Culture Screen Raves

‘Glass Onion’: Sekuel yang Biasa Saja dari ‘Knives Out’

Tampil lebih megah dan bertabur aktor papan atas, tak menjamin Glass Onion jadi sekuel yang lebih baik dari film pertamanya.

Avatar
  • January 10, 2023
  • 6 min read
  • 1470 Views
‘Glass Onion’: Sekuel yang Biasa Saja dari ‘Knives Out’

Peringatan: Major Spoiler!

Pada November 2019, papa pulang dengan wajah sumringah. Dia bilang telah menonton Knives Out. Itu adalah film besutan Rian Johnson yang punya vibes dan alur deduksi mirip dengan kisah detektif klasik ala Agatha Christie.

 

 

Mendengar kata Agatha Christie, membuatku tertarik. Maklum, aku memang sangat terobsesi dengan perempuan yang dijuluki Queen of Crimes itu. Tanpa pikir panjang, aku ikut menonton film Knives Out.

Ternyata papa benar. Film ini layaknya tribut dari kisah-kisah misteri tulisan Agatha Christie. Diawali dengan terbunuhnya Harlan Thrombey (Christopher Plummer), disusul dengan kedatangan detektif Benoit Blanc (Daniel Craig) yang mencari petunjuk, seraya mendalami motif setiap karakter. Kemudian diakhiri oleh pengungkapan identitas pembunuh dalam satu helaan napas.

Baca Juga:8 Drama Korea Detektif yang Seru dan Menegangkan

Tak hanya alur deduksinya yang mirip, sosok Blanc mengingatkanku pada Hercule Poirot. Detektif Belgia yang jadi protagonis utama dalam mayoritas novel-novel Agatha Christie. Dengan kemiripan inilah, Knives Out langsung jadi salah satu film favoritku, bahkan menggeser film Sherlock Holmes (2009) yang dibintangi Robert Downey Jr.

Tak heran, ketika Glass Onion, sequel dari Knives Out diumumkan akan rilis pada September 2022, aku jadi tak sabar mau menontonnya. Aku berharap sekuel ini bisa lebih menyenangkan dan punya plot apik. Sayang, Glass Onion ternyata cenderung biasa saja dibandingkan film pertamanya. Ya, walau ada satu dua hal yang tetap aku suka.

Zero Love Interest yang Masih Jadi Kekuatan Narasi

Satu hal yang sangat aku suka dari Knives Out dan Glass Onion adalah, keduanya tak pernah menjadikan karakter perempuan sandingan protagonis utama sebagai eye candy–menarik secara visual (seringkali diseksualisasi) dan jadi tempelan.

Baik Marta Cabrera (Ana de Armas) dan Andi Brand (Janelle Monáe) punya peranan penting dalam cerita. Keduanya adalah orang yang dekat dengan korban dan mengantongi motif pembunuhan terhadap beberapa orang yang ia anggap dekat dengan korban. Tanpa mereka, cerita di kedua film ini tak mungkin bisa berjalan dan pengungkapan kasus pembunuhan tak mungkin bisa dipecahkan.

Kehadiran penting keduanya juga diperkuat dengan keputusan sutradara Rian Johnson dan penulis naskah untuk menghadirkan Blanc sebagai seorang gay. Happily married with his husband, Philip. Keputusan ini bisa dibilang sangat tepat. Pasalnya, Jocelyn Nichole Murphy, akademisi dari Universitas Arkansas dalam penelitiannya terhadap representasi perempuan di film mengungkapkan, sebagian besar karakter perempuan dalam film diidentifikasi oleh hubungannya dengan laki-laki atau anak-anak.

Dalam hubungannya dengan laki-laki, karakter perempuan dihadirkan karena motivasi yang mereka punya. Mereka hadir dan jadi menarik justru karena love interest atau bahkan sexual interest yang mereka miliki dengan karakter laki-laki yang ada. Kita bisa melihatnya lewat Bond Girls di franchise film James Bond, para perempuan di Mission Impossible, Elizabeth di Pirates of the Caribbean, dan Trinity di The Matrix.

Cara ini menekankan dua hal. Pertama, hubungan heteroseksual adalah hubungan “normal” yang memang seharusnya dikejar oleh karakter laki-laki. Kedua, eksistensi perempuan tak pernah bisa didefinisikan secara utuh tanpa kehadiran laki-laki.

Baca Juga: Review ‘Enola Holmes 2’, Film Manis Paling Feminis Tahun Ini

Karena itu, orientasi seksual yang dimiliki Blanc berhasil mematahkan formula klasik yang kental dengan male gaze. Dengannya, kedua film ini berhasil memusatkan narasi pada Marta dan Andi, tanpa mengurangi motivasi atau karakteristik unik mereka. Keduanya justru hadir sebagai partner “kerja” Blanc, layaknya Dr. Watson dan Sherlock Holmes.  

Sub-plot yang Malas dan Karakter Perempuan Tempelan

Dibandingkan film pertamanya, Glass Onion jelas merupakan film comeback Rian Johanson yang didesain lebih megah bak opera besar. Baik secara premis, plot yang kental dengan satire “Eat the rich”, atau dengan jajaran pemerannya. Sayangnya, kemegahan ini tidak dibarengi dengan pemilihan sub-plot yang kuat. Satu hal yang sangat menggangguku selama menonton Glass Onion terletak pada pilihan Johnson dalam mengungkapkan kemungkinan motif pembunuhan Andi lewat saudara kembarnya, Helen Brand.

Aku paham mungkin bagi sebagian orang ini adalah plot twist yang tak terduga. Namun, buatku yang merupakan penggemar berat cerita misteri, hal ini tak masuk akal dan cenderung malas. Bagaimana bisa pengungkapan kematian seorang tokoh sentral bisa diatasi lewat penyamaran saja? Penyamaran yang seharusnya bisa langsung terungkap mengingat Andi cukup lama dekat dengan mantan teman-temannya sebelum dikhianati oleh mereka.

Bahkan ketika ada kecurigaan yang muncul dari Claire (Kathryn Hahn), itu mentok pada asumsi tanpa ada tindakan berarti. Aku seperti melihat sinetron dengan adegan bisik-bisik tetangga. Dengan pemilihan sub-plot ini, tak heran Glass Onion mengambil jalan pintas dalam mengungkap kematian Andi, yaitu lewat penemuan jurnal pribadi.

Dalam film ini diceritakan, Andi rajin menulis jurnal dan lewat penemuan jurnal ini, Helen akhirnya menemukan titik terang. Siapa saja yang mungkin membunuh saudara kembarnya.

Namun di sinilah titik anehnya. Jika memang Andi rajin menulis jurnal dan memasukan detail sekecil apapun di dalamnya,kenapa hal penting dan jadi satu-satunya bukti yang mampu menghantarkan dirinya pada kematian, tak ditulis dalam jurnal? Ya, ide briliannya tentang strategi bisnis Alpha justru tuliskan di serbet. Aku ulangi, s-e-r-b-e-t.

Sungguh aku tak habis pikir. Ide Andi terkait Alpha menyangkut IP atau intellectual property. Bisa-bisanya orang yang dikenal strict, well organized, dan pintar seperti Andi bisa sembrono? Andi bahkan enggak kepikiran untuk memindahkan idenya ke format dokumen yang lebih aman. Mengetiknya di komputer, menyimpannya dalam format dokumen digital, dan melakukan enkripsi berlapis misalnya.

Baca Juga:7 Alasan Kenapa Kamu Harus Nonton ‘The Devil Judge’ Sekarang

Pemilihan sub-plot yang malas ini sayangnya diperkeruh dengan keputusan Johanson untuk tidak mengeksplorasi dua karakter perempuannya, Whiskey (Madelyn Cline) dan Peg (Jessica Henwick). Berbeda dengan Miles Bron (Edward Norton) dan teman-temannya, baik Whiskey dan Peg bukan capitalist snob yang mengklaim diri mereka sebagai The Disruptor.

Posisi mereka tidak setara. Keduanya hidup bergantung pada The Disruptor dan rela berbuat apapun untuk mempertahankan stabilitas hidup mereka. Whiskey masih bergantung pada pacar influencer-nya, Duke Cody (Dave Bautista) untuk membangun kariernya sendiri. Peg, si kelas pekerja, masih menggantungkan nasibnya pada mantan model dan pengusaha, Birdie Jay (Kate Hudson).

Posisi yang tak setara in semakin menarik jika kita mengingat percakapan Whiskey bersama Andi. Dalam percakapan itu, Whiskey mengungkapkan alasan utamanya bertahan dengan Duka. Ia sebenarnya hanya memanfaatkan Duke untuk membangun kariernya, self-branding-nya sendiri. Ia bahkan bilang, jika nantinya ia terjun ke politik ia tak terlibat dengan apapun yang berhubungan dengan Duke yang merupakan bagian dari MRA atau Men’s Rights Activist.

Dengan latar sosial dan motivasi yang mereka miliki, baik Whiskey dan Peg sebenarnya punya potensi besar untuk terlibat sebagai central player. Karakter mereka bisa digali lebih dalam dan jadi bagian puzzlerangkaian pembunuhan Duke dan percobaan pembunuhan Helen. Namun, Johnson justru menjadikan mereka sebagai karakter tempelan saja. Karakter yang kalau dihapuskan dalam film pun tak berpengaruh apa-apa karena tak punya kontribusi berarti bagi keseluruhan kepingan misteri.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *