Wajah Ganda Bangkok Saat ‘Pride Month’: Ini Pengalamanku Sebagai Queer
Berada di Bangkok saat pride month terasa menyenangkan buat turis sepertiku. Ironisnya, queer asli Thailand justru didiskriminasi.
Enggak semua queer bisa jadi diri sendiri seutuhnya. Apalagi kalau kamu tumbuh di tengah keluarga konservatif yang meyakini identitas gender biner: Lelaki dan perempuan saja. Karena itu, berkamuflase jadi keahlian yang mau tak mau perlu dikuasai demi diterima dalam keluarga.
Itulah yang aku rasakan sebagai perempuan yang aromantis seksual (aro ace). Aku tak punya ketertarikan seksual dan romantis pada gender apa pun, tak punya niat menikah, dan punya anak. Buatku, ide soal bercinta secara romantis dan seksual saja sudah cukup bikin mual.
Sayangnya, sejak kecil hingga dewasa, agama Islam yang diajarkan kepadaku, baik lewat pendidikan formal (aku disekolahkan di sekolah Islam dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas) maupun non formal (guru ngaji dan kajian) selalu menekankan soal peran reproduksi perempuan.
Hukum menikah yang sebenarnya ada lima, disederhanakan menjadi satu, yaitu wajib. Dalihnya karena menikah dilakukan untuk menyempurnakan agama. Perempuan yang punya rahim juga harus punya keturunan. Alasannya untuk memperbanyak populasi hamba Allah dan umat Nabi Muhammad SAW, serta memastikan kebanggaan rasul atas umatnya.
Dengan penafsiran agama macam ini, identitasku sebagai aro ace tentu takkan pernah diterima. Aku enggak bisa melela. Yang lebih menyedihkan lagi, identitasku sebagai aro ace juga sempat dipertanyakan oleh sesama teman queer dan ally.
Mereka heran orang macam diriku tak punya hasrat seksual atau ketertarikan romantis. Kalimat seperti, “Kamu belum ngebuka diri kali, Min” dan “Kamu belum bertemu orang yang tepat saja,” sudah khatam kudengar. Hal ini kadang membuatku semakin teralienasi. Aku merasa sendirian.
Baca Juga: No Pride with Genocide: Kenapa Pembebasan Hak LGBTQ+ Mendukung Palestina Merdeka?
Pride untuk Semua
Pada 9 Juni lalu aku bertolak ke Bangkok, Thailand untuk menghadiri pelatihan. Seminggu sebelum berangkat, seorang teman iri padaku. Katanya, aku bakal merasakan pride month di salah satu negara yang digadang-gadang paling ramah LGBTQ+. Temanku mengirimkan foto jalanan Bangkok yang dihiasi warna pelangi dan bendera-bendera LGBTQ+.
Benar saja, sejak pertama menginjakkan kaki di Bangkok, aku melihat ibu kota Thailand bersolek jadi kota pelangi. Di toko-toko dalam Stasiun Bangkok Mass Transit System (BTS), pusat-pusat perbelanjaan, dan jalanan, semua dihiasi bendera LGBTQ+ dan dekorasi bertema pride. Videotron di pusat perbelanjaan besar, seperti centralwOrld, MBK Center, Siam Center, Siam Paragon, Emporium hingga di pinggir jalan juga menampilkan cuplikan video pride.
Ada satu kenangan yang sangat membekas ketika aku berjalan-jalan di area pusat perbelanjaan Siam dan Emporium. Di sana aku melihat beberapa banner bertuliskan All for Love, Love for All. Di banner itu terpampang jelas berbagai macam bendera yang merepresentasikan spektrum orientasi seksual dan identitas gender. Satu hal yang membuatku terkejut, aku melihat bendera aseksualitas dan aromantis di banner tersebut.
Mungkin terdengar dramatis, tapi saat itu, aku menangis. Hadirnya dua bendera yang merepresentasikan identitas dalam perayaan pride, sangat berarti. Aku merasa divalidasi dan dirangkul di komunitas yang bahkan masih terjebak dalam acephobia–sikap, perilaku, dan perasaan negatif terhadap aseksualitas atau orang yang mengidentifikasi sebagai bagian spektrum aseksual.
Acephobia dalam komunitas LGBTQ+ tercermin dalam penelitian Just Like Us, badan amal untuk kaum muda LGBTIQA pada 2023. Dalam survei terhadap 3.695 anak muda berusia 18 hingga 25 tahun, lebih dari seperempat (27 persen) orang dewasa muda aseksual jarang atau tidak pernah merasa menjadi bagian dari komunitas LGBTQ+.
Tak hanya dewasa muda, perasaan tereksklusi dari komunitas queer juga dialami beberapa individu aseksual dewasa yang pernah diwawancarai The Guardian, Maret 2023 lalu. Dalam artikel berjudul Asexuality finding a place in Pride: ‘It’s OK to not be attracted to other people, Sydneysider Elyse McKenzie, 36, menceritakan banyak orang-orang LGBTQ+ tidak mengerti dirinya yang mengidentifikasi diri sebagai aseksual. Dia pernah diteriaki saat ia menghadiri perayaan pride tahunan di Sydney.
“Tahun pertama ada yang berteriak ‘asexuals have no fun’. Ini sangat menyinggung saya karena saya pribadi having lots of fun. Yang lain mempertanyakan mengapa kami (aseksual) ada di sana. Mereka tidak mengerti kami,” curhat Mckenzie.
Tak heran, saat aku melihat kedua bendera tersebut, aku bahagia. Akhirnya aku bukan lagi bayang-bayang. Dalam hati aku berteriak kencang, “Aku ada dan aku berhak berada di sini!”
Rasa takjubku tidak berhenti di sini saja. Selama di Bangkok, aku melihat banyak transpuan yang bekerja di sektor publik. Mereka sering aku temui bekerja di convenience store seperti 7Eleven. Aku bahkan sempat bertemu pramugari transpuan saat sedang berada di kereta bandara.
Dikutip dari Reuters, memang Thailand sejak 2012 sudah lebih terbuka dengan perekrutan transpuan sebagai pramugari. PC Air, maskapai penerbangan charter yang beroperasi di rute-rute Asia, awalnya hanya berencana untuk mempekerjakan pramugari cis laki-laki dan cis perempuan. Namun, mereka berubah pikiran setelah menerima lebih dari 100 lamaran kerja dari transpuan. Empat orang pun terpilih dalam proses perekrutannya.
Buat seseorang yang datang dari negara yang terkenal queerphobic, pemandangan luar biasa ini sangat menakjubkan dan membuatmu bertanya-tanya. Kok bisa ya negara yang sama-sama dalam kawasan Asia Tenggara bisa seterbuka? Kapan ya Indonesia seperti ini?
Baca Juga: Prabowo, Kampanye ‘Gemoy’, dan Masalah LGBT di Indonesia
Ramah untuk Turis, tapi Tidak untuk Warlok
Menjadi queer dan berada di Thailand saat pride month memang memberikan pengalaman tak terlupakan buatku. Apalagi baru-baru ini Senat Kerajaan menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan Pernikahan pada (18/6). Thailand segera akan jadi negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan kesetaraan pernikahan.
Namun, terlepas dari citra baik Thailand di mata publik terutama masyarakat global, faktanya Thailand masih punya sederet PR terkait LGBTQ+. Kathawut Khangpiboon, salah satu pendiri Aliansi Transgender Thailand dan dosen di Universitas Thammasat memberi kesaksian pada Vice. Kata dia, walaupun masyarakat Thailand mengizinkan orang-orang LGBTQ+ untuk mengekspresikan identitas, tetapi mereka tidak mendukungnya melalui kebijakan yang merata. Karenanya, stigma dan diskriminasi masih jamak dialami oleh komunitas ini.
Khangpiboon sendiri adalah transpuan. Pada 2015, ia ditolak sebagai dosen di Universitas Thammasat, meskipun lolos seleksi kualifikasi. Percaya bahwa penolakan tersebut berakar pada diskriminasi, Kath menggugat universitas. Setelah tiga tahun, Pengadilan Administratif Pusat Thailand memerintahkan Universitas Thammasat untuk mempekerjakan Kath sebagai dosen dan menandatangani kontrak kerja dengannya dalam waktu 60 hari.
Pengalaman Kath jadi cerminan diskriminasi terhadap LGBTQ+ di Thailand. Dalam laporan International Labor Organization pada 2015, guru LGBTQ+ tidak dianggap sebagai teladan yang baik. Mereka dinilai memiliki pengaruh negatif terhadap siswa, sehingga sangat sedikit yang terbuka tentang seksualitas mereka.
Masih di lingkungan pendidikan, banyak responden gay dalam laporan tersebut bilang, berusaha menyembunyikan seksualitas dan tidak bergaul dengan teman sekelas yang gay atau katoey karena takut ketahuan di sekolah. Siswa yang diidentifikasi sebagai gay atau katoey sering menghadapi ejekan dan terkadang perundungan, perpeloncoan, serta kekerasan fisik dan seksual yang bertujuan untuk mempermalukan oleh teman sebaya dan guru.
Masih kentalnya diskriminasi dan kekerasan terhadap siswa gay tak luput dari fakta, hingga 2002, homoseksualitas di Thailand masih dianggap sebagai penyakit mental. Kementerian Kesehatan sejak saat itu mengecam hal ini, tetapi beberapa buku pelajaran sekolah masih menggambarkan homoseksualitas sebagai penyakit atau kelainan.
Baca Juga: Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’
Dalam laporan Human Rights Watch bersama dengan Aliansi Transgender Thailand pada 2021 ditemukan, tidak adanya pengakuan gender secara hukum, ditambah dengan perlindungan hukum yang tidak memadai, menambah stigma terhadap transgender. Ini membuat mereka jadi kesulitan mendapatkan akses ke layanan-layanan penting. Mereka sering ditolak mendapatkan akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan.
Terkait akses pekerjaan misalnya, beberapa pemberi kerja mengatakan, transgender hanya akan dipekerjakan jika berpakaian sesuai dengan jenis kelamin yang ditentukan saat lahir, bukan identitas gender. Beberapa perusahaan lain secara eksplisit menyatakan, pelamar transgender tidak akan dipertimbangkan. Banyak orang yang diwawancarai bilang, mereka merasa dibatasi pada pekerjaan spesifik, seperti industri kecantikan atau pekerja seks.
Dengan fakta ini, makin jelas bahwa Thailand punya wajah ganda. Semua orang di dunia boleh saja bilang Thailand adalah surga atau ruang aman LGBT di seluruh dunia. Namun, ternyata ada syarat dan ketentuan yang berlaku (baca: cuma bisa dinimati turis saja).