Environment Issues Opini

Pendidikan Perubahan Iklim buat Anak-anak, Apa Pentingnya?

Pendidikan perubahan iklim sangat diperlukan untuk membentuk kesadaran dan pemahaman anak sejak dini. Bagaimana melakukannya?

Avatar
  • October 29, 2024
  • 6 min read
  • 520 Views
Pendidikan Perubahan Iklim buat Anak-anak, Apa Pentingnya?

Ketika anak-anak dari dini tak dibekali pendidikan perubahan iklim, besar kemungkinan mereka bisa melakukan kegiatan yang meningkatkan emisi gas rumah kaca. Sebut saja membuang sampah sembarangan, menggunakan barang yang sulit terurai, pemakaian kendaraan berbahan bakar fosil, dan lainnya. Karena itu, edukasi sejak dini sangat diperlukan untuk mencegah dampak berkelanjutan perubahan iklim.

Studi pada 2022 di Cina misalnya mengungkapkan, pendidikan perubahan iklim dapat mendorong kebiasaan remaja melakukan aktivitas yang minim emisi karbon agar seimbang dan ramah lingkungan.

 

 

Selain membentuk kebiasaan ramah lingkungan, dalam banyak kasus, praktik pendidikan perubahan iklim sejak dini berpotensi mendorong kesadaran dan perilaku anak agar terhindar dari paparan penyakit akibat perubahan iklim. Contohnya, pengetahuan soal bahaya demam berdarah (DB)—salah satu penyakit yang kasusnya meningkat akibat perubahan iklim–dapat mendorong anak dan orang tua lebih gencar menerapkan praktik 3M Plus. Praktik ini terdiri dari menguras dan menutup rapat tempat penampungan air, mendaur ulang barang bekas yang dapat menampung air, serta mencegah risiko gigitan nyamuk lewat beragam kegiatan, seperti memakai kelambu dan obat nyamuk saat tidur.

Contoh lain, pengetahuan soal bahaya cuaca panas terhadap kesehatan, membuat anak lebih memilih bermain di dalam rumah dan perbanyak minum air saat suhu sedang tinggi. Begitu pula kesadaran soal bahaya polusi udara bisa mendorong anak-anak menggunakan masker saat berada di luar rumah, sehingga mengurangi risiko terkena gangguan pernapasan.

Meskipun berpotensi besar untuk mencegah penyakit, pendidikan perubahan iklim sayangnya belum masuk kurikulum pendidikan sekolah secara umum di skala global. Padahal, pendidikan perubahan iklim sangat dibutuhkan anak-anak yang menjadi salah satu kelompok paling rentan terdampak penyakit akibat perubahan iklim.

Di Indonesia, pendidikan perubahan iklim baru masuk kurikulum pendidikan nasional hanya kurang dari sepekan sebelum pergantian pemerintahan baru.

Lantas, seberapa besar potensi pendidikan perubahan iklim dalam mencegah penyakit pada anak?

Baca juga: Muslimah yang Menolak Menyerah di Tengah Krisis Iklim

Pentingnya Pendidikan Perubahan Iklim

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), sebelumnya merilis Panduan Pendidikan Perubahan Iklim.

Kepala BSKAP, Anindito Aditomo mengungkapkan, pendidikan perubahan iklim sangat diperlukan untuk membentuk kesadaran dan pemahaman anak sejak dini. Sehingga, mereka dapat berperan aktif merespons perubahan iklim.

Edukasi soal perubahan iklim sejak dini memang menjadi salah satu cara terbaik mengurangi risiko bencana (mitigasi) akibat perubahan iklim di masa depan.

Sebuah studi tahun 2020 yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE mengungkapkan, jika sebanyak 16 persen siswa SMP-SMA di sejumlah negara berpendapatan menengah dan tinggi mempelajari dan menerapkan pendidikan perubahan iklim, maka dunia berpeluang menghindari emisi 19 gigaton karbon dioksida pada 2050.

Baca juga: Kerja Sama Agama dan Gender Membantu Adaptasi Iklim Warga Pantura

Berpotensi Cegah Penyebaran Penyakit

Hingga saat ini, belum ada penelitian yang secara spesifik mengkaji efektivitas pendidikan perubahan iklim dalam mencegah penyakit pada anak. Namun, sejumlah studi melaporkan, pendidikan perubahan iklim bermanfaat mengubah kesadaran dan perilaku anak. Kebiasaan ini pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi risiko anak terkena penyakit akibat perubahan iklim.

Untuk mencegah dampak berkelanjutan tersebut, Panduan Pendidikan Perubahan Iklim menekankan bahwa edukasi perlu dilakukan di semua sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, maupun keluarga.

Sebelum panduan tersebut terbit, sejumlah sekolah telah menerapkan pendidikan perubahan iklim. Salah satunya adalah praktik pendidikan perubahan iklim melalui kegiatan kami sebagai upaya pencegahan penyakit pada anak. Kegiatan ini melibatkan 47 orang santri berusia 11-14 tahun di Yayasan Yatim Bait Al-Qur’a Mulia, Tangerang Selatan.

Dilakukan dalam dua kali pertemuan, kami melaksanakan pendidikan perubahan iklim melalui focus group discussion (FGD)—grup diskusi dengan pembahasan terfokus. Melalui FGD, para santri memperoleh sejumlah informasi soal perubahan iklim, termasuk penyebab dan tanda perubahan iklim, jenis penyakit yang disebabkannya, serta upaya pencegahan penyakit tersebut. Kami juga membekali para santri seputar praktik pemilahan sampah anorganik dan pengolahan sampah organik menjadi kompos.

Setelah memperoleh pendidikan perubahan iklim, kami mengharapkan para santri dapat menjaga kesehatannya sembari memupuk kesadaran dan perilaku lebih ramah lingkungan. Ini termasuk membuat lubang resapan biopori, memilah sampah anorganik, dan mengolah sampah organik menjadi kompos untuk menghindari penumpukan maupun pembakaran sampah yang mencemari udara—sehingga memperburuk perubahan iklim dan memicu masalah pernapasan pada anak.

Baca juga: Jangan Saling Tuding, Gen Z dan Boomers Sama-sama Menderita karena Krisis Iklim

Perlu Libatkan Banyak Pihak

Manfaat pendidikan perubahan iklim mungkin baru bisa dirasakan dalam puluhan tahun mendatang, termasuk dalam mencegah penyebaran penyakit pada anak. Namun, edukasi dan praktiknya harus dimulai sejak dini dari sekarang dengan melibatkan banyak pihak, di antaranya:

1. Keluarga

Pendidikan perubahan iklim bisa diterapkan dari unit terkecil, yaitu keluarga. Contohnya, orang tua bisa mengedukasi anak soal bahaya cuaca panas bagi kesehatan dan membatasi mereka bermain di luar ruangan saat terik.

Anak juga bisa dibiasakan untuk disiplin menggunakan masker saat keluar rumah untuk menghindari risiko terkena gangguan pernapasan akibat polusi.

2. Sekolah

Di lingkungan sekolah, eksekusi praktik pendidikan perubahan iklim perlu disinergikan dengan semua elemen, termasuk komite sekolah, pimpinan satuan pendidikan, pegawai, guru, siswa, penjaga kantin, dan satpam. Tujuannya adalah agar edukasi ini tidak berhenti pada tataran pengetahuan, tetapi benar-benar dipraktikkan dalam keseharian seluruh awak sekolah.

Komite sekolah misalnya, bisa bekerja sama dengan pimpinan satuan pendidikan untuk mendorong pengembangan kebijakan, program, dan fasilitas ramah iklim, seperti perbanyak wastafel untuk mendorong kebiasaan cuci tangan dengan sabun. Ini bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit infeksi lewat makanan akibat perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim pada makanan yang bisa membahayakan kesehatan tersebut bisa disampaikan pula lewat pembelajaran transformatif dan didiskusikan secara terbuka oleh guru dan siswa di kelas.

3. Fasilitas kesehatan

Di fasilitas kesehatan, dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu terus menggalakkan rekomendasi tambahan agar pasien menerapkan aksi iklim untuk mencegah penyebaran penyakit. Gerakan kesehatan ini bisa dipromosikan secara langsung kepada keluarga yang memiliki anak.

Contoh gerakan kesehatan yang dimaksud, seperti penerapan 3M Plus untuk cegah DB dan penggunaan masker untuk cegah bahaya polusi. Seruan aksi iklim ini juga bisa dilakukan lewat poster dan brosur dengan tampilan visual menarik yang bisa dibagikan kepada masyarakat.

Bukti ilmiah soal efektivitas pendidikan perubahan iklim dalam mencegah penyakit pada anak secara langsung mungkin belum ada. Namun, lewat sederet pendidikan perubahan iklim secara menyeluruh yang dilakukan sejak dini, risiko penularan penyakit maupun dampak berkelanjutan perubahan iklim yang akan dirasakan generasi mendatang diharapkan bisa berkurang.

Annisaa Fitrah Umara, M.Kep., Ns.Sp.Kep.M.B, Lecturer, Universitas Muhammadiyah Tangerang; Rully Angraeni Safitri, Dosen, Universitas Muhammadiyah Tangerang, dan SITI LATIPAH, Dosen, Universitas Muhammadiyah Tangerang.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat



#waveforequality


Avatar
About Author

Annisaa Fitrah Umara, dkk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *