Stereotip Basi Perempuan Salah Nyalakan Lampu Sein
Apesnya perempuan jadi korban stereotip hingga ke jalanan.
“Budaya tidak membentuk manusia, manusia lah yang membentuk budaya,” kata Chimamanda Ngozi Aidichie.
Saya sangat sepakat dengan pernyataan feminis asal Nigeria tersebut. Buat saya, budaya yang dibentuk oleh manusia, telah memberikan keistimewaan pada kaum laki-laki saja. Ujung-ujungnya, perempuan hanya sekadar liyan, alat untuk melengkapi, subordinat, pun kerap dilekati dengan stereotip yang tidak adil.
Contohnya, stereotip bahwa pengendara perempuan cenderung tidak andal di jalanan. Jika perempuan ngebut di jalan, maka akan dicap sebagai pengendara “ugal-ugalan”, “sok-sokan”, dan diberi komentar “cewek itu kalau mengendarai mbok ya yang pelan saja”. Ada pula beberapa yang mengatakan, “cewek kalau ngebut sering membahayakan, enggak kenal aturan”, dan masih banyak kalimat bertendensi negatif lainnya.
Sebaliknya, jika laki-laki melakukan hal yang sama, mereka bakal dicap “keren”, “pemberani”, “hebat”, dan pujian lainnya. Kalau sudah begini, seolah-olah mereka yang mesti taat aturan dan lemah lembut di jalan hanya perempuan saja. Padahal perihal mematuhi aturan, ya itu bukan tanggung jawab perempuan saja, tapi lelaki juga, dong.
Yang bikin heran lagi, data resmi menunjukkan, lelaki yang disebut-sebut jago kebut-kebutan di jalan, ternyata justru menjadi penyumbang angka kecelakaan terbesar. Mengutip hasil pemeriksaan visum etrepartum di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada 2013 disebutkan, korban kecelakaan lelaki mencapai 78,3 persen, sedangkan perempuan hanya menyumbang angka 21,7 persen saja.
Kemudian berdasarkan catatan jurnal ilmiah berjudul “Gambaran Distribusi Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor”, pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas mayoritas berjenis kelamin laki-laki, yakni 77,4 persen. Angka yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Siranjit Kaut Aurtar Singh di RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, sebelumnya.
Baca juga: Stigma Otak Kotakkan Perempuan
Dengan data-data itu, apakah masyarakat akan tetap mengatakan kalau mayoritas perempuan yang berkendara tak tahu aturan? Saya punya silogisme (penarikan kesimpulan) sederhana: Salah satu faktor penyebab kecelakaan adalah tidak taat aturan; penyumbang angka kecelakaan terbanyak adalah laki-laki. Jadi bisa disimpulkan, laki-laki banyak yang tidak taat aturan. Simpulan ini sekaligus mematahkan anggapan bahwa semua perempuan tidak ramah aturan jika ngebut di jalanan.
Tidak hanya masalah ngebut-pelan di jalan. Stereotip lainnya yang sering digaungkan adalah melabeli orang yang tengah ragu atau plinplan dengan sebutan, “Kayak ibu-ibu aja lu, kirim sein kanan beloknya kiri.” Lagi-lagi stereotip.
Baca juga: Karena Perempuan Selalu Benar?
Generalisasi yang Berbahaya
Harus saya akui, ada oknum perempuan yang melakukan hal itu, tapi tentu saja tidak semua seperti itu. Para lelaki pun bisa saja melakukan kesalahan yang sama: lupa mematikan atau salah menyalakan lampu sein. Namun, sekali lagi, hanya sedikit, alias bukan semua lantas bisa digeneralisasi demikian.
Saya berani berkata begini karena memang beberapa kali saya menemui bapak-bapak yang berperilaku ngawur di jalanan atau keliru mengaktifkan lampu sein. Artinya, baik pengendara laki-laki maupun perempuan dua-duanya juga berpotensi menjadi subjek yang membahayakan sesama pengguna jalan.
Sayangnya, karena perempuan lebih banyak mendapatkan sorotan, maka kesalahan kelompok lelaki dalam menyalakan lampu sein akan cenderung lebih mudah dimaafkan dan dilupakan. Sama seperti kita begitu mudah melupakan perilaku korup politisi lelaki karena ternyata berita tas mewah belanjaan istrinya jauh lebih menarik dibandingkan berapa duit negara yang dikeruk suami.
Contoh lainnya, kita juga lebih senang menyalahkan perempuan jika rumah berantakan atau anak tidak terurus karena semua iklan menjadikan perempuan sebagai objek yang bertugas membereskan semua itu berulang-ulang. Sementara suami ya tinggal ongkang-ongkang kaki (mungkin sambil ngebut naik motor sesekali).
Baca juga: Ayo Gowes: Sepeda sebagai Instrumen Feminisme
Asumsi lainnya, ada rantai aktivitas di media massa yang cenderung dikuasai oleh kelompok laki-laki, dari kreator, fotografer, reporter, editor, hingga dewan redaksi. Bahkan yang menonton pun kebanyakan laki-laki. Tak heran jika replikasi pesan lewat meme atau sindiran di media sosial konsisten menempatkan perempuan sebagai “tersangka utama”.
Kamu tentu akrab dengan istilah “ibu-ibu sein kanan belok kiri” atau “the power of emak-emak” ketika sedang membicarakan kebiasaan berkendara di jalan. Kalaupun ada, istilah “bapak-bapak sein kanan belok kiri” tentu akan lebih tidak populer di media massa atau media sosial.
Dari kejadian-kejadian ini bisa disimpulkan, stereotip maupun stigmatisasi menyentuh kehidupan perempuan hingga level yang paling remeh, termasuk urusan berkendara di jalan. Lalu diawetkan oleh berbagai wadah termasuk media massa dan media sosial. Padahal bagi saya, setiap orang pasti mempunyai kapasitas masing-masing dalam berkendara, tidak jarang kok perempuan yang mumpuni dalam urusan rem, gas, kopling, dan mengatur lampu sein. Pun, tidak jarang pula laki-laki yang berlaku sebaliknya. Karena itulah, kita tidak bisa sembarangan memberi label berdasarkan gender tertentu saja.