Surat Terbuka untuk Dedi Mulyadi: Sebagai Warga Jabar, Saya Kecewa
Yang Terhormat Kang Dedi Mulyadi,
Pertama, izinkan saya menyampaikan ucapan selamat atas terpilihnya Kang Dedi sebagai Gubernur Jawa Barat (Jabar) periode 2025–2030. Harapan besar masyarakat Jabar, termasuk saya sebagai warga Depok, kini ada di pundak Kang Dedi. Sejak pertama kali nama Kang Dedi diumumkan sebagai pemenang, saya benar-benar berharap Akang bisa membawa perubahan nyata. Apalagi selama masa kampanye, Kang Dedi hadir dengan tujuh program sakti yang ditawarkan ke para pemilih.
Kang Dedi berjanji bakal memperbaiki infrastruktur. Jalan yang lebih bagus, transportasi yang lebih terintegrasi. Juga ada janji soal efisiensi anggaran dan peningkatan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, penyediaan listrik, dan air bersih. Enggak ketinggalan, ada program hunian layak untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Tujuh program ini benar-benar memikat warga Jabar. Karena jujur aja, selama enam belas tahun saya tinggal di provinsi ini, belum kelihatan banyak kemajuan di sana-sini, terutama di bidang infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan.
Namun sayangnya, seperti latah banyak politikus lainnya, Kang Dedi kelihatan mulai kena Amnesia Sejak dilantik jadi Gubernur pada (20/2) lalu, bukannya fokus merealisasikan janji kampanye, Kang Dedi malah lebih sering bikin kontroversi. Kebijakan dan wacana yang keluar dari mulut Akang, sebagian malah terdengar nyeleneh dan enggak masuk akal.
Baca Juga: Ada Apa dengan Depok dan LGBT?
Larangan Siswa Naik Motor: Niat Baik, Eksekusi Setengah Hati
Ambil contoh larangan siswa SMA membawa motor ke sekolah. Memang niat Kang Dedi baik. Akang ingin anak-anak yang belum cukup umur enggak menyetir motor, sesuai dengan aturan Undang-Undang Lalu Lintas. Tapi Kang, kalau dilarang tanpa disiapkan solusi, bukannya malah menyulitkan warga?
Asal Kang Dedi tahu aja, banyak orang tua akhirnya membiarkan anaknya naik motor karena akses transportasi di Jabar itu minim banget. Bus sekolah enggak ada. Angkot walaupun masih ada, sekarang jumlahnya semakin sedikit, apalagi sejak ojek online menjamur. Di beberapa daerah, angkot bahkan sudah enggak beroperasi lagi.
Di daerah saya, angkot 79 jurusan Cisalak–Leuwinanggung yang dulunya bisa dijangkau dari depan gapura kompleks, sekarang sudah enggak pernah lewat. Jadi, kalau mau ke tempat yang dulunya dilewati angkot, pilihan yang tersisa dua: Naik motor atau ojol.
Dua-duanya bukan tanpa masalah. Naik ojol berarti pengeluaran lebih besar. Bayangkan sekali jalan pakai ojol bisa habis biaya setara beli bensin satu liter. Satu liter bensin itu bisa saya pakai bolak-balik rumah–Stasiun Pondok Cina sampai empat–lima kali. Enggak heran kalau banyak orang tua akhirnya mengizinkan anaknya bawa motor ke sekolah—termasuk adik saya sendiri.
Kang Dedi melarang, tapi kenapa enggak menyiapkan alternatif. Kalau dari janji kampanye soal pembangunan infrastruktur aja belum diwujudkan, masa sudah berani melarang tanpa solusi? Bayangkan saja, Kang, anak-anak itu sekarang harus jalan kaki lewat jalan berlubang, tanpa trotoar, seperti ikut lomba rintangan ala Benteng Takeshi. Rawan banget diserempet kendaraan. Kalau sampai kejadian, Kang Dedi mau tanggung jawab?
Itu baru perjalanannya. Sampai sekolah pun mereka enggak bisa langsung fokus belajar, karena sudah tentu merasa kelelahan. Bukannya Kang Dedi juga berjanji mau meningkatkan kualitas pendidikan? Kalau untuk kasih lingkungan belajar yang aman dan nyaman aja enggak bisa, gimana bisa kualitas pendidikannya naik?
Baca Juga: Dear KPI, Dahlah Bubar Saja Sekarang!
Batalion Bocah Bandel: Barak Militer Bukan Solusi
Soal larangan naik motor belum selesai, muncul lagi kebijakan yang enggak kalah aneh: Anak-anak “bandel”—yang kecanduan gim online, merokok, pakai narkoba, sampai tawuran—dikirim ke barak militer selama 14 hari.
Kang, saya paham banget kalau menangani anak-anak zaman now itu enggak gampang. Akan tetapi kebijakan ini lagi-lagi bukan solusi. Ini lebih mirip hukuman tanpa pemahaman. Jujur, awalnya saya kira ini cuma lelucon di TikTok. Namun ternyata enggak. Saya baca sendiri di Kompas.com (26 Februari 2025), Akang menyebut ini sebagai bentuk “pendidikan karakter.”
Akang Gubernur yang saya hormati, anak-anak ini memang perlu dibina. Namun bukan dengan cara dimarahi ala jenderal. Ini Jabar, bukan markas militer. Kita punya banyak psikolog, guru Bimbingan Konseling, dan pegiat pendidikan yang siap menangani anak-anak ini dengan pendekatan yang empatik. Seperti kata Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim ke Suara.com, “Moral itu bukan cuma soal aturan, tapi juga empati.”
Anak-anak punya kebutuhan berbeda. Aully Grashinta, Dosen Psikologi dari Universitas Pancasila, bilang ke BBC Indonesia, perilaku remaja dipengaruhi banyak hal: Perubahan fisik, emosi, faktor keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekitar. Jadi penyelesaiannya enggak bisa disamaratakan. Enggak semua bisa selesai dengan baris-berbaris dan dibentak di lapangan.
Saya takutnya nanti anak-anak malah trauma atau jadi tambah “bandel”. Apalagi kalau Kang Dedi enggak nyiapin kurikulum atau sistem pendampingan yang jelas. Jadi sebelum program ini lanjut, lebih baik dikaji ulang bareng-bareng. Ajak orang tua, guru, dan ahli pendidikan untuk bahas akar masalah dan cari solusi yang benar-benar mendidik. Anak-anak enggak butuh push-up sampai muntah, mereka butuh dipahami.
Baca Juga: Surat Terbuka untuk KPU dari Minoritas Agama, Kenapa Pemilu Harus di Rabu Abu?
Bansos Syarat Vasektomi: Ini Serius, Kang?
Ini yang paling bikin saya, sebagai warga Jabar, geleng-geleng kepala: Syarat vasektomi buat dapat bansos.
Awalnya saya kira ini cuma kabar bohong atau parodi di medsos. Namun ternyata beneran. Kang, maaf banget, tapi saya harus tanya: Apakah segitu bencinya pemerintah pada masyarakat miskin?
Akang seolah-olah menganggap kemiskinan terjadi karena orang punya anak terlalu banyak. Padahal, kemiskinan itu siklus yang rumit, dan seringnya disebabkan oleh gagalnya kebijakan publik yang adil dan merata. Akses pendidikan yang timpang, lapangan kerja yang terbatas, layanan dasar yang enggak memadai—itu akar masalah sebenarnya.
Saya enggak anti program KB, tapi KB itu harusnya berbasis edukasi dan bersifat sukarela. Menjadikan vasektomi—prosedur medis permanen—sebagai syarat dapat sembako itu udah kelewat batas. Itu sama aja kayak bilang ke orang lapar: “Makan boleh, tapi saya tentuin apa yang boleh kamu lakuin sama tubuhmu.”
Ini enggak cuma melanggar hak atas tubuh, seperti yang dijamin dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual soal pemaksaan sterilisasi, tapi juga menjauhkan masyarakat miskin dari solusi yang seharusnya membantu mereka keluar dari kemiskinan.
Kalau Kang Dedi benar-benar peduli soal pertumbuhan penduduk dan pengentasan kemiskinan, kenapa enggak mulai dari hal mendasar dulu: Tingkatkan kualitas pendidikan, membuka lapangan kerja, pastikan program bantuan enggak mangkrak di tengah jalan.
Jangan sampai negara ini cuma hadir buat mengatur rahim dan saluran sperma warganya, bukan buat memperbaiki hidup mereka. Karena kalau rakyat disuruh milih antara martabat dan beras, itu bukan demokrasi—itu darurat empati.
Kang Dedi yang saya hormati, kami warga Jabar enggak minta yang muluk-muluk. Kami cuma ingin punya pemimpin yang benar-benar hadir, bukan cuma pas nyalain kamera. Bukan pemimpin yang cuma tegas di podium, tapi lupa menyusun solusi yang konkret.
Masih ada waktu buat membenahi, tapi harus mulai dengan mendengarkan—bukan sekadar bicara. Mari benahi Jabar bareng-bareng, dengan akal sehat dan rasa.
Salam hormat dari warga Depok yang masih percaya perubahan itu mungkin.
















