Vlog Sabrina-Adhiguna: Jualan Dongeng Kawin Anak di Era Digital
Kisah para putri digantikan dongeng pasangan yang secara implisit mempromosikan perkawinan anak.
Sejoli muda terlihat bahagia sekali menceritakan cerita cinta mereka, mulai dari kronologi mereka bertemu hingga menikah yang durasinya baru seumur jagung, hingga alasan, atau mungkin lebih tepat dibilang justifikasi mereka menikah ketika si perempuan berusia 16, tahun lalu.
Soal usia mempelai perempuan saat menikah ini, menurut pengakuan mereka tidak melanggar undang-undang (UU) karena pasangan ini menikah sekitar seminggu sebelum revisi UU Perkawinan disahkan pada pertengahan September 2019.
Latar pengambilan gambar, footage resepsi yang disisipkan, plus cerita seperti yang menyebut-nyebut kuliah atau jalan-jalan di luar negeri dan homeschooling menjelaskan status ekonomi sosial mereka. Beriringan dengan itu, berulang kali narasi agama ditonjolkan oleh kedua pihak, intinya soal takdir yang membuat mereka berjodoh kendati tak cukup lama saling mengenal.
Dalam hitungan hari sebelum tanggal pernikahan mereka, kedua pihak masih bisa dibilang asing. Si perempuan hanya mengenal calon suaminya saat itu dari seorang sepupu yang berbisnis dengan suaminya. Kendati katanya orang tua kedua pihak adalah sahabat lama, tidak banyak interaksi antara sejoli ini sejak kecil. Tahu-tahu mereka melangkah ke pelaminan setelah si perempuan meleleh begitu dikirimi pesan sebelum lamaran, “Aku serius sama kamu, bukan untuk main-main, tujuanku sekarang bukan lagi mencari istri, namun untuk mencari ibu yang terbaik untuk anakku.”
Itu adalah petikan cerita di balik pernikahan Sabrina dan Adhiguna yang diunggah di YouTube dengan mengusung tema dua raga satu jiwa. Setelah mengunggah episode pertama (total sejauh ini ada tiga episode dan mungkin bertambah lagi) dua minggu lalu, akun mereka sudah mendapatkan 55 ribu pengikut, sementara video-videonya sendiri ditonton mulai dari 300 ribu sampai hampir 800 ribu kali.
Baca juga: Penghentian Perkawinan Anak Terkendala Kelonggaran Dispensasi Kawin
Di bagian komentar, ada yang merasa penyampaian alasan menikah umur 16 tahun—yang dipakai sebagai judul dua video—terlampau bertele-tele. Ada lagi, yang sepikiran dengan saya, menuliskan, “Ingat gais, ini hanya berlaku untuk orang kaya”.
Saya langsung teringat pernikahan selebgram putri pengacara ternama, Sunan Kalijaga, yakni Salmafina Sunan dengan Taqy Malik, yang juga menikah di usia muda pada 2017 lalu. Salma ketika itu berumur 18 sementara Taqy 20 tahun. Namun tidak sampai setengah tahun setelah menikah, Salma-Taqy bercerai.
Seperti halnya Sabrina dan Adhiguna, masa perkenalan sebelum ke pelaminan sangat singkat, dan mereka pun dari keluarga berpunya. Terlepas dari maraknya kampanye menghentikan perkawinan anak, nyaris tak bisa tidak saya berpikir, “Orang kaya mah bebas…”
Salah satu faktor yang membuat perkawinan anak ditolak adalah belum matangnya persiapan anak dari macam-macam segi, mulai dari fisik, psikologis, hingga kemampuan finansial. Tapi buat pasangan seperti Sabrina (yang masih usia anak berdasarkan UU Perlindungan Anak) dan suaminya, faktor yang lain dilibas hanya karena mereka dari keluarga kaya.
Sabrina mengatakan bahwa karakter Adhiguna yang disampaikan sepupunya, plus track record sang suami dalam hal pendidikan dan pekerjaan menjadi bagian dari alasannya mau menerima lamaran. Saya gatal mendengarnya, karena Sabrina bak orang yang tak pernah turun ke pasar, lantas menemukan barang yang dibutuhkannya dan dipatok harga tinggi dan klaim mutu muluk-muluk oleh si pedagang, lantas mau saja percaya dan membelinya.
Baca juga: Hal-hal yang Tak Pernah Dikampanyekan Gerakan Menikah Muda
Sabrina mengatakan, “Mungkin kalian menganggap aku seperti anak kecil yang belum mengenal cinta dan dengan gampang menerima lamaran laki-laki begitu saja. Tapi kalau kalian ada di posisiku saat itu, kalian pasti bisa membedakan mana ucapan yang hanya kata-kata, mana yang berasal dari jiwa.”
Gasp! “Anak senja” detected!
Sabrina dan Adhiguna melabeli rentetan pengalaman hidupnya sampai menikah dengan orang yang sama-sama asing sebagai takdir Allah. Sabrina juga menceritakan soal tanggal lahir mereka yang sama, lokasi rumah mereka yang berdekatan, sampai cara lahiran dan dokter kandungan yang menangani persalinan ibu mereka yang sama sebagai bagian dari yang telah digariskan sang Maha Kuasa. Ditambah lagi, ia menjejerkan fotonya dan foto Adhiguna yang ia sebut ibarat kakak-adik. Wah, cocoklogi, much?
Dalam menjustifikasi kawin anak yang dilakukannya, Sabrina mencontoh sang mertua yang juga kenal dalam waktu singkat dengan pasangannya sebelum menikah. Kata Sabrina, belajar dari pengalaman mertuanya, “Pernikahan yang diawali dengan kasih sayang dan tanpa rasa kecewa cenderung bertahan selamanya”. Lalu, saat ada yang menganggap pernikahan itu diperlukan untuk menyelamatkan hubungan, Sabrina merasa tidak ada yang perlu diselamatkan karena tidak ada yang kecewa.
Ya, memang lama perkenalan tidak menjamin pernikahan langgeng, tapi saya tetap percaya bahwa proses pengenalan sampai ke keputusan tinggal bersama itu tidak sepatutnya instan. Dalam proses pengenalan atau pacaran itulah kita sedikit demi sedikit melihat aneka sisi pasangan yang berpengaruh sekali pada pertimbangan akan melanjutkan ke pernikahan atau tidak. Ini juga tidak selesai begitu pasangan menikah, ketika hidup bersama pun proses ini berlanjut. Itu sebabnya di tengah jalan ada yang merasa bisa menerima segala sisi pasangan atau sekurang-kurangnya berkompromi, ada juga yang meledak dan ujungnya minta cerai karena tak tahan.
Ketika perkawinan disiarkan di media sosial, mengusung titel pengundang klik “alasan menikah di umur 16”, plus tagar #nikahmuda, ini jelas kampanye kawin anak yang sedang diperjuangkan negara untuk dientaskan.
Ada satu lagi yang membuat saya gemas melihat pasangan ini: Filosofi sepatu ala Sabrina. “Jika suami adalah pelari, maka istri adalah sepatunya, jika suami berlari di atas beling, maka tanpa istri, ia akan terluka. Istri yang baik adalah istri yang melengkapi suaminya. Jika suami pelari, janganlah menjadi high heels, karena keberadaanmu malah membuat suamimu terjatuh dan terluka lebih parah. Maka sesuaikanlah dirimu dan jadilah sepatu lari, dengan demikian suamimu dan dirimu akan berlari bersama dengan kencang tanpa terluka sampai ke tujuan, begitupun sebaliknya.”
Dari narasi itu, terlihat betul model keluarga konservatif yang kelak mereka terapkan. Peran Sabrina sebagai istri adalah pelengkap, seolah Adhiguna sebagai manusia tidak bisa utuh tanpanya. Padahal menurut saya, penting untuk dua pihak untuk cukup dengan dirinya dulu sebelum menjalin relasi dan tidak ada satu pihak pun yang perannya bak vetsin, pelengkap semata.
Kemudian, ia mempromosikan pembatasan diri yang sukarela untuk para perempuan yang kelak mau menjadi istri. Tidak boleh lagi istri menjadi high heels, hanya boleh jadi sepatu lari untuk memfasilitasi kebutuhan suami. Ini adalah metafora untuk perempuan yang masih punya cita-cita atau keinginan pribadi yang mesti meluruhkan semuanya begitu ia mau menikah, harus sesuai dengan tujuan suami, bukan tujuan bersama. Skenario ini mengerikan betul buat saya.
Cerita Sabrina dan Adhiguna tidak ubahnya seperti dongeng-dongeng putri yang sekali bertemu pangeran, keduanya langsung jatuh hati. Minim kontak, ujug-ujug menikah dan menikah itu indah. Bedanya, selayaknya banyak video kawin muda dan kawin anak lainnya, cerita mereka dibubuhi narasi agama sebagai justifikasi.
Baca juga: ‘Selebgram’ Dorong Remaja Menikah Muda
Puitisasi menjadi strategi untuk kian mengemas cerita mereka agar menarik. Selain itu, dongeng mereka juga disisipkan dalam Bridestory, media yang berfokus pada industri pernikahan dan segala glamorisasinya. Promosi dari media tak pelak akan makin berpotensi membuat orang menginginkan hal serupa, lupa akan aspek kawin anak yang seharusnya dikritik.
Pasti ada yang berpikir, ah sirik aja lu, ngomentarin nikahannya Sabrina dan Adhiguna. Jika pernikahan mereka dilakukan tanpa diromantisasi, dipublikasi, dan dipromosikan, itu urusan mereka. Tetapi jadi perkara ketika ini disiarkan di media sosial, mengusung titel pengundang klik “alasan menikah di umur 16”, plus tagar #nikahmuda. Ini jelas mengampanyekan kawin muda bahkan kawin anak yang sedang diperjuangkan negara untuk dientaskan.
Mending kalau cerita kawin anak yang terlihat dihujani kebahagiaan datang dari orang yang sudah puluhan tahun menikah dan tanpa rekayasa. Lha ini, wejangan dan kisah cinta datang dari pasangan yang baru hitungan bulan berumah tangga dan masih dalam fase honeymoon. Bias sekali rasanya pesan yang disampaikan.
Saya berharap sekali yang saya tonton sampai berepisode-episode itu adalah webseries fiksi. Karena realitas mustahil seperti cerita yang manisnya bisa-bisa memicu diabetes itu.