Aturan Turunan UU TPKS, PR Besar yang Tak Kunjung Selesai
Ketiadaan aturan turunan UU TPKS akan menyulitkan aparat hukum untuk melakukan penindakan yang berperspektif korban.
Setahun berselang sejak pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Keberadaannya dianggap sebagai kemajuan hukum yang bisa menjamin keadilan buat korban kekerasan seksual.
Sayang, walau sudah disahkan kondisi darurat kekerasan terhadap perempuan di tanah air enggak kunjung membaik. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), periode 1 Januari-27 September 2023 ada 8.585 kasus kekerasan seksual terjadi di seluruh Indonesia.
Maraknya kasus kekerasan seksual diperparah dengan masih minimnya keberpihakan aparat penegak hukum (APH) pada korban. Rena Herdiyani, Executive Director dalam Konferensi Pers Jaringan Masyarakat Sipil, (27/11) mengatakan, masih belum diundangkannya tujuh aturan turunan UU TPKS menjadi hambatan terbesar bagi korban.
“APH menjadikannya (ketiadaan aturan turunan) sebagai alasan untuk tidak mengimplementasikan UU TPKS. Ini juga jadi alasan kenapa masih banyak APH yang tidak paham substansi UU TPKS. Maka kita perlu sosialisasikan dan terus menyuarakannya karena masih banyak korban kekerasan seksual belum bisa mengakses layanan, informasi, dan keadilan,” ucapnya dalam konferensi pers bertajuk “Percepatan Pengesahan Aturan Pelaksana dan Implementasi UU TPKS Untuk Pencegahan, Penanganan, Pelindungan dan Pemulihan Hak-Hak Korban” itu.
Baca Juga: Mengantre Viral: Perjuangan Korban Kekerasan Seksual di Indonesia
Adat Istiadat, Sebuah Persoalan Lain
Sejumlah aktivis dan perwakilan kelompok perempuan di berbagai daerah di Indonesia dalam kesempatan sama, memberi catatan sejumlah hambatan penerapan UU TPKS.
Belum adanya koordinasi antara kementerian/lembaga, institusi penegak hukum, Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, pemerintah daerah, dan institusi lain lintas sektor di tingkat pusat maupun daerah terkait implementasi UU TPKS jadi hambatan utama. Selain itu, pemahaman substansi UU TPKS, perspektif gender, disabilitas, serta kesiapan APH, pemerintah daerah, dan unit pelayanan terpadu (UPT) amat rendah juga jadi hambatan lainnya.
“Aksesibilitasnya terkait fleksibilitas waktu, JBI (Juru Bahasa Isyarat), ataupun ruang pemeriksaan yang kondusif masih diabaikan. APH susah memahami karakteristik korban disabilitas yang akhirnya kasus mereka sulit ditindaklanjuti,” kata Maria Un, perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Sulawesi Selatan.
Lebih dari itu, di sejumlah daerah seperti Sulawesi Selatan, Papua, Kalimantan Tengah, Bali, dan Maluku, implementasi UU TPKS terganjal pada masih kentalnya hukum adat. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Sulawesi Selatan (Sulsel) Rosmiati Sain bilang, banyak kasus kekerasan seksual diselesaikan secara adat. Pelaku biasanya diminta membayarkan denda adat, seperti memotong hewan, memasak, dan memakan serta menyajikannya dikelilingi para tetua, kepala, adat dan masyarakat.
“Setelah melakukan itu, kasusnya dianggap sudah selesai. Tapi cara ini kan bertentangan dengan (perspektif) korban. Korban tidak mendapatkan hak pemulihan apalagi pelaku biasanya juga akan kembali lagi hidup berdekatan dengan korban,” ungkap Rosmiati.
Hal senada disampaikan Novita Opki, perwakilan LBH APIK. Di Papua, kata dia, kasus kekerasan seksual masih dianggap sebagai urusan aib keluarga, sehingga kebanyakan tidak dilanjutkan ke pihak kepolisian melainkan dikembalikan ke para-para adat
Para-para adat sendiri dikutip dalam penelitian Para-Para Adat sebagai Lembaga Peradilan Adat Pada Masyarakat Hukum Adat Port Numbay di Kota Jayapura (2012) adalah suatu tempat pertemuan untuk bermusyawarah maupun menyelesaikan sengketa adat pidana maupun perdata. Kekerasan seksual di Jayapura menjadi salah satu kasus pidana yang diselesaikan para-para adat.
Sayangnya, menurut Novita, para tetua dan kepala adat mayoritas adalah laki-laki dengan perspektif yang sangat maskulin. Ini ditengarai dari dua hal. Pertama, korban kekerasan seksual acap kali disudutkan atau disalahkan atas kekerasan yang mereka alami. Kedua, penyelesaian kasus kekerasan seksual umumnya berujung pada pembayaran denda adat oleh pelaku. Ketika pelaku sudah membayarkan denda, kasus pun dianggap telah selesai.
“Denda yang dibayarkan ini berbentuk uang. Tapi ujung-ujungnya uang tersebut juga tidak untuk korban tapi dinikmati oleh keluarga-keluarganya. Jadi tidak ada jaminan keadilan sama sekali. Untuk pemulihan pun tidak ada,” kata Novita.
Baca Juga: Hoaks Pelecehan Seksual Mahasiswa UNY, Bahayakan Korban dan Gerakan Anti-Kekerasan
Semua Dijawab dengan Restorative Justice
Perempuan pegawai honorer di Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) diperkosa oleh empat pegawai laki-laki yang salah satunya berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 2019. Kasus ini berakhir ditutup oleh pihak kepolisian satu tahun setelahnya, setelah korban justru diminta untuk menikahi salah satu pelaku.
Tindakan APH ini tentu dapat kecaman. Tanpa memenuhi hak atas keadilan dan pemulihan korban, APH justru lebih mengupayakan menyelesaikan kasus pidana dengan upaya perdamaiannya yang dikenal sebagai upaya keadilan restoratif (restorative justice).
Masalahnya, sejak UU TPKS disahkan, masih ada perempuan-perempuan lain yang belum mendapat keadilan. Novita mengatakan, ketidakadilan itu merata terjadi di hampir semua wilayah Indonesia. Salah satunya mewujud dalam restorative justice.
Tanpa adanya aturan turunan UU TPKS, keadilan restoratif sampai saat ini selalu dijadikan pedoman para APH. Penerapannya diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang disusul dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Prosesnya cenderung lebih simpel karena APH tak perlu repot-repot memastikan pemenuhan hak atas pemulihan korban kekerasan. Dalam mekanisme ini, tata cara peradilan pidana yang ada berfokus pada proses dialog dan mediasi. Mediasi ini melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait. Tujuannya dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Baca Juga: Ramai-ramai Kawal Kasus Dr. Qory: Benarkah Kesadaran Publik tentang KDRT Meningkat?
Karena menekankan pada “ketertiban umum”, dalam prosesnya mekanisme ini seringkali membuat pelaku jadi mudah “dimaafkan”. Pelaku dihilangkan dalam gambaran besar kekerasan oleh masyarakat, apalagi jika pelakunya dianggap sebagai “orang baik”. Sebaliknya, korban justru direviktimisasi.
“Penerapan restorative justice ini memperlihatkan bagaimana APH sangat menyayangkan perspektifnya masih bias gender dan tidak sensitif pada korban perempuan. Korban KS (kekerasan seksual) datang ke kepolisian berakhir didiskriminasi ulang, reviktimisasi ulang,” jelas Novita.
Katrin Wokanubun, SH, Ketua Koalisi Muda Kependudukan (KMK) Provinsi Maluku menambahkan, mekanisme ini semakin memperburuk kondisi korban. Apalagi jika pelaku adalah orang-orang yang menduduki jabatan publik atau kuasa. Karena itu, untuk memastikan mekanisme perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien tak ada cara lain untuk terus mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan aturan turunan UU TPKS.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari