Selingkuh dan Pernikahan, Kacamata Islam tentang ‘Layangan Putus’
Drama ‘Layangan Putus’ dalam kacamata Islam menyorot relasi pernikahan patriarkis yang menempatkan suami dan istri dalam posisi tidak setara.
Serial drama Layangan Putus menyorot kompleksitas hubungan pernikahan dan perselingkuhan lewat dua pemeran utamanya, Kinan (Putri Marino) dan Aris (Reza Rahardian). Adegan Kinan mengkonfrontasi Aris tentang perselingkuhannya dengan Lydia (Anya Geraldine) tidak hanya menjadi potongan video yang viral di media sosial. Namun, bagian krusial untuk cerita drama tersebut.
Dalam adegan legendaris itu, ditunjukkan secara halus tentang manipulasi yang dilakukan Aris ketika menodong Kinan menuduhnya melakukan hal yang tidak benar. Layangan Putus pun melahirkan diskursus tentang relasi suami istri dan pengkhianatan.
Terlepas dari aspek itu, relasi suami istri dalam Layangan Putus juga dapat ditelisik melalui kacamata Islam. Misalnya, ketika Kinan mengetahui Aris berselingkuh dengan Lydia, ia sedang mengandung anak keduanya. Akademisi Tafsir Nur Rofiah mengatakan, Kinan mengalami pengalaman biologis khas perempuan lalu diposisikan sebagai sosok yang bersalah dan dipojokkan ketika anak yang dikandungnya meninggal. Sementara suaminya, dalam dialog tersebut, bertindak seolah-olah sebagai korban.
Baca juga: Bagaimana Islam Menilai ‘Childfree’? Sebuah Penjelasan Lengkap
“Kinan disalahkan karena perempuan diposisikan sebagai sumber fitnah dan kekacauan dalam pernikahan. Selain itu, dia juga mengalami pengalaman sosial perempuan, seperti subordinasi karena suaminya menganggap dia sebagai objek seksual dan mesin reproduksi,” ujarnya dalam diskusi ‘Layangan Putus Perspektif Keadilan Hakiki Bagi Perempuan’ oleh Lingkar Ngajii KGI (Keadilan Gender Islam), (7/1).
Aris tidak mengalami proses khas perempuan yang melelahkan dan sakit tersebut, sehingga selalu dalam kondisi yang baik. Walaupun pengalaman hamil dan hasrat seksual perempuan berbeda-beda, Aris memandang perempuan sebagai objek lalu mencari ‘alat’ lain untuk memuaskan keinginan seksualnya. Selain itu, ajaran Islam juga menganjurkan untuk tidak memberikan atau melipat gandakan sakit yang dialami perempuan berdasarkan pengalaman biologisnya.
“Begitu pula dengan dianggap sebagai mesin reproduksi. Memang tidak begitu kelihatan (dalam Layangan Putus), tetapi saat anak meninggal, istri disalahkan karena tidak mampu menjaga diri dengan baik. Maka, bayi itu mati dan tidak tertolong,” ujar Nur yang juga mendirikan Ngaji KGI tersebut.
Baca juga: Buku Sejarah Melenyapkan Perempuan dalam Islam
Pernikahan dalam Landasan Patriarkis
Relasi pernikahan dalam Layangan Putus yang kompleks dan dibalut pengkhianatan itu juga disorot dalam cerita karakter pendampingnya, Miranda. Ia perempuan karier yang sukses, meski demikian suaminya tidak berada dalam posisi yang setara dengannya secara ekonomi. Miranda pun mencari sosok idaman dari laki-laki lain.
Nur mengatakan, relasi pernikahan yang dimiliki Kinan dan Aris serta Miranda sarat nilai patriarki. Karenanya, pasangan dalam hubungan tersebut hanya berinteraksi sebagai makhluk fisik. Perempuan dilihat sebagai objek seksual, sedangkan laki-laki makhluk ekonomi semata. Dalam sistem patriarki, perempuan seperti Miranda tidak siap untuk maju secara ekonomi dibandingkan suaminya yang juga tidak siap berada dalam posisi lemah.
“Relasi patriarki ini membahayakan, sehingga Islam membangun cara baru suami dan istri sebagai makhluk intelektual dan spiritual,” ujarnya.
Relasi yang menunjukkan kekuasan kelompok dominan atas kelompok rentan tersebut yang ingin diubah Islam dengan misi memanusiakan manusia secara utuh, termasuk perempuan. Karenanya, Islam sebagai sistem terus berproses mengubah sistem zalim menjadi Islami, juga dalam aspek gender yang terus berjalan menuju cita-cita keadilan gender. .
“Islam pembuktian atas iman kepada Allah atau tauhid, berbuat kemaslahatan kepada sesama makhluk-Nya, termasuk kemanusiaan laki-laki dan perempuan juga dalam kapasitasnya sebagai suami dan istri,” kata Nur.
Baca juga: Kodrat Perempuan adalah Jadi Ibu Merupakan Miskonsepsi
Relasi Suami Istri dan Tujuan Menikah
Nur bilang, Islam memiliki misi mewujudkan sistem kehidupan, seperti pernikahan, menjadi anugerah bagi semesta. Tujuan pernikahan pun untuk membawa ketenangan jiwa bagi pasangan yang membawa kemaslahatan bersama, baik dalam lingkup internal maupun eksternal yang mempengaruhi orang lain.
“Karena ini (pernikahan) menjadi sakinah di dunia dan akhirat. Tidak (akan) mendapatan sakinah di akhirat dengan menciptakan neraka (di dunia) bagi hamba yang lain,” ia melanjutkan, “Karenanya, relasi perkawinan dalam Islam bukan kekuasaan atau dominasi.”
Ia menekankan, hal penting dalam relasi suami dan istri dalam masa pernikahan untuk terus tumbuh dan berkembang bersama. Meski demikian, dalam relasi tersebut ada pasangan yang tumbuh sendiri atau keduanya saling menjegal untuk bisa tumbuh. Karenanya, perlu mencari cara menyikapi perubahan tersebut.
Misalnya Aris memiliki pilihan untuk melanjutkan atau menghentikan perselingkuhannya. Demikian pula dengan Lydia yang memiliki pilihan untuk berkata tidak. Semetara Miranda, ketika dia maju secara ekonomi dan suaminya tidak mengalami progres, dia memiliki pilihan apakah berpaling pada laki-laki yang menurutnya setara atau mengajak suaminya untuk maju bersama.
Pilihan tersebut pun diambil sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan peran masing-masing untuk menjadi versi diri terbaik, sehingga bisa bermanfaat bagi orang lain dan dirinya. Akan tetapi, versi terbaik itu dalam praktiknya kadang tidak baik pada perempuan dan kelompok di posisi rentan.
“Prinsipnya apa yang terbaik dan paling kecil mudaratnya bagi keluarga karena kemaslahatan harus mempertimbangkan semua pihak,” kata Nur.
Status Sebagai Hamba Allah
Selain itu, pasangan dalam ikatan pernikahan memiliki status melekat sebagai hamba Allah. Karenanya, tidak dapat menghamba kepada apa pun dan siapa pun, dalam perkawinan, hal itu termasuk libido seks, popularitas, harta, dan kekuasaan. Menyembah hal lain selain Tuhan juga bertentangan dengan konsep tauhid. Dalam hubungan suami istri pun taat bukan pada figur, tapi pada nilai kebaikan bersama, Nur menambahkan.
Dengan demikian, jika dalam pernikahan terjadi sesuatu yang tidak maslahat, Islam mengimbau untuk menolong korban dan mencegah pelaku berperilaku zalim. Karenanya, menggunakan nalar dalam rumah tangga menjadi penting, terutama jika ada ketimpangan relasi dan rentan terjadi manipulasi, layaknya yang dialami Kinan sebelum melawan.
“Bagian paling menarik dalam Layangan Putus, Kinan menggunakan nalar dan bertahan untuk berpikir jernih, siapa yang bersalah dan menolak untuk disalahkan ketika sedang diperlakukan tidak adil,” kata Nur.