Safe Space

Jika Konten Intim Tersebar, Ini yang Bisa Dilakukan

Apa yang bisa dilakukan ketika konten intim disebarkan secara tidak konsensual.

Avatar
  • November 10, 2020
  • 5 min read
  • 2594 Views
Jika Konten Intim Tersebar, Ini yang Bisa Dilakukan

 

Nama artis sekaligus penyanyi Gisel menjadi trending topic di Twitter baru-baru ini, setelah kasus video porno viral yang memperlihatkan seseorang yang diduga mirip dirinya tersebar di media sosial. Ini bukan kali pertama video mirip dirinya tersebut tersebar di dunia maya. Pada Oktober tahun lalu Gisel juga mengalami hal serupa. Ia pun segera menempuh jalur hukum dengan harapan bisa memberi efek jera pada penyebar videonya.

 

 

Tak lama berselang setelah video mirip Gisel mereda, muncul kembali video-video lain yang diduga mirip artis Jessica Iskandar dan selebgram Anya Geraldine, nama keduanya juga menjadi trending di Twitter. Anya Geraldine bergerak cepat dengan langsung melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian, terlihat dari twit yang menunjukkan tangkapan layar percakapan antara dirinya yang sudah melaporkan kasus video mirip dirinya itu ke polisi.

Meski kasus-kasus ini melibatkan selebritas, kita tahu bahwa siapa pun dari kita bisa menjadi korban selanjutnya dari penyebaran konten intim tidak konsensual, atau disebut Non-Consensual Dissemination of Intimate Image.

Komisi Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 mencatat, ada peningkatan signifikan dalam kasus Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) sebesar 300 persen, dari 97 kasus selama 2018 menjadi 281 kasus pada 2019. Dari 281 kasus tersebut, 91 di antaranya merupakan kasus penyebaran konten intim, dan kebanyakan korban melapor kepada lembaga layanan karena tidak tahu harus berbuat apa.

Baca juga: Kasus Video Porno Mirip Gisel dan Sanksi Sosial untuk Perempuan

Nenden S. Arum, relawan SafeNet, lembaga yang mengadvokasi hak digital dan kebebasan berekspresi warga, mengatakan hal pertama yang harus dilakukan saat mengalami penyebaran video tidak konsensual adalah tenangkan diri, dan jangan merasa sendirian karena pasti banyak orang yang mau membantu.

“Sebagai korban pasti akan langsung panik dan merasa kalau hidupnya itu hancur enggak ada harapan. Jadinya penting buat mereka tahu kalau masih banyak orang yang mau bantu,” ujar Nenden kepada Magdalene.

Penanganan penyebaran konten intim non-konsensual tidak memiliki solusi yang tunggal, karena konteks dan situasi yang dihadapi korban berbeda-beda. Namun, secara umum, ada beberapa hal berikut ini yang bisa dilakukan jika menghadapi ancaman penyebaran.

  1. Dokumentasikan dan simpan barang bukti

Jika korban sudah tenang dan sudah bisa berpikir lebih jernih setelah mengetahui videonya tersebar, dokumentasikan barang bukti yang dimiliki, entah itu bukti tangkapan layar maupun tautan video yang tersebar. Penyimpanan barang bukti tersebut untuk memudahkan melacak para pelaku penyebar video.  Jika pelaku melakukan ancaman, rekam dan dokumentasikan bentuk ancaman tersebut.

“Kalau bisa, catatan barang bukti itu dibikin kronologis supaya lebih mudah ketika ingin melapor. Jika sudah kronologis bisa menghindari menceritakan kejadian yang traumatis itu berkali-kali,” ujar Nenden.

Baca juga: Riset: 56 Persen Pelaku KBGO adalah Orang Terdekat

  1. Melakukan pemetaan risiko

Pemetaan risiko penting dilakukan untuk mencari tahu kebutuhan utama dan hal-hal yang bisa diupayakan untuk antisipasi kelanjutan kasus. Menurut Nenden, pemetaan ini bisa dilakukan dengan mendengarkan kebutuhan korban terlebih dahulu, apakah ia ingin videonya di-take down atau diturunkan, pelaku dihukum, atau hanya butuh konseling ke psikolog untuk memulihkan trauma pasca videonya tersebar. Selalu utamakan keinginan korban karena kasus ini sangat erat dengan privasi.

“Kenyataan pahitnya adalah jejak digital itu enggak bisa 100 persen dihilangkan, makanya perlu pemetaan sesuai kebutuhan korban. Kalau korban sudah tahu butuhnya apa, baru kita bisa bantu menghubungi lembaga yang bersangkutan, entah itu pendampingan ke psikolog, pendampingan ke lembaga bantuan hukum, atau lembaga advokasi,” tambah Nenden.

Adapun lembaga-lembaga yang bisa dihubungi untuk pendampingan saat terjadi KBGO dapat dilihat di daftar ini.

  1. Melaporkan ke platform digital

Sekarang ini media-media sosial seperti Intagram, Twitter, Facebook, dan lain sebagainya sudah mempunyai kebijakan sendiri terkait dengan privasi. Kita bisa melaporkan akun pelaku dengan konten-konten yang tersebar di media sosial. Kendati, belum tentu bisa menghentikan penyebaran video, namun cara ini bisa membantu memperlambat penyebaran sambil menunggu ada pendampingan kasus.

“Jangan segan untuk laporkan akun pelaku atau unggahan yang dibuat pelaku di platform digital tempat kekerasannya berlangsung untuk mencegah konten intim tersebar lebih lanjut dan menghindar dari teror pelaku,” ujar Nenden.

Baca juga: Tayang 24/7

  1. Laporkan pelaku

Jika pada akhirnya kita memutuskan untuk memproses pelaku secara hukum, ada tiga bentuk proses hukum yang bisa ditempuh, yaitu mediasi, somasi dan pelaporan resmi kepada kepolisian. Karena pelaporan kepolisian berhubungan dengan pidana sehingga prosesnya tentu akan sangat panjang, belum lagi lembaga kepolisian dikenal sebagai lembaga yang sering kali menyalahkan korban (victim blaming). Di banyak kasus korban bahkan sampai urung melapor karena merasa lembaga kepolisian bukan sebagai lembaga yang aman, oleh sebab itu, menurut Nenden, saat melapor korban harus didampingi.

Selain itu, pasal yang digunakan dalam kasus KBGO juga masih bertumpu pada pasal karet Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Pornografi yang sering kali justru menjebloskan korban ke penjara.

“Kalau mau melapor, ada tiga tahap yang korban harus lalui, pertama pelaporan, terus penyelidikan dan terakhir penyidikan. Itu pun kita harus benar siap secara psikis ya karena memang prosesnya panjang dan melelahkan,” ujar Nenden.

  1. Memutuskan komunikasi dengan pelaku dan lakukan detoksifikasi media sosial

Jika kasusnya disertai dengan ancaman, lebih baik tutup semua jalur komunikasi dengan pelaku untuk menghindari ancaman pelaku yang biasanya dilakukan secara terus menerus dan mengurangi tingkat kecemasan atau kepanikan. Bisa dilakukan dengan memblokir pelaku, melakukan deaktivasi akun digital untuk sementara waktu, atau mengganti/menghapus akun secara permanen.

“Membatasi diri menggunakan media sosial dulu selama prosesnya berjalan. Orang biasanya jahat kalau komentar, jadi mending menjauh untuk sementara. Selain itu kita juga sudah seharusnya sadar nih kalau ada konten yang berisiko tersebar sebaiknya taruh di tempat yang aman, pikirkan keamanan digital,” kata Nenden.



#waveforequality


Avatar
About Author

Siti Parhani

Hani adalah seorang storyteller dan digital marketer. Terlepas dari pekerjaannya, Hani sebetulnya punya love-hate relationship dengan media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *