Election 2024 Issues Opini

Setelah Kemenangan Prabowo, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Setelah merangkul kekecewaan dan kesedihanmu pasca-Pemilu, saatnya kembali berisik di media sosial.

Avatar
  • February 15, 2024
  • 7 min read
  • 2180 Views
Setelah Kemenangan Prabowo, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Aku kira patah hati itu cuma bisa terjadi ketika ditinggal orang terkasih. Nyatanya, hati bisa terasa berat cuma perkara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, berpotensi memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Saking beratnya, sampai-sampai semua ototku seperti ikut dibetot dari tubuh, lemas. Beberapa kawan bahkan bercerita, asam lambungnya naik setelah diliputi kecemasan, menangis sedih, atau tak mau bangun dari tempat tidur pasca-pidato kemenangan Prabowo kemarin.

Yang lain punya coping mechanism dengan mengunggah beragam meme satir, tentang kematian demokrasi hingga program kerja di penjara kalau suatu hari bakal “kena”. Sebagian lagi meneguhkan sikap, akan all in jadi oposisi. Ini tentu reaksi yang wajar belaka. Banyak orang ketakutan, kecewa, marah, cemas, terluka. Tak sampai hati rasanya membayangkan jadi Bu Sumarsih atau Pak Ucok yang harus melihat wajah besar Prabowo saat menantang negara dalam Aksi Kamisan hari-hari ke depan.

 

 

Sebenarnya, kemenangan Prabowo-Gibran sudah diprediksi sejumlah lembaga survei lewat elektabilitasnya yang stabil. Satu putaran, jika mengutip quick count litbang Kompas per (15/2) yang sudah mencapai 93 persen. Bagaimana tidak, keduanya unggul 58,60 persen dengan sebaran suara yang merata besarnya di berbagai wilayah. Sementara paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar cuma mengantongi 25,26 persen suara. Disusul paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebesar 16,14 persen suara.

Baca juga: Skenario Terburuk Jika Prabowo Menang Jadi Presiden RI

Meski kecewa dengan hasilnya, kita tak perlu hidup dalam echo chamber di mana perbedaan harus dibalas dengan sikap meragukan para pakar. Dalam hal ini, mereka lembaga survei yang punya kredibilitas dalam membuat hitung cepat Pemilu. Namun, tetap saja, yang bikin masygul adalah bagaimana hasil semacam ini terbentuk lewat proses demokrasi yang buruk dan merusak nalar kritis kita. Seperti yang tergambar dalam Dirty Vote, lewat rentetan skenario kecurangan Pemilu: Pengkondisian Pejabat (PJ) gubernur di 20 provinsi, bantuan sosial yang jadi alat politik, pemakaian fasilitas negara, ditabraknya hukum demi menggolkan anak Presiden RI jadi calon wakil presiden (cawapres), atau pelanggaran terang-terangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Sampai di Hari-H Pemilu pun, rentetan hal yang mengusik nurani kita tercermin lewat serangan fajar yang dilakukan paslon tertentu. Sebagian warganet menceritakan pengalamannya tentang uang-uang kaget senilai ratusan ribu yang diberikan di berbagai provinsi di Indonesia, tulis CNBC Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan diberikan oleh perangkat desa. Atau kertas-kertas suara yang dikabarkan sudah dicoblos duluan demi menguntungkan paslon tertentu, tulis Suara.

Di Jakarta, tiga ahli hukum tata negara di film Dirty Vote, Zainal Arifin, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari dilaporkan ke polisi. Tak ketinggalan juga sang sutradara Dhandy Dwi Laksono. Dari Yogyakarta, kita mendengar kabar, penulis buku “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998” Muhidin M. Dahlan dilaporkan ke Bawaslu atas dugaan kampanye hitam.

Hari ini, perasaanku semakin ketar-ketir setelah mendapati kabar Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memproses gugatan eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang kini memasuki putusan sela. Meski belum pasti menang, kemungkinan “Si Paman” akan kembali menduduki kursi Mahkamah Konstitusi jadi kecemasan baru, mengingat lembaga itu berwenang memutus sengketa Pemilu yang dijamin oleh UUD 1945.

Baca juga: 5 Hal yang Perlu Dikritisi dari Rencana Prabowo Impor Sapi

Patah Hatimu Valid

Namanya trauma kolektif, kata Jack Saul, direktur Program Studi Trauma Internasional yang diwawancara The Atlantic pada 2016. Dalam artikel bertajuk How to Cope With Post-Election Stress itu dijelaskan, trauma kolektif adalah pengalaman kecemasan bersama sebagai respons terhadap peristiwa yang tiba-tiba atau akibat penindasan kronis jangka panjang. Biasanya trauma kolektif muncul dalam bentuk kebingungan, ketakutan, kecemasan, dan ketidakberdayaan.

Meski sudah ada sejak dulu, trauma semacam ini marak terjadi ketika Donald Trump memenangkan Pilpres AS pada 2016. Saat itu, PBS Hour membuat headline berita tentang gangguan stres pasca-Pemilu yang menyapu bangsa Amerika, bahkan hingga beberapa minggu setelahnya. Saking maraknya trauma dan depresi warga Paman Sam, beberapa profesional menawarkan perawatan kesehatan mental, termasuk stimulasi elektroterapi otak dan aromaterapi khusus.

Situs web PsychCentral menurut Christopher Ojeda, Asisten Profesor Ilmu Politik, Universitas Tennessee, mencatat lalu lintas ke artikel “5 Stages of Grief & Loss”ala Elisabeth Kübler-Ross naik sebesar 210 persen, sehari setelah Hillary Clinton kalah dari Trump. Dalam artikelnya di The Conversation (2020) bertajuk Post-election grief is real, and here are 5 coping strategies – including getting back into politics juga dijelaskan, orang-orang sibuk membaca artikel seputar mengatasi trauma pasca-Pemilu.

Kemenangan Trump memang wajar menuai trauma kolektif. Mayoritas perempuan, serta orang berkulit hitam dan berwarna khawatir hal-hal rasis akan semakin sering mereka terima. Selama kampanye, Trump pernah diduga melakukan pelecehan seksual, ia juga menggambarkan orang-orang Meksiko sebagai penjahat dan pemerkosa. Kelompok imigran Muslim cemas karena sewaktu-waktu bisa saja ditendang keluar dari Amerika. Cuitan Trump juga menunjukkan betapa misoginis, rasis, dan Islamofobik sosok penuh kontroversi satu itu.

Di Indonesia, sejumlah orang kerap menyamakan kemenangan Trump dengan Prabowo di Pemilu 2024. Dalam artikel Magdalene sebelumnya diuraikan bagaimana kemenangan Prabowo bakal membahayakan kualitas demokrasi kita, termasuk ancaman hilangnya Pemilu langsung atau peniadaan oposisi dalam pemerintahannya.

Tak cuma itu, konsultan keamanan siber Teguh Aprianto dalam Story Instagramnya juga mengomentari ancaman kebebasan pers dan berpendapat di era Prabowo mendatang–Magdalene telah meminta izin kepada yang bersangkutan untuk mengutip postingannya.

Sebagai orang yang kerap terlibat dan bersinggungan langsung di lapangan, termasuk dalam kasus serangan digital 37 anggota tim Najwa Shihab di Narasi dan Mata Najwa, Teguh mengamini bahwa situasi kebebasan pers dan berpendapat di Indonesia memburuk lima tahun terakhir. Indikasi terbaru tentu saja adalah pelaporan sejumlah akademisi, penulis, aktivis yang mengkritik Prabowo ke aparat.

“Situasi ke depannya akan tetap sama atau bahkan lebih buruk. Karena pemerintah saat ini memang tak memiliki komitmen untuk memperbaiki kondisi ini. Itu juga bisa kita lihat dari komitmen mereka untuk merevisi UU ITE yang masih gitu-gitu aja sampai sekarang,” kata Teguh.

“Jadi ke depannya kita akan tetap melihat pemandangan yang sama. Orang-orang akan menjadi korban serangan digital hanya karena mereka sedang menyampaikan pendapat dan melakukan tugasnya. Selain itu, kita juga akan melihat orang-orang dilaporkan menggunakan UU ITE karena sedang melakukan hal yang sama, cuma karena sedang menyampaikan pendapat,” ungkapnya.

Lepas dari kekhawatiran banyak orang tentang kepemimpinan Prabowo mendatang, gejala depresi, baik kesedihan, kesepian, dan kelelahan adalah hal valid. Karena itu, hal pertama yang harus kita lakukan adalah merangkul, memvalidasi, dan tidak menyangkalnya. Gejala ini justru menjadi penanda bahwa kita manusia biasa yang tak harus selalu kuat dan bahagia. Kita juga berhak merasa rentan.

Baca juga: Hasil ‘Quick Count’ Pemilu 2024: Suara Prabowo-Gibran Unggul, Apa Akan Menang Satu Putaran?

Yang Harus Dilakukan Setelah ini

Christopher Ojeda dalam artikel yang sama di The Conversation menjelaskan, tidak ada cara mudah untuk menghilangkan depresi atau trauma kolektif pasca-Pemilu secara total. Namun sedikit-sedikit ada beberapa ikhtiar yang bisa dilakukan. Pertama, jika pekerjaan tak mesti mengharuskanmu bersinggungan dengan berita dan media sosial, lakukan detoks dari itu semua selama beberapa waktu. Internet di saat-saat rentan akan berpotensi memperparah kecemasan dan depresi. Sebagai gantinya, fokus pada gaya hidup sehat lewat detoks internet, tidur yang cukup, makan dengan baik, atau berolahraga, sehingga energimu pulih kembali.

Kedua, carilah dukungan sosial. Bicaralah dengan anggota keluarga, teman, peer group, atau tokoh masyarakat yang terpercaya. Kamu juga bisa bicara pada psikolog jika merasa ini diperlukan demi kesehatan mental.

Ketiga, ingat-ingat lagi bahwa menerima kekalahan adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Ya, tentu saja kita khawatir jika di masa depan akan muncul kebijakan-kebijakan yang tak diinginkan, atau dalam konteks di Indonesia mengancam diri. Namun, menerima hal itu dengan lapang dada, menunjukkan kedewasaan kita dalam berdemokrasi. Jangan mudah tersulut seperti massa yang menolak hasil Pilpres 2019 tanpa dasar, lalu aksi di jalan hingga mengancam keselamatan diri.

Keempat, setelah kamu menerima hasilnya, terlibatlah kembali dalam politik. Maksudnya, kamu bisa aktif mengkritisi kebijakan dengan menjadi oposisi atau watchdog pemerintah. Berpartisipasi adalah hal yang memberdayakan dan dapat membantu meringankan tekanan psikologis. Dan tentu saja bisa saling menjaga di kemudian hari.

Para buruh, akademisi, pekerja seni, jurnalis bisa bergandengan tangan untuk berserikat agar lebih kuat. Kita juga bisa mendorong pejabat publik dan partai-partai politik pengusung paslon yang kalah, untuk teguh hati jadi oposisi Prabowo. Saat ini setidaknya, ada partai besar macam PDI-P (Partai Banteng memenangkan perhitungan sementara Pemilu Legislatif 2024), PKB, Nasdem, dan PKS yang bisa kita tuntut komitmennya. Paslon 01 dan 03 pun bisa juga kita dorong untuk terus vokal sebagai oposisi untuk rezim Prabowo demi terciptanya check and balance.

Jika hal-hal semacam itu belum bisa kita lakukan, selemah-lemahnya iman adalah terus berisik di media sosial masing-masing. Biar bagaimana pun, mengutip Pramoedya Ananta Toer, kita telah melawan sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *