Culture Issues Politics & Society Prose & Poem

‘Things You May Find Hidden in My Ear’: Masa Kecil Anak Palestina yang Direnggut Paksa

‘Things You May Find Hidden in My Ear’ memperlihatkan bagaimana anak-anak di Gaza kehilangan masa kecilnya.

Avatar
  • December 7, 2023
  • 8 min read
  • 1062 Views
‘Things You May Find Hidden in My Ear’: Masa Kecil Anak Palestina yang Direnggut Paksa

Aku kira kita terbiasa mendengar lelucon, “Masa kecil kurang bahagia,” dalam keseharian. Biasanya itu ditujukan kepada orang-orang dewasa yang terlambat menikmati masa kanak-kanaknya, sehingga bertingkah seperti bocah. Masalahnya, buat anak-anak Gaza, Palestina, lelucon itu adalah kenyataan mereka.

Hal ini terpotret oleh penyair Palestina, Mosab Abu Toha. Dalam buku debutnya, Things You May Find Hidden in My Ear (2022), Mosab mengajak para pembaca menelusuri pengalaman warga Palestina yang kehilangan masa kanak-kanak.

 

 

Bukunya boleh saja tipis, hanya terdiri dari 93 halaman dengan 27 puisi dan prosa tetapi jangan sepelekan daya hentaknya. Tak cuma sukses memainkan emosi pembaca, kita akan dibuat berempati seketika meski secara geografis, Palestina-Indonesia cukup berjarak. Mungkin pengalaman pribadi Mosab yang membuat setiap kata di buku ini terasa personal.

Ia lahir dan tumbuh besar di Jalur Gaza, Palestina. Pada usia 12 tahun, ia mulai menyadari kehadiran tank Israel yang dengan bebas masuk ke wilayah rumahnya di Gaza. Saat itulah, rasa takutnya mulai terbentuk. Ia cemas nyawanya dan keluarga bakal terancam. Ia tak lagi merasa aman di manapun ia berada. Di jalan bahkan di rumah, yang ada di kepalanya cuma satu: Israel sedang mengintainya.

“Inilah ketakutan sesungguhnya, ancaman mengetahui bahwa kamu bisa dibom kapan saja,” tulis Mosab.

Pada 2009, saat usianya menginjak 16 tahun, untuk pertama kalinya Mosab terluka. Pecahan peluru meriam tentara Israel berhasil menembus leher dan dahinya. Momen itu menjadi pengalaman pertamanya dilarikan rumah sakit untuk melakukan X-Ray dan tujuh bulan kemudian ia menjalani operasi pertama.

Dua cerita ini hanyalah sebagian dari pengalaman masa kecilnya sebagai warga Palestina yang ia tulis dalam buku. Mosab cuma berpesan, ia dan ratusan ribu anak Gaza lain telah meninggalkan masa kecilnya.

Sejak balita, anak kecil Gaza pandai berhitung. Bukan berhitung untuk pelajaran Matematika, tapi menghitung berapa banyak saja rumah dan gedung sudah porak poranda habis dibom Israel. Anak Gaza pandai mendeteksi asap. Ini bukan asap pembakaran sampah atau pohon, tetapi asap dari bom yang dijatuhkan Israel ke pemukiman warga. Jadi alih-alih bermain dan belajar secara harfiah, anak Palestina terpaksa menyesuaikan kemampuannya untuk bertahan hidup.

Sebelum menyadari kehadiran tank Israel, Mosab sendiri telah lama meninggalkan masa kecilnya karena harus mengungsi ke pos darurat. Tak ada lagi makanan dan malam hangat bermain bersama saudara perempuannya. Yang tersisa hanya rasa takut.

Masa kecil yang dirampas paksa ini pernah diteliti Iman Farajallah, Doktor Psikologi, pengajar di Universitas Sofia dan Asisten Psikologi di Bay Area Psychiatric Group. Dalam penelitiannya pada 2022, Farajallah menemukan banyak anak di Gaza bergelut dengan gejala trauma fisik dan psikologis. Menjadi korban langsung dan tidak langsung dari misil dan tank tentara Israel membuat mereka ketakutan akan kegelapan dan mengalami ketegangan umum, kilas balik, mimpi buruk, serta isolasi.

Mereka juga mengalami tekanan emosional dan gangguan mental tinggi. Studi tinjauan pada 2011 menemukan tingginya tingkat gangguan stres pasca-trauma di kalangan anak-anak Palestina, dengan perkiraan dalam berbagai penelitian berkisar antara 23 persen hingga 70 persen.

Baca Juga:   Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang

Temuan ini diperkuat dengan penelitian organisasi nirlaba Save the Children pada 2022 yang mewawancarai hampir 500 anak dan 160 orang tua di Gaza. Sebanyak 80 persen anak-anak dalam penelitian tersebut menunjukkan gejala tekanan emosional. Sekitar setengah dari anak-anak di sana melaporkan pernah berpikir untuk bunuh diri, dan tiga dari lima anak-anak melakukan tindakan menyakiti diri sendiri. Empat dari lima anak melaporkan hidup dalam depresi, kesedihan, dan ketakutan.

Inilah realitas kehidupan anak-anak di Gaza. Nour Masiry, pembela hak asasi manusia dan ibu yang tinggal di Gaza mengatakan pada Rampant Magazine tentang ini. Kata dia, masa kanak-kanak adalah konsep yang tidak ada artinya bagi anak-anak yang tumbuh di penjara terbuka terbesar di dunia ini. Pendudukan telah menghilangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan masa kanak-kanak. Kepolosan mereka hilang, yang tertinggal hanya trauma. Mereka takut terhadap suara balon yang meletus atau suara mobil yang menabrak tepi jalan, karena mereka mengira itu adalah roket atau bom yang jatuh di dekatnya.

Mosab Abu Toha, Anak Palestina, dan Buku

Buatmu yang belum familier dengan Mosab, mungkin akan mengerti jika aku menyebutkan satu tempat: Edward Said Library. Itu adalah perpustakaan dengan koleksi buku berbahasa Inggris pertama di Gaza yang digadang-gadang bakal hancur di tengah serangan Israel.

Kecintaan Mosab pada buku, terutama Sastra Inggris dan keinginannya untuk bisa mengenalkan anak-anak Gaza terhadap buku, jadi alasan kenapa ia mendirikan Edward Said Library. Tentu saja mendirikan perpustakaan di tengah pendudukan, relatif ngeri-ngeri sedap. Ancaman dijatuhkan misil Israel hingga kesulitan mendapatkan koleksi buku kiriman dari luar negeri adalah beberapa hambatannya.

Dalam buku Light in Gaza: Writings Born of Fire (2022), Mosab menceritakan bagaimana buku-buku kiriman Professor Noam Chomsky untuk Edward Said Library pada 2016 sempat “disita” enam bulan oleh otoritas Israel. Ketika akhirnya diterima, buku-buku kiriman itu banyak yang hilang.

Jaringan pos pemeriksaan militer, penghalang jalan, pagar dan struktur lainnya mengontrol pergerakan warga Palestina di dalam Wilayah Pendudukan Palestina (OPT). Ini termasuk membatasi hak mereka dalam menerima barang kiriman dari luar negeri. Buat Mosab, hal ini sering kali berujung pada pemusnahan buku kiriman dari teman-teman dan kolega. Buku-buku itu dibakar sesuai dengan kebijakan subkontraktor karena ia tidak bisa pergi leluasa dan menebusnya.

Meski mendapat banyak hambatan, Mosab enggan menyerah. Buatnya, anak-anak Gaza, Palestina berhak mengakses pengetahuan dari buku-buku di tengah keterbatasan. Pun, masyarakat dunia juga perlu tahu derita apa yang sebenarnya menimpa anak-anak Palestina. Karena itulah, ia terus bersuara dengan jujur lewat buku puisi dan prosa.

Berbeda dengan kebanyakan penyair lain yang banyak menggunakan metafora, Mosab memilih menggambarkan dampak pendudukan Israel pada anak-anak apa adanya.

 Baca Juga: Ulasan ‘Light in Gaza: Writings Born of Fire’: Orang Gaza Dijajah di Ruang Nyata dan Maya

Menulis adalah Cara Mosab untuk Sembuh dari Trauma Masa Kecil

Dalam banyak karya sastra penulis Palestina, kita sering kali mendengar bagaimana menulis menjadi alat perlawanan Palestina melawan pendudukan Israel. Kita melihatnya dalam tulisan karya Adania Shibli, Samira Azzam, Mahmoud Darwish, Ghassan Kanafani, dan karya penulis Palestina lainnya.

Tahrir Hamdi, Profesor Studi Dekolonial di Universitas Terbuka Arab, Yordania menyebutnya sebagai bearing witness. Maksudnya, itu sub-genre sastra yang dibuat untuk memberikan pengamatan mendalam pada pembaca tentang peristiwa tragis masa lalu yang berdampak pada masa kini. Tujuannya tak hanya jadi alat perlawanan bagi penulis Palestina, tapi juga sarana penyembuh luka.

Mosab mengatakan dalam bukunya, orang-orang di Gaza memiliki luka trauma atas kekerasan yang mereka alami sepanjang hidup. Luka itu pasti akan berubah menjadi mimpi buruk hingga menggerogoti jiwa jika kita tidak bisa memprosesnya. Lewat menulis, kita bak diberikan plester luka dan pereda rasa sakit.

Kita diberikan waktu untuk memproses trauma yang ada dan pada gilirannya perlahan bisa menyembuhkannya walau tak sempurna. Orang-orang yang tidak dapat melalui proses ini kata Mosab akan memilih menyingkirkan trauma, memindahkan, atau mengubahnya dan akan kehilangan kesehatan mental.

“Jika mereka tidak dapat menulis, atau menghadapi mimpi buruk mereka dengan membaca, dengan menuangkannya di atas kertas, atau entah bagaimana berbagi perasaan dengan orang lain, ini akan memperdalam luka. Mimpi buruk ini akan terus muncul, dalam mimpi dan kenyataan mereka-itu sangat sulit,” tulis Mosab.

Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menceritakannya kepada orang lain dan menuliskannya. Sehingga, bisa diketahui, apa yang sebenarnya mengganggu kita. Menulis untuk menyembuhkan luka terlihat jelas dalam cara Mosab bercerita lewat prosa dan puisi yang bertema tentang duka, kerinduan, dan harapan tentang kehidupan yang damai.

Dalam duka, ia bercerita tentang hilangnya rumah kakek di Yaffa pada 1948. Kunci yang masih tertinggal sejak itu dan tak pernah kembali hingga kakeknya meninggal. Ia juga bercerita tentang kehilangan tiga sahabatnya yang terbunuh dengan baju penuh darah. Bau amis darahnya begitu menyengat hingga harus dituangkan parfum dalam jumlah banyak. Jumlah yang buatnya jadi benci memakai parfum dan mencium baunya.

Dalam kerinduan, Mosab bercerita tentang rumah. Rumah adalah tempat di mana bayangan pepohonan rindang menaungi dirinya saat pergi ke sekolah. Rumah adalah tempat di mana foto pernikahan kakek neneknya terpasang rapi sebelum dihancurkan tentara Israel. Rumah adalah oven yang dipakai ibunya untuk memang roti dan ayam sebelum hancur menjadi serpihan debu. Rumah adalah kafe di mana ia menonton pertandingan bola bersama sahabat-sahabatnya.

Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah

Ia bercerita tentang pembebasan atas tanah Palestina. Tanah yang dalam puluhan dekade dibanjiri air mata dan darah. Tanah yang berbau kematian tetapi juga merupakan tanah kehidupan karena hanya tanah itulah yang mampu membuat tulang-tulang mereka tumbuh menjadi pohon zaitun dan buah jeruk kecintaan warga Palestina.

Semua duka, kerinduan, dan harapan dalam tulisannya adalah penyembuhan luka. Cara yang menurut Tsitsi Dangarembga, penulis dari Afrika Selatan dalam tulisannya di Lit Hub umum dilakukan para kelompok pribumi yang mengalami pendudukan.

Beberapa tulisan tentang penderitaan, termasuk derita anak-anak memang menimbulkan bekas luka, bengkak, dan sering kali bernanah. Namun, tulisan terbaik membuka luka tapi sekaligus membersihkannya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *