: Ayo Gowes: Sepeda sebagai Instrumen Feminisme
Selain selebritas, tren laki-laki memakai rok ternyata juga menjamur di kalangan Gen Z. Di Tiktok misalnya, tagar #boysinskirts memiliki total sekitar 187,6 juta views, sedangkan video dengan tagar #meninskirts memiliki sekitar 56,3 juta secara keseluruhan. Salah satu influencer Tiktok Peyton Jordan bahkan pernah mengunggah dirinya memakai rok putih yang dipadupadankan dengan T-Shirt pink dan mampu mendulang likes sebanyak 1,6 juta yang disusul dengan komentar yang seperti “Normalise guys in skirts like this“.
Sebelum para lelaki ini dipuji karena memakai rok, muncul pertanyaan di benak saya: apakah betul rok hanya ekslusif dibikin untuk perempuan? Sejak kapan ia dipolitisasi jadi milik perempuan, dan kenapa?
Sejarah Pemakai Rok
Menilik sejarahnya, rok ternyata telah dipakai sejak zaman prasejarah. Dalam buku 20,000 Years of Fashion (1959) Francois Boucher dan Yvonne Deslandres menjelaskan bagaimana sepanjang tahun 4000 Sebelum Masehi (SM)—ketika umat manusia sibuk berburu, mengumpulkan dan mencari tahu bagaimana membangun roda—rok telah menjadi pakaian yang umum digunakan baik laki-laki maupun perempuan.
Pasalnya, rok sangat mudah dibuat dan mampu bikin pemakainya lebih luwes bergerak. Sehingga, rok pun menjadi pakaian yang tepat untuk dipakai sehari-hari.
Bahkan, masyarakat Mesir Kuno bahkan mengenal rok sebagai fesyen buat laki-laki. Dari sekitar tahun 2130 SM, rok yang digunakan laki-laki Mesir ini dikenal sebagai shendyt. Ia terbuat dari sepotong kain linen putih persegi panjang yang dililitkan di tubuh bagian bawah dan diikat di depan.
Penggunaan rok pada laki-laki juga terlihat di peradaban Yunani dan Romawi. Dalam buku The Worldwide History of Dress (2007), Patricia Rieff Anawalt menjelaskan bagaimana orang Yunani dan Romawi masing-masing mengenakan chiton dan toga, pakaian berupa rok yang dianggap sebagai simbol status dan sebagian besar dipakai oleh para elite. Bahkan dalam rilisan pers pameran Met, Braveheart: Men In Skirts dituliskan bahwa rok dalam peradaban Yunani dan Romawi memproyeksikan cita-cita pemuda dan kejantanan, suatu bentuk hiper-maskulinitas yang jadi kebanggaan para tentara kerajaan.
Rok kemudian menjadi pakaian dasar semenjak adanya kemajuan teknologi dalam menenun. Dengan alat tenun, pada abad ke-13 sampai 15 desain rok pun semakin beragam. Menariknya, pada abad-abad ini, celana tidak begitu populer karena dianggap konyol, tidak maskulin, dan tidak praktis.
Baca Juga: Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-Dasar Feminisme (1)
Rok yang Diberi Gender
Jika dahulu rok bersifat netral gender, pada abad ke-18 pakaian ini mulai ditempeli gender seiring perubahan besar di dunia mode ketika celana panjang dicap sebagai pakaian arus utama bagi laki-laki. Dalam penelitian Construction of Gender through Fashion and Dressing (2013), Zoi Arvanitidou dan Maria Gasouka menjelaskan bagaimana feminisasi mode dimulai dengan jatuhnya aristokrasi dan kebangkitan borjuasi dan dipercepat oleh Revolusi Prancis dan Revolusi Industri.
Laki-laki secara perlahan mulai meninggalkan cara berpakaian mereka yang menggunakan segala bentuk dekorasi mewah, kain berwarna-warni dan perhiasan mencolok sebagai penanda status sosial mereka dan menyerahkan semuanya kepada perempuan. Fenomena ini oleh psikolog Inggris John Flügel disebut sebagai “Penolakan Maskulinitas Agung”, yang kemudian diperkuat dengan nilai-nilai Protestan tentang hidup hemat, kerja keras dan kemajuan ekonomi individu di mana nilai-nilai ini tercermin pada pakaian laki-laki, yaitu celana.
Sementara laki-laki bersaing keras di ruang publik baik di arena politik dan bisnis, mereka memberi perempuan bagian dekoratif untuk mencerminkan status sosial melalui pakaian dan penampilan mereka. Inilah cara laki-laki meliyankan perempuan. Mereka melekatkan pakaian dengan status sosial perempuan masyarakat yang secara ekonomi masih banyak bergantung pada laki-laki. Rok pun pada akhirnya menjadi penanda gender dengan feminitas yang melekat kuat. ini karena rok berimplikasi pada bagaimana perempuan diperlakukan, dilihat, dan yang paling penting, bagaimana mereka bisa “bergerak” di ruang publik.
Namun, rok tidak selamanya menjadi pakaian yang memenjarakan perempuan dalam feminitas dan peran gender tradisionalnya. Rok ternyata juga menjadi alat perlawanan bagi perempuan. Tercatat dalam The Boar, rok pada tahun tahun 1960-an menjadi simbol ikonik gerakan feminisme di Barat. Pada 1960-an, mengenakan rok pendek beralih dari keputusan mode individu menjadi tindakan politik.
Ketika perempuan muda memperoleh kesadaran yang tinggi tentang bagaimana masyarakat memperlakukan mereka secara berbeda dari rekan-rekan laki-lakiny, perempuan mulai melawan dominasi maskulin dalam tatanan masyarakat. Rok mini dalam hal ini menjadi simbol gerakan feminis yang mengkampanyekan hak-hak reproduksi, upah yang setara, kesempatan yang lebih baik di dunia kerja, dan pengasuhan anak yang lebih baik.
Baca Juga: Sejarah Celana: Simbol Penting Gerakan Perlawanan Perempuan
Aktivis perempuan, seperti Germaine Greer dan Gloria Steinem misalnya, mengenakan rok mini untuk melambangkan feminitas yang tidak terepresi dan penolakan chauvinisme laki-laki saat para feminis melangsungkan Gerakan Pembebasan Perempuan. Fesyen mewujudkan semangat kebebasan sosial dan politik yang lebih luas yang mulai diperoleh perempuan saat mereka memasuki dunia kerja dan mengambil kendali atas kesehatan reproduksi mereka.
“Rok mini melambangkan sebuah perlawanan kepada orang-orang di sekitar mereka yang menegaskan bahwa waktu telah berubah dan perempuan adalah individu aktif yang memiliki agensi diri dan ‘terlihat’,” ungkap Rebecca Arnold, profesor pakaian dan tekstil di Institut Seni Courtauld dalam wawancaranya dengan Mic.
Pada akhirnya, rok bukanlah pakaian biasa semata. Ia adalah bagian dari sejarah panjang manusia dalam mendefinisikan dirinya dalam tatanan sosial. Pun, adalah bagian dari praktik budaya yang tidak hanya mencerminkan keadaan masyarakat tetapi juga menjadi medan kontestasi bagi perempuan untuk melakukan perjuangannya.