Sisi Gelap Roleplay: Celah Rentan Terjadinya KBGO
Roleplay makin populer di media sosial, meski konsep consent masih sering terabaikan.
Sejak kecil, kita sering memainkan permainan “peran” dalam agenda bermain sore hari. Contohnya, anak perempuan sering berperan sebagai ibu, anak laki-laki sering berperan sebagai supir, dan lain-lain. Siapa sangka permainan ini juga bisa dimainkan di media sosial? Yap, itulah yang disebut dengan roleplay.
Konsep roleplay (permainan peran) di media sosial hampir sama dengan roleplay di dunia asli. Seseorang dapat memainkan peran karakter yang ia sukai, misalnya penyanyi favoritnya. Platform yang paling populer untuk menjadi wadah permainan roleplay adalah Twitter, namun media sosial lain seperti Facebook, Instagram, LINE, Telegram, bahkan WhatsApp pun dapat menjadi medium dari permainan ini.
Menurut Paul (2010), identity roleplay yang dimainkan di Twitter merupakan penggemar yang bertindak seolah-olah mereka adalah seorang karakter dan bermain dengan karakteristik yang ada pada karakter yang sedang diperankan. Walaupun, kadang mereka sering melakukan OOC atau Out Of Character.
Melalui media sosial Twitter, roleplay menjadi wadah untuk saling berkomunikasi satu sama lain dengan memanfaatkan fitur-fitur Twitter. Kita bisa berinteraksi satu sama lain dan bahkan membangun relasi dengan roleplayer lainnya. Salah satu contoh dari konsep relasi dalam dunia roleplay adalah hadirnya istilah fambest atau family bestie. Konsep family bestie ini seseorang bebas untuk berperan menjadi keluarga, misalnya menjadi kakak atau adik dalam sebuah fambest.
Bermain peran menjadi idola favorit, memiliki keluarga dan teman-teman sesama roleplayer, seharusnya adanya roleplay ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Namun, sayangnya, dunia roleplay ini juga memiliki sisi gelap. Bagaikan dua bilah pisau, identitas yang semu di balik foto profil artis/idola, membuat orang-orang dengan bebas menebarkan kebencian, dan bahkan sampai melakukan kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Baca juga: Serba-serbi ‘Scene BDSM 101’: Perlu ‘Consent’ dan Belajar Dulu
Teknologi Berkembang, Kejahatan Menumpang
Hadirnya automatic base khusus roleplayer yang berisi mention confess atau bisa disingkat dengan menfess (pengiriman menfess dilakukan melalui fitur direct message di Twitter) menjadi angin segar di dunia roleplay. Hal ini membuat seluruh roleplayer dapat mengirimkan menfess untuk para roleplayer lain yang mereka tuju.
Namun, adanya automatic base ini juga memiliki sisi negatifnya. Pesan-pesan yang terkirim secara anonim membuat seseorang dengan mudah mengirim hate speech kepada orang yang ia tuju tanpa diketahui pengirimnya. Lebih gila lagi, adanya automatic base juga dapat membuat seseorang dapat menyebarkan foto/identitas orang lain, yang tentu tidak mempunyai izin, secara instan dan cepat persebarannya.
Contoh kasusnya adalah adanya penyalahgunaan identitas atau faker. Faker atau penipu ini menyolong dan menggunakan foto asli orang lain untuk melakukan hal-hal buruk seperti memeras, pornografi, dan lain-lain.
Baca juga: ‘Parasocial Break-Up’: Patah Hati Karena Karakter Fiksi
Memang, dari awal konsep roleplay menggunakan foto artis, namun terkadang seseorang dapat OOC sehingga tidak sengaja memposting foto dirinya yang asli. Hal tersebut dimanfaatkan oleh orang untuk melakukan kejahatan. Contohnya adalah pada cuitan yang diposting oleh automatic base pada 11 November 2022 yang berisi “guys tolong aku gemeteran jd mantan rp ku leak my identity through her cyber and she’s using my rl picture for her ava.. help..”. Hal ini sudah termasuk ke dalam KBGO yaitu doxing atau penyebaran informasi seperti nama, alamat, nomor identitas, foto, dan informasi personal lainnya (Purplecode, 2020).
Selain permasalahan mengenai faker dan doxing, sisi gelap roleplay adalah sering terjadinya pedofilia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, kita dengan bebas dapat membuat keluarga/family bestie dengan roleplayer lainnya. Hal ini juga termasuk berhubungan asmara dengan sesama roleplayer. Banyak ditemukan kasus bahwa roleplayer A ternyata memiliki umur 25 berpacaran dengan roleplayer B yang berusia 14 tahun.
Sebenarnya, kejahatan-kejahatan seperti yang disebutkan di atas tidak hanya terjadi di kalangan anak roleplay. Kejahatan-kejahatan berbasis gender online memang marak terjadi. Berdasarkan data SAFEnet., di Indonesia tercatat terdapat 677 kasus KBGO sepanjang 2021. Bentuk kasus yang banyak terjadi adalah NCII (Non-Consensual Intimate Image Abuse) atau penyebaran konten pribadi tanpa konsen yang tercatat sebanyak 508 aduan atau setara dengan 75 persen dari total laporan. Kasus lain yang termasuk lima tertinggi antara lain pelecehan seksual (38 kasus), doxing (28 kasus), pelanggaran privasi (22 kasus), dan impersonasi (13 kasus). Namun hal yang di-highlight adalah bagaimana dunia roleplay dapat berubah menjadi sarang KBGO.
Baca juga: Menggemari Karakter Fiksi Sampai Meniru Identitasnya?
Cara Melawan KBGO dalam Dunia Roleplay
Roleplay seharusnya menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan. Jangan biarkan KBGO menodai keseruan ini. Berikut adalah beberapa peraturan mengenai KBGO yang termuat dalam laporan Pengaturan KBGO dalam Kerangka Hukum di Indonesia yang dirilis oleh SAFEnet. Di antaranya adalah UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beserta aturan turunannya, UU Perlindungan Anak, dan peraturan lainnya yang mendukung.
Selain itu, bangun kesadaran mengenai roleplay bukanlah tempat untuk menunjukkan jati diri asli atau hal-hal yang bersifat pribadi. Roleplay bukan tempat untuk melakukan hubungan entah itu pacaran atau keluarga secara serius, sehingga bangun batasan untuk tidak oversharing. Terakhir, pentingnya konsen dalam segala hal. Ketika kita tidak memiliki konsen, kita tidak boleh melanggar hal itu. Oleh karena itu, konsen merupakan hal yang harus diperhatikan oleh semua orang.
Ilustrasi oleh Karina Tungari