Kita hidup di era ketika obrolan soal seks terasa semakin biasa. Di media sosial, siniar, dan obrolan nongkrong, Gen Z perkotaan bisa membahas segala hal mulai dari preferensi seksual hingga pengalaman one night stand tanpa berkedip. Tapi, coba geser topik ke pertanyaan seperti, “Kamu gajinya berapa?” atau “Kalau kita nikah, siapa yang bayar listrik?” dan suasana bisa langsung berubah canggung. Reaksi defensif, senyum kecut, atau tuduhan “matre” bisa langsung muncul.
Dalam banyak hubungan romantis anak muda hari ini, terutama yang masih berada di usia 18–24 tahun, urusan ekonomi justru jadi hal yang lebih sensitif ketimbang seks. Ini tampak ironis, tapi masuk akal jika kita melihat bagaimana norma gender dan relasi kuasa masih bekerja di level sehari-hari.
Baca juga: 5 Hal Kurang Berfaedah dalam Persiapan Pernikahan
Seks bisa dinegosiasikan, uang tidak
Perubahan nilai terjadi begitu cepat. Serial Netflix, konten edukasi seks di Instagram, dan podcast-podcast Gen Z telah menggeser batas topik tabu. Seks pranikah tak lagi jadi sesuatu yang disembunyikan, malah sering kali dianggap bagian dari eksplorasi identitas dan kedewasaan. Tapi ketika relasi itu masuk ke ranah ekonomi—soal pembagian penghasilan, cicilan, atau rencana karier setelah menikah—responnya jauh lebih tertutup. Laki-laki merasa harga dirinya dipertanyakan. Perempuan takut dicap matre.
Ini bukan semata-mata soal malu, tapi soal warisan nilai patriarki yang menempel kuat. Laki-laki diajarkan bahwa kekuatan finansial adalah fondasi maskulinitas. Jika ditanya soal penghasilan, mereka merasa diremehkan. Sementara perempuan dibesarkan untuk tidak banyak bertanya, percaya bahwa cinta akan menyelesaikan semuanya, padahal tidak. Cinta tidak akan membayar tagihan listrik atau biaya persalinan.
Sebutan “perempuan matre” menjadi momok yang lebih menakutkan dari tuduhan lainnya. Dianggap tidak tulus, oportunis, bahkan tidak layak dicintai. Padahal, bertanya soal cicilan, pengelolaan keuangan, atau kesiapan membangun rumah tangga seharusnya dianggap wajar. Bukan karena tak romantis, tapi karena realistis.
Sayangnya, budaya kita masih memelihara standar ganda. Perempuan boleh ambisius, asal tidak lebih sukses dari pasangan. Boleh pintar, asal tidak terlalu kritis. Boleh bekerja, asal tidak terlalu banyak tanya soal uang. Label matre menjadi alat kontrol sosial yang membuat perempuan tetap tunduk, menerima kondisi apa pun atas nama kesetiaan.
Baca juga: Keluarga Menuntut Resepsi Pernikahan Mahal, Bagaimana Menolaknya?
Ketika cinta menabrak realitas ekonomi
Karena tabu membicarakan uang sejak masa pacaran, banyak pasangan akhirnya menikah tanpa tahu apa-apa soal pasangan mereka. Bukan tidak cinta, tapi tidak siap. Tidak tahu apakah pasangan punya utang, menanggung keluarga, atau bahkan bersedia berbagi beban rumah tangga. Uang seolah jadi urusan nanti, padahal justru jadi salah satu sumber konflik utama.
Laporan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2023 mencatat peningkatan signifikan kekerasan ekonomi dalam rumah tangga muda. Perempuan dipaksa berhenti bekerja, dibatasi akses ke rekening, dituntut menjalankan peran domestik tanpa dukungan, sekaligus diminta ikut menopang ekonomi keluarga. Dan semua itu sering kali bermula dari relasi yang tidak dibangun secara transparan sejak masa pacaran.
Sosiolog Eva Illouz menyebut cinta modern sebagai sesuatu yang penuh kontradiksi. Kita didorong untuk mencintai secara bebas, tapi tetap tunduk pada norma konservatif. Maka ketika cinta bertemu dengan ketimpangan ekonomi, yang tumbang lebih dulu hampir selalu perempuan.
Di sisi lain, seks lebih mudah dibicarakan karena dianggap pengalaman personal. Asal sama-sama mau, ya jalan. Tapi uang terikat pada struktur yang lebih besar, yakni status sosial, tanggung jawab, dan ekspektasi jangka panjang. Pertanyaan seperti, “Kalau aku tetap kerja setelah nikah, kamu oke nggak?” atau “Kalau aku mau jadi ibu rumah tangga, kamu bersedia berbagi tugas rumah?” adalah pertanyaan ekonomi yang penting. Tapi terlalu sering dianggap sebagai “tanda tidak tulus.”
Di balik itu semua, ada sistem yang lebih besar. Bagaimana keluarga yang mengajarkan perempuan untuk menunggu dilamar, bukan memilih; komunitas yang mencap perempuan kritis sebagai tidak sopan; media yang menggambarkan perempuan mandiri sebagai antagonis. Diam menjadi bentuk kesalehan baru. Padahal, perempuan juga berhak tahu apakah hidup bersama seseorang berarti kemitraan, atau justru jebakan.
Waktu pacaran yang lama pun bukan jaminan kesiapan menikah. Yang dibutuhkan bukan hanya rasa, tapi percakapan jujur soal nilai hidup, prioritas, dan termasuk uang. Karena pernikahan bukan cuma soal pesta dan foto prewed, tapi tentang siapa yang bayar listrik, siapa bangun saat anak demam, siapa yang mengurus pajak kendaraan, siapa yang bersihkan dapur setelah sahur.
Baca juga: Cinta Bukan Segalanya: Kiat Hindari Fantasi Pernikahan Disney
Jika kita bisa bicara soal seks, kita juga harus bisa bicara soal uang. Tentang di mana mau tinggal, siapa yang mengelola keuangan, apa Plan B kalau salah satu kehilangan pekerjaan. Semua itu bukan tanda kurang cinta, tapi justru bentuk paling nyata dari kepedulian dan kesiapan.
Perempuan yang bertanya soal keuangan bukan berarti tidak tulus. Tapi karena mereka tahu, cinta yang matang bukan soal debar-debar saat bertemu, tapi tentang kesepakatan, perencanaan, dan kejelasan. Dan jika pasanganmu selalu defensif saat kamu ajak bicara soal ini, mungkin sudah saatnya kamu bertanya pada diri sendiri: ini cinta yang setara, atau jebakan yang dibungkus manis?
Jangan takut dibilang matre. Yang perlu ditakuti adalah saat kamu sudah bangun pagi, masak, kerja dari rumah, ngurus anak, tapi masih disuruh Ikhlas, karena katanya, semua ini kehendak Tuhan.
















