Sejarah Toilet: Bias Kelas dan Ketidakadilan Gender dari Masa ke Masa
Sejarah toilet adalah sejarah bias kelas dan ketidakadilan gender. Bahkan di era modern seperti sekarang.
Belum lama ini viral video di TikTok soal fasilitas kantor e-commerce. Salah satu di antara fasilitas tersebut adalah toilet bersensor yang dilengkapi fitur modern. Selain tombol flush, toilet itu punya tombol bidet untuk membersihkan area keperempuanan, dan tombol semprot untuk membersihkan anus. Fitur-fitur itu tampaknya enggak biasa, jika dibandingkan dengan mayoritas toilet umum di Indonesia.
Toilet di Jepang lebih canggih lagi. Fitur yang disebut washlet itu memiliki berbagai tombol. Mulai dari pengering, suara pembilas—untuk menjaga privasi dengan menyamarkan suara lain, tuas untuk mengatur tekanan air, dan tombol penyiram sesuai kegunaan—buang air besar atau kecil. Bahkan, ada yang penutup toiletnya terbuka secara otomatis, dan pengguna bisa menyesuaikan temperatur pada tempat duduknya.
Semua eksklusivitas maupun kepraktisan toilet yang kita gunakan sehari-hari kini, enggak akan bisa dinikmati sekarang tanpa temuan Sir John Harington. Pada 1596, penulis asal Inggris tersebut menemukan kloset bilas. Penemuannya itulah yang menjadi awal mula adanya fitur flush, dan desain wash down untuk mengosongkan mangkuk klosetnya.
Pertanyaannya, seperti apa bentuk dan penggunaan toilet, sebelum Harington berinovasi?
Baca Juga: Ketidakadilan Gender Dapat Bermula dari Toilet
Toilet dan Perbedaan Kelas Sosial
Sekitar 4.500 tahun lalu, orang-orang Mesopotamia mendirikan tempat duduk di atas lubang pembuangan. Mereka membuat kursi itu dari tempat duduk berlapiskan aspal anti air. Kemudian, limbah akan jatuh melalui celah terbuka dan mengalir melalui pipa tanah liat ke lubang pembuangan.
Kloset mulai berkembang setelah dilengkapi alat penyiram. Awalnya, inovasi ini berasal dari orang Minoa dari Pulau Kreta, Mediterania. Namun, keberadaan fasilitas itu menandakan adanya perbedaan kelas, karena umumnya hanya dimiliki kalangan atas. Hal itu kemudian berkembang pada Peradaban Lembah Indus, dan sejumlah toilet pribadi yang dimiliki masyarakat mulai terhubung ke saluran pembuangan umum.
“Rumah yang punya kloset itu menandakan kelas ekonomi mereka di Indus,” kata arkeolog asal University of Pennsylvania, Jennifer Bates, kepada Discover Magazine.
Berbeda dengan orang-orang Minoa, masyarakat Romawi Kuno awalnya justru menggunakan toilet sebagai fasilitas publik. Lho, bukannya sekarang toilet juga masih dipake bareng-bareng?
Keadaannya bisa dikatakan jauh berbeda. Walaupun toilet umum yang kita gunakan saat ini juga bergantian dengan orang lain, setidaknya masih disekat dari satu bilik ke bilik lainnya. Sementara di masa itu, toilet terletak di bawah tanah sebuah istana. Bentuknya berupa deretan bangku berlubang yang menempel ke dinding, tanpa ada tembok yang menyekat.
Jika dilihat dari perspektif masa kini, penggunaan toilet pada zaman itu terlihat sangat minim privasi. Namun, laki-laki Romawi umumnya mengenakan jubah pendek atau toga, sehingga area privat tubuh mereka lebih tertutup, dibandingkan celana yang harus diturunkan.
Selain itu, bangunan tersebut tidak hanya berdinding putih layaknya tembok bangunan Romawi yang banyak kita lihat di mesin pencari. Di luar pintu masuk malah terdapat grafiti.
Menurut Chelsea Wald, jurnalis asal Austria, hal ini menandakan panjangnya waktu mengantre untuk menggunakan toilet—sampai-sampai mereka memanfaatkannya untuk menulis atau mengukir pesan. Dalam The Secret History of Ancient Toilets (2016), Wald juga menyebutkan, kombinasi warna merah dan putih menghiasi dinding, menandakan penggunanya berasal dari kalangan kelas bawah.
Kemudian, sekitar abad pertama Sebelum Masehi (SM), masyarakat mulai memerhatikan pentingnya toilet sebagai bagian infrastrukturnya. Alhasil, rumah-rumah pribadi mulai memiliki toiletnya sendiri, termasuk di Pompeii dan Herculaneum. Namun, letaknya tepat berada di sebelah dapur, masih tidak bersekat.
Bagi mereka, situasi ini lebih praktis karena dapat membuang limbah dapur dan kakus ke tempat yang sama. Pun yang sedang menggunakan toilet dapat sambil berdiskusi dengan mereka yang memasak di dapur.
Kendati demikian, sebenarnya mereka tidak memiliki sambungan saluran pembuangan. Mengutip The Conversation, penyebabnya adalah selokan pada masa Romawi tidak memiliki lekukan. Alhasil, mereka tidak dapat memastikan apa yang keluar dari saluran pembuangan, dan masuk ke rumah. Karena itu, mereka membuang kotoran ke kebun atau ladang kota lain.
Setelah itu, barulah muncul kloset siram berinovasi modern yang ditemukan Harington, dan dipasangkan untuk Ratu Elizabeth I di Istana Richmond. Sayangnya, temuannya itu masih menimbulkan bau lantaran enggak ada pipa berbentuk S dan U. Padahal, pipa ini berfungsi mencegah bau gas saluran pembuangan, agar enggak masuk ke kamar mandi.
Kemudian, pada 1775, gantian Alexander Cumming yang menunjukkan temuannya. Penemu asal Skotlandia itu mengembangkan pipa berbentuk S, yang digunakan di bawah mangkuk kloset. Pun akhirnya model itu ditetapkan sebagai toilet paten sampai saat ini.
Bicara soal penyiraman kloset, Thomas Crapper yang bisa dikatakan berhasil dalam hal ini. Ia mengembangkan mekanisme pengisian tangki, yang sampai saat ini kita gunakan, bahkan menjadi merek dagang.
Baca Juga: Transgender Dambakan Toilet Umum Uniseks
Apakah Perempuan Mudah Mengakses Toilet?
Terlepas dari inovasi toilet dengan sanitasi yang memadai, kenyataannya perempuan di beberapa wilayah masih sulit mengakses toilet. Di India salah satunya. National Statistical Office (NSO) mencatat, sekitar 71,3 persen rumah di area pedesaan tidak memiliki akses ke toilet. Beberapa area yang memiliki persentase tertinggi adalah Odisha, Uttar Pradesh, dan Jharkhand.
Tentu kondisi ini menyulitkan perempuan. Mereka harus pergi ke lapangan terbuka untuk membuang air. Tak jarang mereka diikuti hiena dan babi hutan ketika musim hujan, belum lagi gangguan ular di sekitarnya. Bahkan, mereka harus menunggu matahari terbenam, demi buang air tanpa mencuri pandangan orang-orang di sekitar.
Realitas ini bahkan ditampilkan lewat film Toilet: Ek Prem Katha (2017). Film tersebut menceritakan tentang absennya toilet di rumah, karena dipandang sebagai hal tabu dan kotor. Di tengah kegelapan itulah perempuan pergi ke lapangan terbuka, membawa wadah berisi air yang digunakan untuk cebok, dan lampu minyak sebagai penerangan.
Kesulitan mengakses toilet itu bahkan sampai mempertaruhkan nyawa. Pada 2014 silam, misalnya. Dua orang remaja perempuan di Uttar Pradesh ditemukan dalam kondisi digantung dan diperkosa sebelumnya, setelah pergi buang air kecil di malam hari.
Keadaan mencekam itu tidak hanya mengancam keselamatan perempuan, ketika buang air di ruang terbuka. Di toilet umum pun, tidak ada jaminan keamanan maupun kebersihan. Baik itu di tempat kerja, pusat perbelanjaan, maupun hotel, kondisinya tidak cukup bersih dan layak digunakan.
Jika diuraikan terperinci, ketidaklayakan itu mencakup tidak adanya air mengalir, kloset yang tidak dapat dibilas, pintunya tidak dapat dikunci dari dalam—atau tidak ada pintu sama sekali. Kemudian, tidak ada penerangan di dalamnya, hingga tidak terdapat sabun maupun tempat mencuci tangan.
Akibat sejumlah alasan itu, perempuan enggan menggunakan toilet umum dan lebih baik menahan buang air kecil selama berjam-jam. Melansir India Times, pemohon dalam kasus Milun Saryajani melawan Pune Municipal Corporation and Others menyebutkan, dalam kesehariannya, perempuan cenderung mengurangi minum air putih agar tidak perlu menggunakan toilet yang kotor.
Padahal, perempuan perlu buang air kecil lebih sering daripada laki-laki, terutama saat sedang menstruasi. Hal ini justru akan menimbulkan masalah kesehatan pada ginjal, serta saluran dan kandung kemih.
Namun, kondisi ini bukan hanya terjadi di India. Faktanya, kelayakan sanitasi di Indonesia juga patut dipertanyakan. Bahkan, untuk merealisasikan toilet dan sanitasi yang bersih untuk masyarakat secara menyeluruh masih membutuhkan jangka panjang.
Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, akses publik terhadap fasilitas sanitasi yang layak dan aman berjumlah 79,53 persen. Sayangnya, persentase sanitasi aman berjumlah kurang dari 10 persen.
Keadaan ini dapat dilihat dari kebersihan toilet umum di beberapa tempat. Contohnya pasar, sekolah, terminal, stasiun, tempat wisata, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), dan pusat perbelanjaan.
Baca Juga: Sejarah Korset: Antara Pengekangan dan Pembebasan Perempuan
Di sejumlah tempat tersebut, masih minim ditemukan toilet yang tidak berbau, memiliki air bersih, sabun, dan tisu—benda yang cukup esensial bagi perempuan saat ke toilet. Atau bersih tanpa telapak kaki dan sampah tisu berceceran, maupun disiram tak tersisa.
Minimnya sanitasi aman dan layak bukan hanya berlaku pada toilet umum. Pada 2015, pemerintah sempat menargetkan agar pada 2019, seluruh masyarakat Indonesia memiliki akses Mandi, Cuci, Kakus (MCK), dan air bersih. Dikarenakan, pada 2015 ada lebih dari 51 juta orang yang buang air sembarangan.
Dalam wawancara bersama BBC Indonesia, Yuni, warga di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, mengaku buang air besar di tempat cucian piring yang langsung mengalir ke kali. Ia mengatakan tidak memiliki biaya untuk membangun toilet.
Sebenarnya kemampuan mengakses toilet dengan bersih dan aman, sudah menjadi salah satu hak sebagai negara terlepas dari latar belakangnya. Namun, dengan segala keterbatasan dan pembangunan yang tidak merata di sejumlah daerah, segelintir masyarakat masih perlu berjuang untuk mendapatkannya.
Kondisi ini tidak membedakan adanya bias kelas antara era modern dengan masa Romawi Kuno, ketika akses ke toilet masih terbatas. Dengan demikian, fungsi evolusi toilet yang diperjuangkan dari masa ke masa masih patut dipertanyakan, kalau sebagian masyarakat masih belum bisa mengakses fasilitas sanitasi, yang layak dan aman.
Ilustrasi oleh Karina Tungari