Issues

‘Silent Treatment’ Orang Tua ke Anak: Kekerasan Emosional yang Tak Terlihat

Untuk sebagian orang tua, kekerasan tak kasatmata ini merupakan hukuman sekaligus bentuk sakit hati atas perilaku anak.

Avatar
  • February 15, 2022
  • 5 min read
  • 2556 Views
‘Silent Treatment’ Orang Tua ke Anak: Kekerasan Emosional yang Tak Terlihat

Saya duduk di kelas 5 sekolah dasar (SD), ketika pertama kali menerima silent treatment dari ibu. Jika tak salah ingat, penyebabnya adalah “penyalahgunaan” uang yang seharusnya digunakan untuk memesan pin bergambar pada wali kelas. Alih-alih menggunakan Rp25 ribu itu sebagaimana mestinya, saya menggunakannya untuk jajan.

Sebagai pembelaan, awalnya saya betul-betul ingin pesan pin itu. Entah mengapa setelah diberikan uang, saya mengurungkan niat dan membeli barang lain. Alhasil, selama berhari-hari ibu enggan bicara dan selalu memunggungi saya. Masih terasa sampai sekarang, pedihnya hati menerima perlakuan itu.

 

 

Namun, itu bukan satu-satunya silent treatment yang orang tua berikan pada saya. Memasuki usia 20 tahun, saya menyadari tindakan itu dianggap lumrah dan layak dilakukan setiap terjadi kesalahan. Tanpa kata maaf, apalagi membicarakan jalan keluar.

Pun bapak cukup sering melakukannya. Misalnya ketika saya gagal masuk ranking tiga besar sewaktu SD, atau setelah kami beradu argumen perkara memberikan bintang untuk seller di marketplace, karena barang dagangannya kurang berfungsi dengan baik.

Untungnya predikat “bapak terbaik” enggak pernah saya sematkan, mengingat ia tidak pernah main tangan atau meluapkan emosi lewat kata-kata kasar. Namun, silent treatment yang dianggap aman ini justru menyerang pikiran, karena seseorang akan merasa powerless dan terintimidasi.

Baca Juga: Tak Semua Orang Tua Mulia: Relasi Anak-Anak dengan Orang Tua Toksik

Bahkan dalam sebuah wawancara bersama The Atlantic, Kipling Williams, profesor psikologi asal AS, mengatakan perilaku ini dianggap efektif membuat seseorang merasa bersalah, tanpa terlihat menyakiti. Pun silent treatment dapat mengubah situasi, yang seharusnya fokus terhadap permasalahan, beralih pada keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan pelaku.

Hal itu juga dialami oleh “Debby”, salah seorang kolega yang mengaku bingung atas tindakan sang ayah kepadanya.

“Katanya aku enggak ngerti kalau dibilangin, jadi lebih baik didiemin,” ceritanya mengutip sang ayah. “Padahal sebagai anak, aku makin bingung salahnya apa,” sambungnya.

Melansir Psychology Today, pengalaman seperti itu membuat seseorang terjebak dalam kontrol paksaan dan tindakan abusif, sehingga korban bergantung pada persetujuan pelaku untuk merasa aman dan berharga.

Dalam hal ini, terdapat beberapa alasan seseorang melakukan silent treatment. Pertama, menghindari konflik dan tidak tahu harus mengatakan apa dalam situasi tersebut. Kedua, bentuk komunikasi jika tidak tahu cara mengekspresikan perasaan sekaligus ingin korban mengetahui kekesalannya. Ketiga, hukuman untuk mengendalikan atau berkuasa atas orang lain.

Bentuk Kekerasan Emosional, Memengaruhi Relasi

Meskipun tampaknya sepele dan dianggap sebagai langkah alternatif untuk keluar dari permasalahan, silent treatment merupakan salah satu kekerasan emosional. Ini terjadi apabila seseorang memanfaatkan kesempatan untuk memanipulasi dan mengontrol orang lain, hingga membuatnya merasa ketakutan dan rentan.

Atau perilaku mendiamkan itu berakhir ketika si pelaku kembali mengajak korban berbicara, dan memanfaatkan kesempatan untuk membuatnya merasa bersalah, seperti disebutkan dalam Medical News Today.

Sebagai salah satu bentuk pengucilan, silent treatment pada jangka pendek dapat menimbulkan stres. Sedangkan dalam jangka panjang dapat mengarah pada depresi, kecemasan, dan perilaku bunuh diri.

Menurut Joel Cooper, profesor psikologi di Princeton University, AS, ini dikarenakan manusia membutuhkan kontak sosial untuk mendukung kesehatan mentalnya, sehingga akibat dari silent treatment bisa semakin parah.

Baca Juga: Waspada, Kekerasan Emosional Bisa Diam-diam Membunuhmu

Lebih dari itu, silent treatment juga berpengaruh pada relasi antara anak dengan orang tua, seperti terjadi pada Debby. Selama enam bulan, perempuan yang bekerja sebagai freelance graphic designer itu tidak berbicara kepada ayahnya, karena suatu kejadian yang membuatnya sangat marah.

“Saat itu aku berpikir, ayah aja boleh kasih aku silent treatment, kenapa aku enggak?” tuturnya. Pun komunikasi di antara keduanya menjadi tidak lancar.

Sebelumnya Debby telah mengomunikasikan dirinya tidak suka diperlakukan demikian. Namun, setiap terjadi perbedaan pendapat dan argumentasi yang tidak selesai, ayahnya masih menganggap ia pantas diperlakukan demikian. Setelahnya, ia kembali bersikap seperti tidak ada permasalahan yang terjadi.

Terlepas dari dampak yang dihasilkan, anak juga perlu mengetahui alasan orang tua memberikan silent treatment. Kepada ABC Australia, Kerri James, seorang ahli praktik hubungan asal Australia menuturkan, “Mereka menghindari motivasi yang kompleks, karena merasa kewalahan dan tidak berdaya.”

Di balik tindakan mendiamkan itu, selain ingin memberikan pelajaran, orang tua merasa tertekan dan merasa sakit hati atas perbuatan sang anak. Sebagai bentuk pengendalian diri, mereka memilih diam dibandingkan mengekspresikannya dengan marah-marah.

Bentuknya pun belum tentu mendiamkan, melainkan perubahan sikap dalam bentuk tidak melaksanakan aktivitas yang biasanya dilakukan. Seperti berkaca pada pengalaman saya di kelas 5 waktu itu, ibu tidak lagi membantu menyiapkan peralatan sekolah.

Yang Perlu Anak Lakukan

Dampak dari silent treatment yang diberikan orang tua kepada anak beragam, seperti merasa tidak aman, tidak diinginkan, dan khawatir akan menerima perlakuan itu lagi. Dalam kasus Debby misalnya, ia mempertanyakan keberhargaan dirinya sebagai individu, hingga terpicu untuk melakukan tindakan yang menyakiti diri sendiri.

“Aku mencari perasaan lebih sakit dibandingkan diperlakukan seperti itu. Atau nangis dan diam mengabaikan perasaan sendiri,” katanya, menjelaskan dampak silent treatment yang terjadi.

Baca Juga: Waspada, Kekerasan Emosional Bisa Diam-diam Membunuhmu

Yang dialami Debby selaras dengan riset oleh peneliti John B. Nezlek, dkk. Dalam Ostracism in everyday life (2012), mereka memaparkan, seseorang yang sering merasa diabaikan, cenderung memiliki harga diri, rasa memiliki, dan makna yang lebih rendah dalam hidupnya.

Bahkan, karena menginternalisasi dalam diri, dampaknya dapat memengaruhi mereka di usia dewasa, misalnya kurang dalam komunikasi sosial, dan lebih senang menghindar serta mencari jalan keluar dibandingkan menyelesaikan permasalahan.

Sementara dalam relasi, James mengungkapkan perilaku silent treatment itu tertanam dalam pikiran, membuat mereka merasa kesepian dan ditinggalkan orang tuanya. Alhasil, terdapat kemungkinan melakukan hal yang sama terhadap pasangan.

Maka dari itu, untuk menghindari siklus yang sama, anak yang mengalami perlakuan tersebut, James menyarankan agar belajar mengenal perasaan dan menuangkannya dalam kata-kata.

“Ambil risiko untuk menyuarakan perasaan itu, walaupun sepertinya membuatmu merasa rentan,” katanya.

Kemudian, akui perasaan orang lain agar mereka mengerti perasaan itu penting dan valid. Sebagai anak, mungkin yang diketahui silent treatment hanya menunjukkan kemarahan orang tua, tetapi terdapat faktor dan perasaan lain yang dirasakan.

Mengutip Medical News Today, langkah itu dapat membuka pembicaraan, serta tunjukkan empati dan sikap untuk menyelesaikan permasalahan, bukan defensif.

Setelahnya, minta maaf atas perilaku yang menimbulkan kemarahan, tetapi jangan salahkan respons silent treatment yang diberikan. Dengan demikian, anak dan orang tua dapat lebih memahami satu sama lain, serta memperbaiki relasi dan komunikasi.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Dian Herfina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *