Issues Opini

Tidak Bisa Tidak, Kita Harus ‘WFH’ Sekarang

‘WFH’ layak jadi kebijakan mendesak untuk memangkas polusi udara Jakarta. Tak cuma buat ASN tapi juga pekerja swasta.

Avatar
  • August 24, 2023
  • 5 min read
  • 2212 Views
Tidak Bisa Tidak, Kita Harus ‘WFH’ Sekarang

Dalam rapat terbatas pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan lima instruksi, termasuk work from home (WFH) atau bekerja dari rumah. Instruksi itu digulirkan seiring dengan kondisi polusi udara yang makin mengkhawatirkan di Jabodetabek.

Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, kemudian melaksanakan perintah tersebut dengan mengeluarkan kebijakan WFH bagi 50 persen aparatur sipil negara Ibu Kota. WFH berlangsung selama 21 Agustus – 21 Oktober 2023.

 

 

Kebijakan senada juga dikeluarkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Lembaga ini bahkan memberlakukan WFH hingga 75 persen dari total pegawainya.

Pakar ekonomi transportasi dan energi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Alloysius Joko Purwanto, mengemukakan WFH adalah kebijakan yang mendesak. WFH layak menjadi ‘jalan pintas’ untuk memangkas polusi udara di Jakarta.

“Kalau kita mau jalan pintas, ya WFH ini kita memotong di sisi demand permintaan pergerakan. Ini langkah yang efektif untuk dibuat lebih serius, jadi cukup urgent,” ujar Joko yang juga anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), kepada The Conversation.

Baca juga: Polusi di Jabodetabek Memburuk, Kami Harus ‘Bayar’ Udara Bersih

Mengapa WFH Penting dan Mendesak?

Joko memulai argumennya dengan berkaca pada pembatasan pergerakan masyarakat dan kewajiban WFH bagi mayoritas pekerja saat pandemi Covid-19 2020. Dia saat itu mengamati data kualitas udara di Jakarta membaik.

Sebaliknya, begitu pembatasan mengendur, polusi udara berangsur meningkat. Pada 14 – 20 Juni 2022, kualitas udara kota Jakarta secara berturut-turut berada di kategori “tidak sehat” (unhealthy) menurut situs pemantau kualitas udara IQAir.com. Perburukan kualitas ditandai peningkatan konsentrasi partikel debu (PM2.5) yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan, gangguan paru-paru, hingga gangguan kardiovaskular.

Riset dari Adhe Rizky Anugerah dari Universiti Putra Malaysia pada 2021, juga mengungkapkan temuan senada. Studi yang berbasiskan data kualitas udara DKI ini mengungkapkan penurunan material pencemar seperti Nitrogen Oksida atau NOx (7,5 persen), Sulfur Dioksida atau SOx (5,7 persen), dan Karbon Monoksida atau CO (39,9 persen) di seluruh wilayah Ibu Kota–kecuali Jakarta Utara. Ketiganya merupakan polutan utama yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor.

Selain berkaca dari kondisi pandemi COVID, Joko mengatakan WFH penting karena saat ini ketergantungan para pekerja terhadap kendaraan pribadi sangat tinggi.

Berkaca dari survei indikatif Dewan Transportasi Kota Jakarta ke 881 pekerja di Ibu Kota pada Mei lalu (belum dipublikasi), mayoritas responden (41 persen) masih menggunakan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi utama. Ada juga 26 persen responden pengguna taksi atau ojek online yang–berdasarkan tingkat keterisiannya–dapat dianggap sebagai kendaraan pribadi.

“Sisanya hanya kendaraan umum. Ketergantungan kita pada kendaraan pribadi sangat tinggi untuk pergerakan setiap hari,” kata Joko.

Pendapat tersebut juga menjadi simpulan dalam riset berbasiskan simulasi efektivitas WFH terhadap pengurangan polusi yang dilakukan di Barcelona, Spanyol, pada 2021. Riset ini menyatakan, pemberlakuan WFH selama 2 – 4 hari dalam sepekan dapat mengurangi emisi NOx 4 – 10 persen.

Studi yang ditulis Alba Badia (Universitat Autònoma de Barcelona) dan rekan-rekan tersebut juga turut menggarisbawahi efek WFH lainnya seperti menyokong work-life balance, hingga mengurangi tingkat kecelakaan di jalanan.

Baca Juga: Selain di Laut, Udara Jakarta juga Mengandung Mikroplastik

Memberlakukan WFH Massal

Joko mengapresiasi inisiatif pemerintah DKI yang memberlakukan WFH. Namun, karena gentingnya persoalan kualitas udara saat ini, pemerintah seharusnya memperluas kebijakan WFH ke sektor swasta.

Pemerintah dapat merumuskan kebijakan WFH bersama sektor swasta. Tujuannya untuk mengidentifikasi sektor-sektor mana saja yang memungkinkan bagi pegawainya untuk bekerja di rumah.

Identifikasi oleh pemerintah diperlukan karena angka sektor yang dapat menerapkan WFH berbeda-beda di setiap kota, bahkan antarnegara. Misalnya, 50 persen sektor ekonomi di Luxembourg bisa berlangsung dari rumah. Sementara, di Turki, porsinya hanya 21 persen.

Selain itu, pembahasan juga patut dilakukan untuk mengetahui berapa hari dalam sepekan para pekerja dapat WFH.

Joko meyakini kegiatan sejumlah sektor ekonomi dapat berjalan tanpa adanya kewajiban ke kantor. Sebab, mereka sudah melalui dan cukup terbiasa dengan kebijakan pembatasan pergerakan yang berlangsung saat pandemi.

Agar kebijakan ini efektif, pemerintah juga harus memberikan insentif bagi perusahaan yang menerapkan WFH. Pemanis ini dapat diberikan dalam kerangka upaya pengendalian pencemaran udara sekaligus penghematan energi di DKI.

“Insentif bukan ke arah pengguna (pekerja) langsung tapi ke pemberi kerja yang bersangkutan. misalnya dapat kelonggaran pajak daerah,” kata Joko.

Insentif untuk meningkatkan persentase WFH juga sudah diterapkan di beberapa negara. Misalnya, di Irlandia dan Belanda, perusahaan dapat mendapatkan pengurangan pajak jika mereka membolehkan karyawannya bekerja dari rumah. Pengurangan ini dihitung berdasarkan biaya tunjangan WFH ataupun ongkos lainnya yang dikeluarkan perusahaan kepada karyawan.

Baca Juga: Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka

Diiringi Berbagai Kebijakan

Dosen dari Departemen Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan kebijakan WFH massal merupakan langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi polusi udara dari sektor transportasi di Jabodetabek.

Walau begitu, dia menggarisbawahi WFH ini sulit efektif meredam pencemaran jika tidak dibarengi kebijakan lainnya.

Menurut Djoko, sembari menerapkan WFH massal, pemerintah dapat memanfaatkan luangnya jalan-jalan di Jakarta maupun di kota penyangga untuk memperbaiki sarana transportasi umum, perluasan trayek, integrasi antarmoda, dan pengadaan bus. Fokus solusi ini adalah untuk mengakomodasi sekitar 8,8 juta warga Jabodetabek yang belum terhubung dengan simpul transportasi massal.

Selain pembenahan transportasi publik, dia turut menyarankan pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi. Misalnya dengan penerapan kebijakan jalan berbayar, ataupun aturan 4-in-1 di sejumlah ruas jalan utama.

Harapannya, ketergantungan pekerja Jabodetabek terhadap kendaraan pribadi–khususnya sepeda motor–dapat berkurang sehingga mereka lebih memilih angkutan publik untuk bekerja.

“Solusi yang dilakukan haruslah mengatasi masalah bukan cuma polusi udara tapi kecelakaan, kemacetan, bahkan inflasi,” kata Djoko yang juga Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).

Robby Irfany Maqoma adalah editor lingkungan di The Conversation.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Robby Irfany Maqoma