Kasus Selingkuh Selebritas: Cara Patriarki Kontrol Perselingkuhan
Budaya patriarki punya peran besar dalam cara kita memandang kasus perselingkuhan. Misalnya, tentang siapa yang salah dan boleh dirujak massa.
Setelah postingan close friends Instagramnya tersebar di media sosial, nama Arawinda Kirana kembali jadi bulan-bulanan warganet Twitter. Ia kembali dicap “pelakor”, alias perebut laki orang. Kali ini, aktor tersebut dihakimi karena unggahan tersebut diduga ditujukan untuk selingkuhannya, yang adalah laki-laki beristri.
Ini bukan kali pertama warganet meributkan kasus perselingkuhan. Sebelumnya, Nissa Sabyan yang jadi korban. Waktu itu, vokalis grup musik Sabyan Gambus tersebut dikabarkan menjalin relasi romantis dengan Ayus. Ia adalah pemain kibor di grup musiknya, yang sudah menikah sejak 2012 silam.
Respons masyarakat terhadap perselingkuhan yang melibatkan Arawinda dan Nissa merupakan cerminan masyarakat patriarki memandang standar relasi romantis. Mereka tidak menoleransi kehadiran orang ketiga, yang biasa disebut selingkuhan.
Dalam konteks hari ini, selingkuh dikotakkan sebagai bencana, pengkhianatan terbesar yang mungkin diterima seseorang, hingga kesempatan untuk mengatur moral individu lain. Sebagaimana yang tergambar dalam dua kasus di atas.
Selingkuh sendiri adalah konsep yang bisa dibilang nyaris sama tuanya dengan konsep pernikahan—yang sejak tahun 1250 sampai sekarang jadi standar hidup banyak manusia.
Manusia mulai mengenal hubungan monogami sejak 1.000 tahun lalu, meski 75 juta tahun sebelumnya lebih suka hidup menyendiri dan kawin saat ingin saja. Sejarah itu dituliskan Christopher Opie dalam Male infanticide leads to social monogamy in pirates (2013).
Ia menjelaskan, ikatan antar manusia juga dilakukan untuk melindungi anak-anak mereka. Pasalnya, ada ancaman pembunuhan bayi, membuat laki-laki bertahan dengan seorang perempuan, supaya bisa melindungi dari laki-laki lain.
Kontrak sosial ini, yang lalu dikenal sebagai pernikahan, lantas dilanggengkan oleh agama sebagai institusi.
Lewat aturan-aturannya, agama bahkan menentukan mana yang dianggap sah dan hanya boleh dilakukan setelah menikah. Ia juga mengatur siapa yang harus setia dalam hubungan monogami tersebut, dan siapa yang boleh berpoligami. Di Kristen, agama samawi paling besar pengikutnya di dunia, mengkhianati pernikahan atau bercerai bahkan dianggap sebagai dosa besar.
Pemahaman tentang pernikahan yang dijadikan standar hidup ini, akhirnya berpengaruh pula dalam cara kita memandang perselingkuhan. Ada pandangan, bahwa monogami dan menikah adalah satu-satunya jenis relasi yang legal dan wajar. Sehingga, jenis-jenis relasi lain di luar itu dianggap salah atau menyimpang.
Selingkuh kian diperumit oleh patriarki, yang memandang gender secara timpang. Seringkali, ketika perselingkuhan terjadi, perempuan jadi tumbal dan mendapat efek paling berat. Sementara laki-laki dibebaskan dari sanksi dan kemungkinan tertuduh sebagai perusak pernikahan ataupun relasi pacaran.
Namun, perselingkuhan sebenarnya bukan hanya perkara merusak relasi. Ada aspek lain yang penting digarisbawahi ketika membahas perselingkuhan, tetapi belum banyak mendapat sorotan. Yakni dampak budaya patriarki yang melekat di masyarakat, dan perlu diperhatikan bersama:
Baca Juga: Mempertanyakan Kembali Pelabelan Pelakor
1. Menyalahkan Perempuan
Kita enggak asing dengan pemahaman bahwa laki-laki adalah korban godaan perempuan. Menurut penulis Mary Anne Ferguson dalam bukunya Images of Women in Literature (1973) pandangan ini lekat dengan stereotip perempuan sebagai simpanan dan objek seksual. Akibatnya, mereka yang sebagian besar menanggung sanksi sosial, yakni lewat pengecualian oleh masyarakat atau cancel culture.
Mungkin kamu masih ingat, bagaimana masyarakat nge-cancel Mulan Jameela sewaktu ia ketahuan menjalin hubungan dengan Ahmad Dhani. Kariernya sebagai penyanyi bersama Maia Estianty dalam duo group Ratu, seketika redup dan namanya jarang terdengar lagi.
Sampai sekarang, masyarakat masih memandang Mulan sebagai perempuan jahat, yang merusak rumah tangga teman duetnya sendiri. Bahkan, sejumlah media dan warganet melabelkan Mulan sebagai “pelakor sukses”, karena berhasil merebut kedudukan nyonya di rumah mewah milik Ahmad Dhani.
Mirisnya, ketika sibuk menghujat perempuan yang menjadi selingkuhan, masyarakat lupa bahwa it takes two to tango. Sebuah relasi enggak akan berjalan, kalau kedua pihak nggak sepakat untuk menjalin hubungan. Sementara laki-laki menerima sanksi sosial yang enggak seberapa dibandingkan perempuan.
Contohnya Ahmad Dhani. Ia masih sering tampil di layar kaca, “ngamen” dari panggung ke panggung, bahkan terjun ke politik.
Kalau merujuk pada Sexual Objectification of Women: Advances to Theory and Research (2011), hal itu disebabkan oleh peran gender tradisional yang masih dilanggengkan masyarakat. Para peneliti, Dawn M. Szymanski, dkk. mengatakan, laki-laki cenderung melihat dunia dari sudut pandang seksual. Mereka juga lebih mungkin salah mengira keramahan sebagai rayuan.
Selain menyudutkan perempuan, pandangan itu juga memosisikan mereka sebagai sosok yang bertanggung jawab atas perilaku laki-laki. Sama halnya dengan budaya pemerkosaan, yang masih menyalahkan cara berpakaian perempuan. Padahal, kalau laki-laki menghormati hubungan monogaminya, ia enggak akan terlibat dalam perselingkuhan tersebut.
Sementara ilmuwan dan pakar hubungan Christine Hartman, menjelaskan laki-laki juga luput dari sorotan masyarakat karena citra mereka enggak sebaik perempuan. Hal ini disebabkan oleh pemberitaan media, yang melaporkan laki-laki sebagai mayoritas pelaku kejahatan.
“Ada asumsi kalau laki-laki pada dasarnya itu jahat, sedangkan perempuan lebih baik,” terangnya, dalam wawancara bersama Women’s Health Magazine.
Baca Juga: Selingkuh, Viral, dan Centang Biru: Bekal ‘Influencer’ Dadakan
2. Komentar Buruk di Luar Konteks
Sampai artikel ini ditulis, linimasa Twitter saya masih ramai dengan cuitan warganet yang mencaci Arawinda. Sebagai pengguna media sosial, mungkin mereka merasa berhak mengungkapkan kekesalannya. Namun, sejumlah tweet di luar konteks permasalahan justru mencuri perhatian saya.
Enggak sedikit dari mereka yang mengomentari penampilan fisik Arawinda. Mulai dari warna kulit, bentuk tubuh, hingga membandingkannya dengan kecantikan istri sah Guiddo—laki-laki yang berselingkuh dengan Arawinda.
Ada juga yang mendoakan agar kariernya berakhir, sama seperti Mulan Jameela. Menurut mereka, pemeran utama dalam film Yuni (2021) itu layak untuk di-cancel dari industri perfilman.
Tweets tersebut merupakan cara warganet menumpahkan kekecewaannya pada Arawinda. Sebab, di media sosial, ia membangun citra perempuan yang menyuarakan pentingnya pemberdayaan, serta dukungan terhadap sesama perempuan. Realitasnya justru bertolak belakang. Arawinda menyakiti perempuan lain, dengan terlibat dalam relasi romantis bersama laki-laki yang sudah menikah.
Namun, ungkapan warganet itu adalah contoh penalaran ad hominem, yang digagaskan Richard Whately pada pertengahan abad ke-19. Whately menggunakan istilah ad hominem, sebagai strategi retorika ketika seseorang menyerang orang lain lewat karakter, motif, atau ciri lain secara personal, di luar substansi argumen.
Pada konteks warganet Twitter, mereka menggunakan ad hominem untuk membebankan pembuktian secara tidak adil pada Arawinda. Anggapannya, “serangan” itu ditujukan karena perempuan tersebut layak disalahkan atas perbuatannya. Sementara poin yang disampaikan memiliki premis berbeda.
3. Membandingkan Pasangan Sah dengan Selingkuhan
Ketika kasus perselingkuhan muncul ke publik, warganet cenderung akan membandingkan pasangan sah dengan selingkuhannya.
Misalnya ketika melihat penampilan terkini dari Ririe Fairus, mantan istri Ayus, yang selingkuh dengan Nissa Sabyan. Warganet menilai, Ririe terlihat makin cantik dan seharusnya cukup membuat sang mantan suami menyesali perbuatannya.
Atau pada persoalan rumah tangga Maia Estianty, Ahmad Dhani, dan Mulan Jameela kala itu. Enggak sedikit publik yang berkomentar, Maia lebih berkelas dibandingkan Mulan. Terlebih setelah musisi itu menikah dengan pengusaha Irwan Mussry.
Di balik pujian tersebut, sebenarnya ada perbandingan tersirat yang diutarakan. Warganet melihatnya seperti karma baik yang didapatkan perempuan, setelah menerima perlakuan tidak adil lewat perselingkuhan. Sementara itu bentuk cacian bagi perempuan yang adalah selingkuhan.
Dalam wawancara yang sama dengan Women’s Health Magazine, Hartman menuturkan alasan banyak orang cenderung mencaci pelakor.
“Ketika seorang perempuan melakukan sesuatu yang buruk, perempuan lainnya lebih gampang marah karena mereka menilai perbuatan itu di luar sifat aslinya,” tuturnya.
Hartman menambahkan, perempuan punya semacam pemahaman kalau mereka enggak akan menjalin hubungan dengan laki-laki berpasangan.
4. Modus Laki-laki yang Mengkhianati Pernikahan
Satu lagi yang jarang disorot ketika menyikapi persoalan perselingkuhan, yaitu melihat modus laki-laki sebagai pelaku utama.
Ketika mendengar pengakuan perempuan yang menjadi selingkuhan, sering kali mereka mengatakan tidak mengetahui bahwa laki-laki itu sudah berpasangan. Entah menikah atau berpacaran.
Ada kemungkinan laki-laki tersebut tidak menyatakan di awal hubungan, kalau ia tidak melajang. Permulaannya ia memainkan peran sebagai sosok yang menawarkan kenyamanan pada perempuan—seperti kakak laki-laki, ayah, atau teman dekat. Tujuannya agar perempuan, yang diposisikan sebagai korban, mau mendengar curhatan mereka. Sementara perempuan itu belum tentu berencana menjadi selingkuhan.
Setelah itu, laki-laki akan memperlakukan perempuan dengan sejumlah cara agar mereka tidak punya pilihan untuk meninggalkan. Misalnya dengan memosisikan perempuan sebagai sosok yang dipercaya, untuk menceritakan privasinya.
Salah satunya ditampilkan lewat serial Layangan Putus (2021), ketika Aris (Reza Rahadian) tidak bisa menceraikan Kinan (Putri Marino). Ia sadar pernikahannya tidak hanya meninggalkan istri, melainkan seorang anak.
Di saat bersamaan, Aris juga tidak bisa meninggalkan Lydia (Anya Geraldine). Selain pasangan seksual, perempuan itu juga dipercaya Aris untuk berkeluh-kesah, membuat Lydia enggak bisa meninggalkan.
Jadi, sebelum kembali menyalahkan Arawinda atau public figure lain yang terlibat perselingkuhan, setidaknya kita bisa memahami faktor lain yang punya peran besar. Yaitu budaya patriarki yang masih dilanggengkan di masyarakat, meskipun perbuatan perempuan—atau siapa pun terlepas dari gendernya—sebagai selingkuhan juga enggak patut dibenarkan.