Sekali Lagi ‘Review Bad Buddy’, Enggak Nyesel Nonton Berkali-kali
‘Bad Buddy’ bisa dibilang serial komedi romantis Thailand yang melampaui genrenya. Saya akan terus merekomendasikannya.
Peringatan: Ada spoiler
Pada (21/01), lalu Bad Buddy serial komedi romantis Thailand yang sudah tayang sejak 29 Oktober 2021 mencapai babak penutupannya. Dengan total hingga 2 juta cuitan, Bad Buddy bertengger di puncak trending topic Twitter dunia dan viral di 28 negara. Bahkan satu hari setelah penayangan episode terakhirnya, serial ini masih kerap trending dalam topic untuk Movies & TV.
Tidak ada yang pernah memprediksi serial ini akan begitu sukses hingga bisa mendulang views di kanal resmi GMMTV lebih dari 150 juta views. Apalagi di awal-awal penayangannya, Bad Buddy relatif minim engagement di Twitter dan belum bisa menyentuh 1 juta views. Namun, seiring dengan berjalannya cerita ditambah dengan akting memukau dari dua aktor kenamaan Thailand Ohm Pawat Chittsawangdee dan Nanon Korapat Kirdpan, Bad Buddy pun mulai mendapatkan atensi publik dan menggaet banyak penggemar barunya.
Serial ini sebenarnya bisa dibilang memiliki premis bak FTV. Layaknya Romeo dan Juliet versi Boys Love (BL), Bad Buddy berkisah tentang dua rival Pat (Ohm) dan Pran (Nanon) yang harus terjebak dalam hubungan bak Tom & Jerry karena orang tua mereka yang tidak pernah akur dan saling bersaing.
Tradisi saling bersaing inilah yang diturunkan kepada anak mereka. Namun, bukannya bersaing, baik Pat dan Pran justru menjalin relasi tidak biasa dengan cinta yang tumbuh dengan sendirinya. Melihat premis bak FTV ini mungkin kita akan berpikir kenapa serial ini begitu popular bahkan hingga memiliki rating 9.5 di IMDB dan 9.2 di di Douban (salah satu situs terbesar China) dengan total lebih dari 23.000 ulasan. Jawabannya adalah karena Bad Buddy mampu melampaui genrenya sendiri dengan arahan sutradara, akting, dan naskah yang begitu memukau. Apa maksudnya?
Baca Juga: 5 Drakor BL Wajib Tonton di Waktu Senggang
Serial yang BL yang Inklusif dan Mematahkan Stereotip Usang
Tidak bisa dimungkiri industri BL bisa dibilang masih problematis. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana genre ini lahir dari eksklusifitas penulisan dan target pasarnya. Dalam penelitian Mark J McLelland, Profesor Studi Gender dan Seksualitas dari Wollongong, Australia berjudul The Love Between ‘Beautiful Boys’ in Japanese Women’s Comic (2000) misalnya dijelaskan, genre ini muncul sebagai subgenre shoujo (genre yang dipasarkan khusus untuk perempuan usia 7 – 18 tahun) pada awal 1970-an.
Dengan penulis perempuan cishetero dan target pasarnya juga merupakan perempuan cishetero, genre BL kerap kali berpegangan dengan nilai-nilai heteronormatif. Trope uke dan seme misalnya menjadi ciri khusus genre ini yang tidak dapat terpisahkan yang pada prosesnya kerap mengaburkan pengalaman dan suara kelompok LGBTQIA sendiri.
Hal inilah mengapa Bad Buddy menjadi sebuah serial yang mengagumkan karena digarap langsung oleh seseorang yang merupakan bagian dari kelompok LGBTQIA sendiri. Sebagai gay, Backaof Noppharnach Chaiwimol atau bisa dipanggil P’Aof, berhasil menghadirkan kisah cinta queer yang jauh dari cengkraman heteronormativitas toksik yang sarat akan misogini.
Dalam serial BL yang mengedepankan formulasi usang uke dan seme, P’Aof justru secara tegas memperlihatkan kepada penontonnya bagaimana relasi romantis antar laki-laki dibangun. Karakter Pat dan Pran sedari awal tidak terjebak dalam peran gender kaku, tapi ditampilkan dengan fluiditas gendernya. Tidak ada salah satu pihak yang mendominasi. Mereka adalah pasangan yang secara blak-blakan digambarkan saling memberi afeksi yang memiliki relasi setara dengan rasa saling percaya dan cinta kasih sebagai pusatnya.
Pran yang pada awalnya masih kerap disebut sebagai uke oleh beberapa penonton karena parasnya yang manis misalnya dalam berbagai adegan justru menjadi pihak yang menginisiasi berbagai tindakan dalam hubungan mereka berdua. Ia bahkan menjadi orang pertama yang mengkonfrontasi Pat yang kerap memanggilnya dengan sebutan istri. “Apakah memanggilku dengan panggilan ‘istri’ membuatmu merasa lebih superior?” begitu ungkapnya.
Tidak hanya mengonfrontasi nilai-nilai heteronormatif yang misoginis, dengan kelihaian P’Aof dalam membangun dialog ringan sarat dengan humor ia mampu melontarkan sebuah sindiran. Dengan suara dibuat berat untuk seakan-akan berbicara sebagai Pat, Pa (adik Pat) mengatakan bahwa kendati ia (Pat) adalah seorang laki-laki heteroseksual, Pran adalah satu-satunya laki-laki yang ia suka.
Ucapan ini sontak membuat riuh jagat Twitter, pasalnya ada serial BL yang dengan berani melontarkan sebuah sindiran tentang internalisasi homophobia. Sebuah problematika yang pernah disampaikan Akiko Mizoguchi, aktivis lesbian Jepang masih menghantui genre ini yang dapat dilihat sebagai upaya penghapusan ganda atau penolakan queerness yang lebih luas dalam masyarakat.
Baca Juga: 5 Alasan Komedi Cinta Dorama ‘Kieta Hatsukoi’ Menggemaskan
Mempromosikan Hubungan Sehat
Ketika banyak dari serial romansa pada umumnya masih dipenuhi dengan hubungan toksik, Bad Buddy menghadirkan sebuah kisah cinta antarmanusia yang memberikan banyak pelajaran hidup bagi penontonnya.
Bad Buddy memperlihatkan tentang kisah cinta tanpa pamrih di mana kedua orang yang saling jatuh cinta tumbuh bersama, belajar menghargai satu sama lain, dan memaknai hidup di momen-momen terkecil dalam hidup mereka. Dalam hal, ini baik Pat dan Pran mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya hubungan asmara dibangun, tentang rasa percaya, saling memahami satu sama lain, saling terbuka, dan saling menghargai dengan komunikasi sebagai fondasi utama hubungan mereka.
Setiap konflik yang muncul dalam relasi mereka selalu bisa diselesaikan dengan komunikasi dua arah tanpa ada salah satu pihak yang mengedepankan egonya. Mereka berusaha memahami satu sama lain dalam setiap kekurangan yang ada. Karenanya, mereka tidak pernah berjuang sendirian dalam hubungan asmara.
Keduanya paham, dunia tidak akan selalu bersikap baik pada mereka. Pun, rasa cinta dan kasih mereka tidak bisa semudah itu membuat dunia yang mereka tinggali berubah. Untuk itu, mereka pun ada untuk saling menguatkan dan mereka ada untuk saling berbagi segala suka dan duka.
Hal ini terlihat sekali dari bagaimana Pat dan Pran tetap mempertahankan hubungannya di tengah konflik keluarga yang tidak memungkinkan mereka untuk bersama. Hal yang mungkin tidak akan dilakukan pasangan lain dalam genre romansa pada umumnya.
Oleh sebab itu, bagaimana mereka mempertahankan hubungan mengajarkan kita tentang arti cinta sesungguhnya. Bahwasanya cinta yang hadir dalam dekapan orang yang tepat akan mengantarkan kita pada proses tumbuh bersama menjadi orang yang lebih baik, tanpa harus mengorbankan kebahagiaan, dan tujuan hidup.
Baca Juga: 5 Alasan Bad Buddy Dicintai Penggemar Serial Thailand
Karakter Perempuan yang Disorot
P’Aof dalam unggahannya di Instagram, (12/1) mengungkapkan kekhawatirannya tentang karakter perempuan dalam genre BL. Dalam genre ini, perempuan biasanya hanya hadir untuk menjadi pendorong motivasi atau perasaan pasangan utamanya tanpa repot-repot diberikan sorotan khusus. Hal inilah kemudian yang mendorong P’Aof untuk menelurkan karya yang mampu memberikan representasi setara bagi karakter perempuannya. Ia ingin mendorong percakapan antar penontonnya tentang karakter perempuan yang eksistensinya kerap kali dibungkam.
Melalui karakter Ink (teman dekat Pat dan Pran) dan Pa (adik Pat), P’Aof menghadirkan sebuah narasi yang segar tentang hubungan asmara antara perempuan. Sebuah hubungan yang jarang dieksplorasi dalam genre ini. Dalam Bad Buddy, keduanya memiliki porsi yang pas dengan adegan-adegan manis yang mampu mencuri hati pada penontonnya. Pun, mereka menjadi karakter perempuan yang jauh dari stereotip perempuan menjengkelkan yang mungkin kita sering temui di genre BL. Mereka adalah dua perempuan yang bersedia meminjamkan telinganya untuk Pat dan Pran, mendukung, serta menerima mereka apa adanya.
Selain mampu memberikan sorotan kepada karakter perempuannya, hal yang membuat Bad Buddy dicintai banyak orang dari seluruh dunia adalah kemampuannya dalam membumikan isu-isu yang cukup rumit atau sensitif dalam dialog-dialognya. Misalnya, isu mengenai generational trauma disampaikan begitu dekat dengan penontonnya melalui konflik utama Pat dan Pran yang dipaksa untuk membenci dan bersaing satu sama lain.
Pat dan Pran adalah korban luka batin dan trauma kedua orang tuanya yang belum selesai dan mereka harus bertanggung jawab atasnya. Hal inilah mengapa konfrontasi Pran kepada ibunya yang secara tidak langsung membebankan tanggung jawab atas luka batin dan trauma kepada dirinya membuat banyak orang di jagat dunia maya riuh. Penonton tidak pernah menyangka apa yang mereka kerap alami dalam kehidupan mereka sendiri disampaikan dengan begitu lugas dan menohok.
Tidak sampai situ saja, Bad Buddy pun dengan sangat baik menghadirkan dialog mengenai keberagaman orientasi seksual dan fluiditas seksualitas dalam sebuah adegan sederhana. P’Aof dalam unggahannya di Instagram pribadinya pada 25 Desember mengungkapkan intensinya untuk menormalisasi percakapan seksualitas orang dewasa muda dan bagaimana romansa LGBTQIA seharusnya dinormalisasi. Ia pun menghadirkan adegan Pat, Pran, Ink, dan Pa berkumpul dalam meja yang sama untuk menikmati shabu-shabu.
Dalam momen kebersamaan itu mereka berbincang tentang seksualitas masing-masing. Pat mengungkapkan bagaimana ia tidak memandang identitas gender atau jenis kelamin seseorang yang kemudian mengukuhkan karakternya sebagai seorang panseksual. Di saat yang sama, Pran pun mengungkapkan bagaimana mungkin suatu saat ia bisa menyukai perempuan, yang membuatnya menjadi karakter penengah narasi tentang bagaimana seksualitas tidak bersifat ajek atau tetap, namun cair.
Pada akhirnya, Bad Buddy adalah sebuah serial yang mampu melampaui genrenya sendiri. Ia secara apik membawakan kombinasi mematikan antara akting yang cemerlang dan alur cerita yang disampaikan begitu memukau. Karenanya, Bad Buddy pun menjadi sebuah tontonan yang kaya karena mampu menyampaikan realita apa adanya dengan caranya yang menghibur hati penontonnya.