Culture Screen Raves

Review ‘Women Talking’: Ketika Suara Korban Kekerasan Seksual Didengarkan

Tanpa ada satu pun adegan kekerasan seksual eksplisit, film ‘Women Talking’ menekankan pentingnya mendengar suara korban.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 8 min read
  • 1685 Views
Review ‘Women Talking’: Ketika Suara Korban Kekerasan Seksual Didengarkan

Peringatan: Spoiler dan Kekerasan Seksual!

Sarah Polley, sineas asal Kanada tak menyangka film garapannya Women Talking (2022) berhasil menyabet piala Best Adapted Screenplay pada Oscar 2023. Women Talking mengungguli film-film bergengsi garapan sineas laki-laki, seperti Glass Onion: A Knives Out Mystery, Living, Top Gun: Maverick, bahkan All Quiet on the Western, film yang ia jagokan akan menang dalam kategori ini melalui wawancaranya bersama CBS.

 

 

Saat menerima penghargaan, Polley bergurau tentang judul filmnya. Menurut dia, sudah banyak orang “kepanasan” karena judul filmnya terkesan intimidatif dan menggurui.   

“Pertama, saya hanya ingin berterima kasih kepada The Academy karena tidak tersinggung dengan kata ‘perempuan’ dan ‘berbicara’ yang diletakkan berdekatan seperti itu. Cheers!” ucap Polly.

Dibintangi Frances McDormand, Claire Foy, Jessie Buckley, dan Rooney Mara, Women Talking berlatar koloni religius ultra konservatif, Mennonite. Latar itu diwarnai dengan kekerasan seksual perempuan selama bertahun-tahun. Di malam hari para perempuan dari rentang usia 4 hingga 65 tahun dibius menggunakan obat penenang sapi, dan diperkosa dalam keadaan tidak sadar oleh anggota laki-laki koloni mereka.

Baca Juga: 8 Drama Korea Detektif yang Seru dan Menegangkan

Sayangnya kekerasan itu tidak serta merta membuat mereka berani berbicara atau menuntut. Dengan ajaran konservatif yang menekankan pada peran gender, perempuan dibentuk untuk percaya, kekerasan seksual terjadi karena ulah iblis, kehendak Tuhan, atau “imajinasi perempuan yang liar”. Jika ada perempuan mulai berani berbicara tentang pengalamannya, mereka dianggap sebagai pembohong. Akibatnya, perempuan mau tak mau harus mau memaafkan pelaku, karena dengan memaafkan pelaku, mereka akan dijamin masuk surga.

Namun, karena muak dengan kekerasan berulang, para perempuan ini kemudian mengadakan pemungutan suara yang ditutup dengan rapat penentuan nasib. Rapat yang nanti akan menentukan arah masa depan perempuan koloni mereka, apakah tetap tinggal dan diam, tetap tinggal dan melawan, atau pergi dari koloni.

Fokus pada Trauma Korban Bukan pada Adegan Pemerkosaan

Kekerasan seksual memang beberapa tahun belakangan jadi isu seksi yang banyak diangkat dalam film juga serial. Menurut The Guardian, ini menyusul gerakan #MeToo, di mana perempuan mulai berani bersuara atas pengalaman pelecehan atau kekerasan seksual.

Film-film Hollywood seperti Bombshell (2016), She Said (2022), Luckiest Girl Alive (2022) juga film-film Asia seperti Holy Spider (2022), dan Kim Ji-young, Born 1982 (2019) jadi buktinya. Sayang, di tengah masifnya gerakan #MeToo, masih ada PR besar yang menunggu para sineas dalam usaha mereka menggambarkan isu kekerasan seksual.

Laura Hudson dalam tulisannya di Wired mengatakan, kendati kekerasan dan pelecehan seksual sudah jadi isu seksi, pelaku industri hiburan masih sering menampilkan adegan kekerasan seksual secara eksplisit atau grafis. Pasalnya, adegan pemerkosaan grafis dapat menimbulkan perasaan yang kuat kepada audiens.

Tak heran, narasi kekerasan perempuan di film atau serial sering kali masuk dalam kategori torture porn atau ‘pornografi penyiksaan’. Ini didefinisikan Şehriban Kaya, profesor dari Dokuz Eylül University dalam penelitiannya sebagai penggambaran perempuan yang diperkosa dan disiksa secara brutal atas nama hiburan dan komoditas belaka.

Baca Juga: 3 Catatan Penting dari Film Kekerasan Seksual ‘Cyber Hell’

Penggambaran inilah yang berusaha dihindari oleh Sarah Polley sejak awal penggarapan Women Talking. Ia bertekad tak mau menampilkan satu pun adegan-adegan pemerkosaan grafis dalam filmnya. Sebaliknya, ia memfokuskan pada dampak yang dialami oleh para korban pascapemerkosaan.

Bagaimana mereka memproses pengalaman kekerasan dan trauma, bagaimana mereka melewatinya, dan bagaimana mereka keluar dari bahaya pelanggengan kekerasan di tempat mereka tinggal.

“Saya hanya berpikir, jauh lebih penting berbicara tentang momen setelah penyerangan ketika ada kekacauan di otak, dan percakapan yang terjadi di antara para perempuan ini tentang bagaimana mereka bisa pulih dari keadaan tersebut, bukan serangan itu sendiri,” jelasnya dalam pemutaran Women Talking di AFI Fest, TCL Chinese Theatre, Los Angeles, Amerika, 5 November 2022.

Dengan tekad inilah, tak heran Women Talking menjadi film penting tentang kekerasan seksual tanpa satu pun adegan pemerkosaan grafis. Kata pemerkosaan bahkan tak muncul sama sekali dalam dialog, pun kata pemerkosa atau rapist sendiri hanya muncul satu kali dalam dialog salah satu karakternya.

Untuk tetap menekankan isu kekerasan seksual, Polley lebih memilih menggambarkan adegan pascapemerkosaan yang dialami para karakter dewasanya. Dengan scoring yang mencekam, para perempuan dewasa di koloni ini diperlihatkan bangun dalam keadaan baju tidur yang robek-robek. Kepala mereka berdenyut-denyut, berlumuran darah di daerah panggul ke bawah, serta memar di bagian pergelangan tangan dan paha.

Baca Juga: ‘The Woman King’: Angkat Kekerasan Seksual, tapi juga Kaburkan Sejarah

Penggambaran ini kemudian disusul dengan pengambilan gambar zoom in yang fokus pada ekspresi para karakternya. Cara yang sengaja dipilih Polley untuk menunjukan bagaimana respons korban atas kekerasan yang mereka alami berbeda setiap individu.

Ada yang hanya bisa diam termangu dengan tatapan kosong. Ada yang menangis meraung-raung. Ada pula yang berteriak dan marah hingga harus merusak atau melempar sesuatu. Ragam respons dari para korban ini terlihat begitu nyata dan menimbulkan perasaan kuat pada audiensnya. Ini tak lepas dari usaha Polley yang secara khusus merekrut psikolog klinis di lokasi syuting, Dr. Lori Haskell.

Lewat Dr. Lori Haskell yang berspesialisasi dalam trauma setelah kekerasan seksual, Polley ingin menekankan isu pemerkosaan bukanlah hiburan. Ini isu kompleks yang berdampak kuat pada hidup perempuan, sehingga tak etis jika hanya dijadikan bahan jualan.

Karenanya isu pemerkosaan harus selalu dipotret dari kacamata korban dengan penuh kehati-hatian. Ini adalah cara untuk memvalidasi pengalaman korban dengan tidak menambahkan trauma mereka, sekaligus jadi cara untuk menumbuhkan kesadaran dan empati para audiens dengan lebih efektif.

Pentingnya Solidaritas Perempuan dan Sekutu

Perempuan dibentuk untuk tidak memahami tubuh sekaligus aib yang harus ditutupi. Tak heran, setiap perubahan dalam tubuhnya bahkan ketika kekerasan terhadap tubuh mereka terjadi, perempuan dibiasakan untuk tetap bungkam.

Dalam Women Talking, ketidakpahaman perempuan atas tubuhnya sendiri berakar pada ajaran agama dalam koloni mereka yang memandang seksualitas perempuan adalah dosa. Hal yang secara tak sadar mengikis kepercayaan para perempuan untuk berbicara tentang pengalaman kekerasan seksual.

Namun dengan intensitas kekerasan yang meningkat dan korban anak-anak perempuan mulai berjatuhan, para perempuan dewasa di koloni ini mulai menyadari mereka tak bisa selamanya bungkam. Mereka harus bertindak. Menariknya, mereka tak langsung ambil tindakan berbasis kekerasan tapi justru membangun solidaritas antarpenyintas.

Solidaritas antarpenyintas memang jadi napas dari film ini. Dengan latar yang mayoritas ada di sebuah lumbung, Women Talking dalam isu kekerasan seksual yang terpenting adalah dengan mendengarkan, memvalidasi, dan menguatkan para penyintasnya. Para perempuan di dalam koloni ini semuanya punya pengalaman kekerasan yang sama, tetapi respons trauma mereka berbeda.

Mejal (Michelle McLeod) misalnya, adalah penyintas yang beberapa kali harus mengalami trauma episodik yang membuatnya panik dan lumpuh sementara. Sementara, Mariche (Jessie Buckley) adalah penyintas dengan respons trauma meledak-ledak tidak terkendali.

Ketika keduanya mulai terpantik trauma, para perempuan di dalam koloni ini tak serta merta menghakimi. Sebaliknya, mereka justru saling membantu dengan gabungan antara aksi dan validasi emosi atas pengalaman kekerasan yang mereka alami.

Pun, di tengah debat yang panas untuk menentukan arah nasib para perempuan di koloni, mereka tetap berusaha menghormati pandangan orang lain. Bahkan jika mulai ada pernyataan yang menyudutkan salah satu pihak, mereka akan langsung meminta maaf dengan tulus tanpa gengsi. Ini dilakukan agar semua perempuan merasa aman dan tak ada yang dieksklusi. Ditinggal sendiri dalam melawan traumanya dan disalahkan atas pengalaman kekerasan yang menimpanya.

Penekanan terhadap solidaritas antarpenyintas membuat Women Talking jadi semacam angin segar. Pasalnya, walau isu kekerasan seksual sudah jadi bahan jualan panas bagi para sineas, solidaritas masih jarang sekali diangkat. Kebanyakan sineas memilih untuk membuat isu kekerasan jadi aksi pembalasan dendam para penyintas, dikenal sebagai trope rape-revenge atau sebatas pengungkapan kasus oleh pihak ketiga berbasis kisah nyata.

Formula tak biasa dalam Women Talking juga terlihat dari bagaimana Polley menekankan pentingnya peranan sekutu dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam film ini, audiens dikenalkan dengan karakter Ben (Whishaw August), satu-satunya laki-laki dalam koloni yang dipercaya oleh para perempuan. Berbeda dengan laki-laki dalam koloni ultra konservatif yang memandang perempuan sebagai objek, Ben memandang perempuan punya kapasitas untuk berpikir yang sama dengan laki-laki.

Dalam rapat penentu nasib koloni, Ben menahan dirinya untuk berbicara. Ia lebih banyak membantu mencatat tiap perkataan yang diungkapkan para perempuan dan memberikan saran jika diperlukan. Ia juga tak pernah satu kali pun berusaha menyudutkan atau menghakimi segala opini dan keputusan yang diambil oleh para perempuan penyintas.

Ben adalah sekutu yang sempurna. Ia tahu, tak punya pengalaman diskriminasi dan kekerasan yang sama dengan perempuan, sehingga ia berusaha membantu tanpa mencuri spotlight dari para perempuan, yang suara dan pengalamannya butuh didengar dan divalidasi.

Ben juga sadar privilesenya dalam koloni sebagai lelaki. Lewat privelese itu, ia menawarkan bantuan untuk tetap tinggal dan mendidik para anak-anak laki-laki dalam koloni agar bisa lebih menghormati perempuan sebagai manusia yang setara. Pun, memberikan pemahaman kepada para laki-laki dewasa lain dalam koloni mereka tentang alasan kenapa para perempuan memutuskan untuk tak bertahan.

Eksistensi Ben adalah pengingat, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adalah isu sistemik. Perempuan sendiri tidak cukup kuat melawan sistem yang langgeng ratusan tahun ini. Sehingga kehadiran sekutu menjadi penting. Sekutu adalah penguat gerakan dalam melawan ketidakadilan. Mereka menawarkan beberapa suara yang paling efektif dan kuat bagi mereka yang kurang terwakili dan tertindas.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *