Penyebaran cacar monyet (monkeypox) yang makin luas di Eropa dan Amerika Utara – negara-negara non-endemik, meningkatkan kekhawatiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Per 2 Juni WHO mengkonfirmasi kasus penyakit ini mencapai 780 kasus dari 27 negara.
Sampai saat ini, negara di Asia Pasifik dekat Indonesia yang telah mengkonfirmasi kasus cacar monyet adalah Australia, dengan tiga kasus. Identifikasi kasus cacar monyet yang dikonfirmasi dan dicurigai tanpa hubungan perjalanan langsung ke daerah endemik (negara-negara Afrika) merupakan peristiwa yang sangat tidak biasa.
Meski laporan kasus cacar monyet di Indonesia belum ada, kewaspadaan dan antisipasi melalui upaya pencegahan penularan harus tetap dilakukan. Salah satunya terkait kesiapan laboratorium pemeriksa dalam mendeteksi penyakit cacar monyet.
Masalahnya, Laboratorium Nasional Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, yang menjadi lab rujukan penyakit menular yang sedang mewabah, telah dibubarkan dan dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Regulasi terkait lab ini masih belum jelas setelah enam bulan lebih peleburan dilakukan.
Baca juga: Habis COVID-19 Terbitlah Hepatitis Akut: Fakta-fakta yang Harus Kamu Tahu
Karakter Cacar Monyet
Penyelidikan epidemiologi atas kasus cacar monyet di daerah non-endemik masih berlangsung. Satu hal yang pasti bahwa kasus yang dilaporkan sejauh ini tidak memiliki hubungan perjalanan pasien dari daerah endemik.
Virus cacar monyet ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak dekat dengan luka kulit melepuh, cairan tubuh, tetesan pernapasan, dan bahan yang terkontaminasi seperti tempat tidur.
Masa inkubasi cacar monyet biasanya 6-13 hari, tapi juga dapat berkisar 5-21 hari. Tingkat kematian penyakit ini 3–10 persen dari jumlah orang terinfeksi. Sebuah angka yang relatif tinggi.
Virus penyakit cacar monyet adalah jenis virus zoonosis (virus yang ditularkan dari hewan ke manusia) dengan gejala yang sangat mirip dengan yang terlihat pada masa lalu pada pasien cacar. Misalnya adalah demam, sakit kepala hebat, nyeri otot, sakit punggung, lemas, pembengkakan kelenjar getah bening, dan ruam atau luka kulit.
Penyakit ini disebabkan oleh virus monkeypox yang termasuk dalam genus orthopoxvirus dari famili Poxviridae. Pemeriksaan cacar monyet dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Namun, secara teknis pemeriksaan laboratorium virus cacar monyet berbeda dengan virus SARS-CoV-2 terutama proses isolasi asam nukleat (ekstraksi). Spesimen yang digunakan dalam pemeriksaan cacar monyet adalah cairan luka kulit, usap luka, usap tonsil, usap nasofaring, dan serum.
Cacar Monyet di Luar Afrika
Baca juga: Curhatan Peneliti Pasca-BRIN Dibentuk: Gabut Hingga Ancaman Riset Tersendat
WHO memperkirakan akan ada lebih banyak kasus cacar monyet yang teridentifikasi seiring meluasnya pengawasan di negara-negara non-endemik.
Adapun negara-negara endemik cacar monyet adalah Benin, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Ghana (hanya diidentifikasi pada hewan), Pantai Gading, Liberia, Nigeria, Republik Kongo, Sierra Leone, dan Sudan Selatan. WHO melaporkan sejak 1 Januari 2022 hingga 1 Juni 2022 ada sekitar 1.400 kasus terduga cacar monyet, terkonfirmasi 44 kasus, dan kematian 66 kasus di 7 negara endemik di Afrika.
Pada 21 Mei, WHO menyatakan kasus cacar monyet menyebar di 12 negara non-endemik di Eropa dan Amerika Utara, dengan 92 kasus terkonfirmasi. Kurang dari dua bulan, kasus serupa telah ditemukan 27 negara, dengan jumlah kasus lebih dari 8 kali lipat.
Cepat atau lambat, penyakit cacar monyet ini bisa masuk ke Indonesia. Penyebarannya terutama melalui pelaku perjalanan warga negara Indonesia dan asing dari negara-negara yang melaporkan adanya kasus cacar monyet seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belgia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Belanda hingga Portugal.
Masyarakat Indonesia tetap harus waspada mengingat kasus yang dilaporkan dan dikonfirmasi di berbagai negara itu tidak ada perjalanan langsung ke daerah endemik. Mekanisme penularan cacar monyet antarmanusia relatif lebih mudah melalui kontak fisik dengan kasus yang bergejala.
Untuk mendeteksi kasus yang kemungkinan masuk ke Indonesia, Kementerian Kesehatan mempunyai jejaring laboratorium COVID-19, yang juga mampu mendeteksi molekuler cacar monyet pada manusia.
Posisi Lab Belum Jelas
Laboratorium Nasional Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dibentuk pada Maret 2010 untuk menjadi laboratorium rujukan nasional penyakit Infeksi menular yang sedang mewabah (emerging) dan re-emerging (PINERE).
Beberapa kasus penyakit potensi wabah yang pernah ditangani laboratorium rujukan nasional misalnya flu burung, MERS-Cov, SARS-Cov, Ebola, Rabies, Difteri, dan lainnya.
Penyakit infeksi menular yang terakhir adalah kasus COVID-19 dan hepatitis akut misterius. Sementara cacar monyet belum ada yang terkonfirmasi positif laboratorium, sehingga kesiapsiagaan harus tetap dilakukan jika ada kasus tersebut masuk ke Indonesia.
Masalah yang kini krusial adalah kelembagaan laboratorium rujukan tersebut belum jelas setelah pembubaran Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dan kemudian dilebur ke Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). Setelah hampir enam bulan lebih dilebur, regulasi untuk mengubah Laboratorium Balitbangkes ke arah Laboratorium Kesehatan Masyarakat masih dalam proses penggodokan.
Selama pandemi COVID-19, Indonesia mempunyai jejaring laboratorium pemeriksa COVID yang berjumlah 742 fasilitas laboratorium BSL2 (Biosafety Level 2). Fasilitas sarana dan prasarana lab ini seharusnya sudah memenuhi kelayakan untuk dapat melakukan pemeriksaan deteksi penyakit potensial wabah seperti Cacar Monyet. Tinggal menyediakan bahan dan reagen untuk pemeriksaan di setiap laboratorium.
Apakah semua laboratorium harus mampu melakukan pemeriksaan cacar monyet? Hal ini tergantung dari nanti banyaknya kasus yang ada di Indonesia.
Dengan pertimbangan jumlah kasus konfirmasi yang belum ditemukan dan efektifitas keterbatasan reagen pemeriksaan cacar monyet yang ada, sebaiknya pemeriksaan deteksi awal hanya difokuskan pada beberapa jejaring laboratorium tertentu saja, seperti halnya pada awal pandemi COVID.
Misalnya, pemeriksaan bisa dilakukan di laboratorium rujukan nasional penyakit infeksi di lab yang dulu dioperasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Jakarta, serta empat Balai Besar Laboratorium Klinik dan 10 Balai/Besar Teknik Kesehatan Lingkungan yang ada di beberapa wilayah indonesia.
Pemerintah perlu segera membentuk Laboratorium Kesehatan Masyarakat beserta jejaringnya di seluruh Indonesia dalam bentuk sistem laboratorium terintegrasi dari tingkat komunitas, daerah, dan nasional.
Sejauh ini, beberapa laboratorium kesehatan di Indonesia sudah melaksanakan beberapa fungsi dari 14 fungsi Laboratorium Kesehatan Masyarakat. Mereka berfokus dalam deteksi penyakit dan status kesehatan dalam kelompok populasi masyarakat (bukan individual). Namun, regulasi sistem pengaturan jejaringnya belum ada.
Karena itu, pemerintah harus segera menerbitkan peraturan penunjukkan jejaring lab yang dapat melakukan pemeriksaan cacar monyet. Selain itu, bahan reagen ekstraksi DNA dan alat deteksi yang akan didistribusikan ke jejaring lab juga perlu disiapkan.
Jika kasus cacar monyet ditemukan, maka rumah sakit dan petugas kesehatan yang merawat terduga pasien cacar monyet serta petugas lab pemeriksa spesimennya mesti menjalani prosedur sesuai dengan anjuran Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat . Mereka harus sudah divaksinasi cacar air (smallpox) sebelum memeriksa virus cacar monyet dan merawat pasien cacar monyet.
Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: 30 Tahun Bekerja, Hadapi Ketakutan yang Berbeda
Deteksi dan Mitigasi
Belajar dari pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan harus memperkuat langkah mitigasi dan deteksi dini di pintu masuk Indonesia, terutama di bandara dan pelabuhan yang menjadi pintu lewat orang dari negara yang ada kasus cacar monyet.
Pemerintah juga perlu menyiapkan rumah sakit rujukan untuk isolasi penderita yang diduga cacar monyet. Tenaga kesehatan di rumah sakit dan lab juga perlu segera divaksinasi cacar karena dapat mencegah infeksi virus cacar monyet dan mengurangi keparahan gejala.
Dengan persiapan yang matang, kita bisa lebih sigap menghadapi wabah cacar monyet yang mungkin akan masuk ke Indonesia.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Ilustrasi oleh Karina Tungari