Culture Screen Raves

Review ‘Suzume’: Surat Cinta Makoto Shinkai untuk Rakyat Jepang

Berbeda dari film Makoto Shinkai sebelumnya, “Suzume” hadir lebih dewasa. Ia kental dengan konteks sosial budaya dan trauma kolektif masyarakat Jepang.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 10 min read
  • 3303 Views
Review ‘Suzume’: Surat Cinta Makoto Shinkai untuk Rakyat Jepang

Peringatan: Spoiler!

Terhitung sudah dua kali saya “menunaikan ibadah” Makoto Shinkai dalam kurun waktu kurang dari satu minggu. Ini merupakan rekor pribadi mengingat saya sebenarnya bukan fans beratnya. Saya juga tidak suka romancegenre yang justru jadi jualan utama film-film Makoto Shinkai.

 

 

Pun, awalnya, saya tidak punya ekspektasi apa-apa pada film ini. Saya menonton semata-mata karena premisnya yang menarik. Bercerita tentang Suzume, remaja perempuan kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) yang menemukan sebuah pintu misterius di tempat terbengkalai di pegunungan. Dari pintu itu, muncul makhluk misterius berwarna merah dan hitam pekat bernama Mimizu.

Tak lama kemudian pintu-pintu lain mulai bermunculan di seluruh Jepang. Saat pintu-pintu itu terbuka, Mimizu akan keluar, menciptakan bencana serta kehancuran. Untuk mencegah bencana ini terjadi, Suzume punya peran penting untuk menutup kembali pintu-pintu itu.

Ternyata setelah menonton, hasilnya di luar ekspektasi. Ada begitu banyak konteks sosial budaya dan trauma kolektif masyarakat Jepang yang disampaikan dalam film ini. Menariknya, semua disampaikan secara tersirat, tidak terang-terangan seperti film Makoto Shinkai Kimi no Na Wa (2016) yang memiliki fondasi cerita tentang konsep musubi (結び) dalam agama budaya Shinto.

Tanpa memahami konteks sosial budaya dan trauma kolektif masyarakat Jepang, film ini mungkin jadi terkesan biasa bahkan redundant dengan film-film Makoto Shinkai sebelumnya. Namun, buat orang Jepang dan mereka yang belajar tentang budaya serta masyarakat di sana, film ini bisa dibilang sebagai magnum opus Makoto Shinkai.

Usaha Menjembatani Realitas Dunia Manusia dan Kami ()

Satu hal yang membuat film-film Makoto Shinkai berbeda dari film-film garapan Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli adalah caranya dalam membangun latar dan dunia cerita. Jika magnum opus Miyazaki seperti Spirited Away, Mononoke Hime, dan My Neighbour Totoro menggabungkan latar dunia manusia dan fantasi yang kental dengan keberadaan makhluk mitologi atau Kami (神) (dewa dewi, roh, kekuatan suci), maka berbeda dengan Makoto Shinkai.

Makhluk mitologi atau Kami tak pernah muncul di dalam film-filmnya dan jadi fondasi utama cerita. Ia lebih memilih fokus pada latar realitas dunia manusia. Namun, lewat Suzume, nampaknya Makoto Shinkai mencoba pendekatan Miyazaki.

Hal pertama yang saya sadari adalah penggunaan mitologi Jepang dalam menjelaskan sebab akibat gempa Bumi. Dalam mitologi Jepang, seperti yang dikutip dalam penelitian Gregory James Smits, profesor sejarah Jepang di Pennsylvania State University, gempa bumi disebabkan oleh makhluk bernama Namazu (鯰) atau Ōnamazu (大鯰). Makhluk ini berbentuk ikan lele raksasa yang tinggal di bawah pulau-pulau Jepang.

Agar tidak menyebabkan kehancuran, Namazu ditahan oleh Takemikazuchi, Kami petir, dan pedang dengan menggunakan kaname-ishi atau batu fondasi. Namun, ketika Takemikazuchi lengah, Namazu akan meronta-ronta, berusaha keluar, dan menyebabkan gempa Bumi yang dahsyat.

Makoto Shinkai memberikan sentuhan tersendiri pada mitos tersebut. Sosok Namazu diganti oleh Makoto Shinkai menjadi Mimizu, cacing besar yang juga memiliki “kumis” seperti ikan lele. Mimizu juga tidak tinggal di bawah pulau-pulau Jepang, tetapi di balik “pintu”. Menariknya jika diperhatikan, dalam merujuk tempat keluar Mimizu, Makoto Shinkai menggunakan diksi tobira (扉) dibandingkan dengan doa (ドア). Serapan bahasa Inggris untuk pintu yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Pemilihan diksi tobira yang dilakukan Shinkai sangat brilian. Pasalnya buat orang Jepang, doa dan tobira punya makna yang berbeda secara budaya. Doa hanya berarti pintu, sedangkan tobira dapat berarti gerbang. Gerbang dalam agama budaya Shinto digambarkan lewat Torii (鳥居). Dalam Shinto: A History (2017), Torii atau gerbang merah melambangkan batasan yang memisahkan ruang suci antara duniawi tempat manusia hidup dengan tempat suci yang cuma boleh ditinggali Kami dan roh, semacam spiritual world.

Baca Juga:8 Drama Korea Detektif yang Seru dan Menegangkan

Di Suzume, tobira yang dimaksud memakai referensi ini. Terlihat dari adegan saat Souta dan Suzume membaca manuskrip lama tentang Tojimari dan tempat Mimizu keluar digambarkan lewat lukisan Torii. Penggambaran yang berhasil menjelaskan kenapa manusia biasa dalam film ini tak bisa masuk ke dalam “pintu” sesuai dengan kehendak mereka.

Referensi mitologi Jepang dan agama budaya Shinto dalam film ini kemudian juga diperkuat dengan satu-satunya cara untuk mencegah Mimizu melakukan kehancuran dengan menancapkan kaname-ishi. Ini tidak secara harfiah dimaknai sebagai batu, tetapi justru hadir dalam wujud Kami melalui sosok Daijin dan Sadaijin. Dua Kami berwujud kucing yang melambangkan keseimbangan dengan warna hitam dan putih, layaknya yin dan yang.

Dalam buku yang sama dijelaskan, Kami adalah manifestasi dari musubi atau energi interkoneksi alam semesta. Kami “tersembunyi” dari dunia ini, tetapi ada di mana pun manusia berada untuk 見守る (mimamoru) atau mengawasi dan menjaga manusia. Inilah yang dilakukan Daijin dan Sadaijin, mengawasi dan menjaga manusia dari kehancuran akibat ulah Mimizu dengan menjadi kaname-ishi.

Untuk menghormati Kami, biasanya manusia harus melakukan pemberkatan atau doa (oinori). Kami juga dibuatkan jinja (神社) atau kuil Shinto tempat para Kami tinggal. Namun seiring dengan modernitas, masyarakat Jepang mulai melupakan esensi kehadiran Kami. Dalam Spirited Away kritik atas realitas masyarakat Jepang modern ini digambarkan lewat adegan Chihiro bersama kedua orang tuanya yang melewati puluhan Hokora atau hokura (祠 atau 神庫), kuil Shinto kecil untuk Kami yang terbengkalai.

Sementara di Suzume, kritik ini disampaikan tersirat melalui penampilan fisik dan perilaku Daijin. Saat pertama kali berhadapan langsung dengan Suzume dan Souta, Daijin memiliki tubuh yang kurus, bermata cekung dengan bulunya kotor dan kusam. Namun, setelah Suzume memberikan perhatian padanya dengan memberi makan dan menawarkan Daijin jadi kucing peliharaanya, Daijin seketika berubah menjadi kucing kecil gemuk bermata bulat terang dengan bulu putih cemerlang.

Tak hanya itu, sebagai Kami yang esensi keberadaannya tak lagi diperhatikan oleh manusia, Daijin juga mendadak “caper”. Ia selalu berusaha menarik perhatian Suzume dan terus menerus mengatakan rasa sukanya pada Suzume yang perhatian padanya. Daijin juga sangat mencintai perhatian manusia saat ia dalam bentuk kucing putih kecil. Ia sengaja berjalan-jalan di daerah keramaian. Membiarkan manusia menyadari keberadaannya dan memfotonya dengan berbagai pose menggemaskan yang kemudian viral di media sosial.

Film yang Tampilkan Realitas Masyarakat Jepang

Diceritakan dalam Suzume, tobira hanya muncul di reruntuhan terbengkalai atau haikyo. Haikyo mayoritas berada di tempat rural atau pedesaan dan umumnya tercipta karena dua faktor. Pertama, karena bencana sehingga sengaja ditelantarkan begitu saja. Kedua, karena faktor depopulasi besar-besaran di masyarakat Jepang modern.

Dilansir dari Bloomberg, Jepang modern memang sedang dihadapi masalah serius tentang hilangnya kota-kota kecil di pedesaan. Kota-kota ini menjadi kota mati, berubah jadi reruntuhan terbengkalai karena ditinggal oleh para penduduknya. Fenomena ini disebut shoushikoureika atau efek gabungan dari populasi yang menua, tingkat kelahiran yang rendah, dan melonjaknya permintaan akan layanan sosial.

Populasi Jepang diperkirakan akan kehilangan sepertiga dari populasinya, menjadi 88 juta orang pada 2065. Ini menyusul angka-angka sensus yang menunjukkan penyusutan populasi masyarakat Jepang yang mencapai hampir 1 juta orang sejak 2010. Di Jepang, fenomena ini juga tak bisa lepas kaitannya dengan dinamika masyarakat Jepang modern.

Penduduk muda berbondong-bondong meninggalkan pedesaan dan memilih hidup di kota-kota besar. Profesor ilmu politik Hisakazu Kato dari Universitas Meiji menyebut hal ini sebagai “masyarakat kutub”, dengan pusat-pusat kota besar seperti Tokyo dan Osaka yang menarik orang-orang muda dan membuat daerah pedesaan kosong.

Suzume berusaha menyentil realitas ini dengan memperlihatkan haikyo sebagai sabishii tokoro (寂しい所). Dalam terjemahan Indonesia versi bioskop, sabishii tokoro diterjemahkan sebagai tempat sepi. Tetapi jika kita berusaha memisah frasa ini, sabishii tokoro memiliki arti mendalam. Sabishii (寂しい) dalam bahasa Jepang berarti kesepian, sedangkan tokoro (所) berati tempat.

Jika dimaknai terpisah, frasa ini berarti tempat yang kesepian. Dengan pemaknaan ini, maka adegan-adegan saat Suzume dan Souta melakukan ritual penutupan tobira jadi masuk akal. Tempat-tempat ini merasa kesepian karena manusia sudah melupakan dan meninggalkan mereka. Ritual penutupan tobira selalu diwarnai dengan Souta yang merapalkan mantra para Kami dan seraya merapalkan mantra, baik Souta dan Suzume diharuskan untuk mendengarkan, merasa, dan membayangkan memori dari tempat-tempat ini.

Baca Juga: Surat Cinta Buat Doraemon, Karakter Kartun Revolusioner

Dengan mendengarkan, merasa, dan membayangkan memori yang ada, maka Souta dan Suzume memberikan penghormatan kepada memori berharga yang mendiami tempat ini. Sehingga, apa yang dilakukan Suzume dan Souta juga merupakan gestur mulia untuk mengingatkan kita semua tentang bagaimana setiap tempat layak untuk diingat dan tidak dilupakan begitu saja. Hal ini karena dalam hidup manusia yang sebentar tempat-tempat ini punya peran penting dalam membentuk kehidupan manusia.

Selain mengenai haikyo, realitas masyarakat Jepang juga sangat kental digambarkan lewat trauma masa kecil Suzume sendiri. Trauma yang erat kaitannya dengan trauma kolektif masyarakat jepang pasca gempa bumi dan tsunami Tohoku 11 Maret 2011 silam.

Gempa bermagnitudi 9,1, gempa terbesar dalam sejarah Jepang yang menyebabkan tsunami setinggi 10 meter Jepang porak poranda. Dilansir dari Reuters Tokyo Broadcasting System atau TBS dan Japanese National Police Agency mengkonfirmasi total korban jiwa sebanyak 15.269, 5.363 luka dan 8.526 hilang di enam prefektur. Ini kemudian disusul dengan kerusakan parah infrastruktur di Jepang dengan kerugian sebesar 200 hingga 300 miliar US Dollar dikutip dari halaman resmi International Monetary Fund (IMF).

Bencana alam dahsyat ini tentu meninggalkan luka bagi masyarakat Jepang terutama bagi mereka yang ditinggalkan. The Guardian melaporkan misalnya di tiga prefektur yang paling parah terkena dampak, yaitu Iwate, Miyagi, dan Fukushima, lebih dari 230 anak menjadi yatim piatu dan 1.580 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.

Realitas anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya inilah yang terjadi pada Suzume. Saat gempa Tohoku, ibu Suzume, Tsubame hilang dan tidak pernah ditemukan. Ini membuat Suzume menjadi yatim piatu dan diadopsi oleh tantenya, Tamaki. 

Pascagempa dan tsunami, Suzume kecil tidak bisa memahami ibunya telah tiada. Dalam pikirannya saat itu, ibu hilang dan ia harus mencarinya. Dengan langkah-langkah kecilnya, Suzume menyusuri reruntuhan, memanggil nama ibunya namun sayang ia tak pernah bisa menemukan ibunya sekeras apa pun dia mencari.

Suzume kecil akhirnya putuskan menggunakan krayon hitam untuk memenuhi buku diarinya pada hari-hari kelam itu. Lewat cara ini ia berusaha menutup rasa dukanya seraya berusaha mengubur dalam-dalam traumanya. Cara yang sayangnya terus ia lakukan hingga tumbuh dewasa.

Pada gilirannya, cara yang ditempuh Suzume dalam menghadapi duka berakibat pada memori-memori masa kecilnya yang mulai hilang. Ia hanya bisa mengunjungi fragmen-fragmennya saat terlelap tidur. Selebihnya ketika ia sadar, ia tak pernah satu kali pun teringat dengan memori-memori itu. Ia bahkan tak bisa membayangkan wajah ibunya.

Hal inilah yang juga jadi alasan Suzume tidak bisa sepenuhnya menerima Tamaki sebagai ibu barunya. Secara tak sadar dia menolak kehadiran Tamaki dan dalam sikapnya, penolakan ini ia perlihatkan lewat sikapnya yang menyebalkan dan semaunya sendiri.

Saat Suzume berhasil masuk ke dalam Ever-After, Suzume melihat sosoknya yang masih kecil. Suzume kecil berteriak memanggil ibunya serasa menangis, pada momen itulah Suzume sadar bahwa dirinya selama ini terperangkap. Tersesat dalam pusaran dukanya sendiri. Sejak ia kecil hingga dewasa ia selalu menyangkal dukanya. Membuatnya kesulitan untuk memproses rasa duka yang justru membuatnya jadi jauh dari dirinya sendiri dan orang lain.

Tanpa basa basi, Suzume pun langsung menghampiri Suzume kecil. Ia memeluk diri kecilnya. Memberikannya kursi peninggalan sang ibu dan mengatakan tak ada yang perlu ditakuti tentang masa depan karena Suzume nanti akan dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Pada momen itulah, Suzume kecil berhasil keluar dari Ever-After. Dan saat ia melihat Suzume kecil sudah pergi, Suzume pun menutup pintu menuju Ever-After itu.

Menariknya, alih-alih menggunakan frasa akhir kaeshimasu atau mengembalikan kembali, Suzume justru mengucapkan ittekimasu. Dalam versi terjemahan bioskop, ittekimasu diterjemahkan sebagai “Aku pergi!”. Terjemahan ini bisa dibilang kurang pas karena ittekimasu sendiri adalah satu dari banyak frasa bahasa Jepang yang tak bisa diterjemahkan secara harfiah karena mengandung nuansa.

Frasa ittekimasu digunakan oleh seseorang yang hendak pergi. Di dalamnya mengandung makna bahwa seseorang pergi dan berjanji untuk kembali seraya memohon pemberkatan atas kepergiannya. Dengan demikian, frasa yang diucapkan Suzume memiliki makna bahwa dirinya sudah bisa berdamai dengan masa lalunya.

Ia tak lagi berusaha kabur dari memori kelam pasca kehilangan ibunya dan berjanji akan kembali mengunjungi memori-memori itu sebagai caranya untuk bisa hidup sepenuhnya. Suzume menerima fakta bahwa kehidupan selalu akan dibayang-bayangi oleh kematian.

Akan ada orang di dalam hidupnya yang pergi tetapi ada juga orang-orang baru yang akan mewarnai hidupnya dengan kasih sayang. Karena itu, Suzume mulai belajar untuk menghargai masa kini dengan tak pernah melupakan masa lalu yang telah membentuknya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *