Ketika membahas tentang
fandom K-pop tanggapan banyak orang sering tidak lepas dari aspek-aspek negatif yang membuat
fandom menjadi toksik. Selain itu, kerap kali
fandom K-Pop ‘dikecilkan’ sebagai kumpulan remaja
perempuan histeris yang kurang kerjaan.
Pemahaman itu sudah sering ditantang karena berakar pada nilai misogini ketika perempuan dianggap berlebihan ketika merespons atas hal yang mereka sukai. Reaksi
fandom yang mayoritas anggotanya perempuan ketika melihat idola kesukaan sejatinya tidak berbeda dengan
fandom lain yang menyukai tim olahraga maupun budaya populer bergenre
sci-fi.
Melekatkan
fandom dengan hal yang buruk-buruk juga sudah terjadi jauh sejak abad ke-17 dulu. Dikutip dari
Inverse, secara umum pemahaman tentang kata
fan (penggemar) maupun
fandom (abreviasi dari
fan kingdom) pun tidak lepas dari kata
fanatic yang pada masa itu terminologinya disederhanakan menjadi orang yang kerasukan setan. Akar dari kata tersebut selalu lekat dengan fundamentalisme keagamaan yang sarat stereotip negatif tentang orang yang delusional. Singkatnya, sejak awal
fandom selalu dipandang sebagai sesuatu yang negatif.
Tidak bisa dimungkiri bahwa
fandom memiliki aspek-aspek buruk, seperti merundung hingga melakukan
doxxing (menyebarkan informasi pribadi) seseorang di dunia maya. Dari sisi paling ekstrem,
fandom K-pop juga memiliki
sasaeng atau penggemar obsesif yang menguntit idola ke mana pun dia pergi.
Namun, jika melihat gambaran
fandom secara menyeluruh dan subjektif, komunitas itu juga menawarkan hal yang positif, seperti menciptakan rasa kebersamaan bagi orang-orang yang tergabung di dalamnya.
Akademisi dari Columbia University, Laurel Steinberg mengatakan, berada dalam sebuah
fandom membantu orang muda untuk saling terhubung dengan orang muda lainnya yang berpikiran terbuka di media sosial. Tidak hanya itu, menjadi bagian dari suatu komunitas mampu memberikan seseorang tujuan di tengah rutinitas sehari-harinya dan membantu menentukan identitasnya.
“Berhubungan dengan orang yang saling berbagi minat bagus untuk kesehatan mental dan emosional karena mendorong untuk menciptakan rasa aman seperti dalam keluarga. Secara umum, juga menyenangkan untuk merencanakan sesuatu dengan orang lain dan memberikan subjek pembicaraan yang tentunya selalu direspons dengan baik,” ujarnya dikutip dari
Teen Vogue.
Senada dengan hal itu, penggemar K-Pop Andini Saras atau Ustadchen juga mengatakan
fandom mampu meningkatkan kreativitas seseorang dalam berkarya dan menciptakan hubungan persahabatan di dunia maya dari orang yang berbeda-beda negara.
“Aku merasa suka K-pop banyak positifnya, salah satunya saya bisa punya banyak teman. Saya menilai ada teman di internet dan akrab sampai sekarang adalah hal yang keren dan baik. Kami bahkan sudah berteman bertahun-tahun dan semua karena kita suka satu grup K-pop yang sama,” ujarnya dalam sesi dalam
Instagram Live, Bisik Kamis
Magdalene “
Kpopers 101: Kenal Lebih dalam Aktivisme fandom” (26/8).
Untuk mengenalkan lebih lanjut tentang sisi baik dalam
fandom, berikut empat hal yang menandakan
fandom K-pop dapat dibilang damai dan positif:
Fandom Ikut Aktvisme Sosial
Fandom dapat digambarkan seperti konsep
yin dan
yang. Artinya, dalam suatu hal tentu ada baik dan buruknya. Sulit rasanya menunjuk satu
fandom sebagai yang paling damai karena
fandom tertentu bisa menjadi ganas. Namun, di sisi lain ada satu hal positif yang dewasa ini kerap diidentikkan dengan
fandom, seperti yang berhubungan dengan K-pop, yaitu kepedulian pada isu sosial.
Baca juga: ‘fandom’ K-Pop, Pekerja Migran Warnai Hubungan Indonesia-Korea Selatan
Tahun lalu, kepedulian penggemar K-pop pada isu sosial dan politik disorot ketika gerakan
Black Lives Matter sedang gencar-gencarnya diberitakan. Ketika aktivisme yang dilakukan di dunia maya sering dicap performatif, penggemar K-pop menggunakannya untuk mengumpul massa dan memboikot aplikasi pihak polisi AS. Dengan gerakan tersebut, media pun melihat sisi
fandom yang sering luput disorot oleh publik umum.
Aktivisme dan gerakan sosial fandom K-pop tidak terjadi belakang ini. Andini menilai perhatian baru banyak fokus di era modern ini karena bantuan media sosial yang ikut mendokumentasikan dan menggaungkan berbagai hal yang dilakukan
fandom.
Dikutip dari artikel
Fan Activism, Cybervigilantism, and Othering Mechanisms in K-Pop, salah satu gerakan aktivisme fandom
fandom tercatat sejak tahun 2008. Saat itu, penggemar dari penyanyi solo Rain di Singapura mengumpulkan donasi untuk Disability Sports Council atas nama idola tersebut.
Penelitinya, Sun Jung dari Asia Research Institute mengatakan, “Aktivisme penggemar merupakan praktik berdasarkan kesadaran dan kepedulian atas kesejahteraan sosial.”
Fandom Damai Tidak Suka Ikut ‘Fanwar’
Fanwar atau perang antara
fandom menjadi semacam hal biasa yang terjadi di dunia maya. Berselancar menggunakan akun
stan Twitter atau akun khusus untuk
fangirling/
fanboying pastinya akan menemukan satu
fandom sedang bertengkar karena hal yang remeh temeh.
Fanwar pun tidak hanya terjadi antara dua
fandom yang berbeda, tapi bisa dalam satu komunitas yang sama akibat kehadiran
akgae (
akseong gaeinpaen).
Akgae merupakan penggemar untuk satu idola saja dalam satu grup dan ada kecenderungan dirinya menghujat anggota lain.
Kebiasaan
fanwar dalam
fandom tentunya menjadi praktik negatif karena alih-alih menciptakan ruang yang aman untuk sesama penggemar, keinginan untuk memenangkan ego dan menjadi paling benar merusak kenyamanan yang sejatinya bisa diciptakan. Memilih untuk tidak mengikuti
fanwar atau tiba-tiba menyerang orang lain pun menjadi semacam pilihan yang bijak karena fokus pada grup kesukaan dan menyenangkan diri dengan konten yang diberikan. Lagi pula, ikut
fanwar bukan cara baik mendukung idola.
Aktivis gender dan penggemar K-Pop Tara Imann mengatakan, mengikuti
fanwar tentu akan menguras energi secara mental dan emosional. Pasalnya, mengikuti
fanwar sering kali tidak ada ujungnya karena semua pihak tidak ada yang ingin kalah.
Baca juga: Tak Cuma ‘Photo Card’: Bagaimana Penggemar K-Pop Terlibat Aktivisme
“Santai saja dalam
fandom karena idola hadir untuk menghibur. Kalau fokus di hal itu saja, maka akan capek sendiri,” ujarnya kepada
Magdalene beberapa waktu lalu.
‘Callout’ Perundungan Sesama Penggemar
Perundungan dalam
fandom kadang menjadi hal yang tidak terhindarkan jika terjadi sebuah
fanwar.
Cyberbullying yang dilakukan pun bisa berujung pada akun yang direstriksi oleh Twitter karena dilaporkan dengan sengaja–walaupun tidak melakukan kesalahan–, meninggalkan media sosial karena mengalami tekanan mental, dan paling parah menjadi korban
doxxing.
Penggemar yang berada di
fandom damai tidak akan ragu melawan perundungan yang terjadi di sekitarnya. Meskipun begitu, ketika ada yang membela untuk menghentikan
bullying, tetap saja perundungan dan
fanwar bisa terjadi
. Karenanya, alih-alih melarang terjadinya
bullying, kadang penggemar memilih untuk ikut menjadi pelaku. Hasilnya,
bullying dan
fanwar karena hal kecil pun menjadi tidak selesai sampai menimbulkan dendam bertahun-tahun.
Melihat situasi tersebut, kesadaran antara sesama penggemar untuk saling
callout atau menunjuk kesalahan untuk menghentikan perundungan menjadi krusial. Hal ini membutuhkan kerja kolektif dari semua
fandom tanpa mempedulikan siapa grup idola kesukaannya. Terlebih lagi jika mengingat mendiang Sulli, mantan anggota f(x) yang harus menghadapi
cyberbullying hanya karena dia perempuan selama dia berkarier di dunia hiburan. Sulli meninggal karena bunuh diri pada 2019.
Selain itu, beberapa idola seperti
BTS juga berkampanye bersama UNICEF untuk menghentikan
bullying di dunia nyata maupun maya. Dengan demikian, tidak ada salahnya untuk mengamini kata idola yang sudah menggaungkan dukungan mereka terhadap kampanye anti-perundungan.
Lawan Komentar Seksis dan Misoginis
Komentar seksis dan misoginis yang dilemparkan kepada idola perempuan sering dilawan oleh penggemar yang mengemban nilai-nilai feminis. Alih-alih ikut terlibat dalam adu mulut di dunia maya soal siapa idola paling hebat, penggemar feminis memilih untuk menyorot
seksisme yang dibalut dalam komentar bernada
slut-shaming.
Industri maupun penggemar K-pop memang memiliki isu terkait bersifat tidak adil kepada perempuan. Sayangnya, penggemar masih sering memilih untuk tenggelam dalam persaingan receh untuk membandingkan siapa idola perempuan yang paling hebat. Atau, mereka mengerdilkan kerja keras idola perempuan ketika berhasil mengukuhkan nama dan jalan mereka sendiri dalam industri hiburan secara global.
Misalnya, grup idola BLACKPINK yang sempat dirundung ketika mengatakan mampu membuka jalan sendiri untuk karier mereka. Penggemarnya pun mendukung argumen tersebut dengan prestasi yang diraih grup idola beranggotakan empat orang itu di ranah musik, seperti mencetak nomor satu di tangga musik Billboard.
Ketika menyorot aktivisme dan melek sosialnya
fandom K-pop, tidak ada salahnya bagi penggemar atau
fandom K-pop paling damai untuk melawan nilai seksis dan misoginis yang memberatkan perempuan di industri yang mencekik mereka.
Fandom Damai Tidak Menguntit dan Menyesakkan Idola
Idola K-pop memiliki masalah dengan
sasaeng yang berlarut-larut selama bertahun-tahun. Idola laki-laki dan perempuan sering dibuat tidak nyaman dan merasa terancam dengan kehadiran mereka.
Beberapa waktu lalu, Nayeon dari grup idola TWICE sempat dikuntit oleh laki-laki asal Jerman bernama Josh. Laki-laki itu mengikuti seluruh agenda Twice, dan dia rela bolak-balik Tokyo-Seoul bahkan mengitari rumah keluarga Nayeon untuk menguntitnya.
Baca juga: Tolak Terlibat ‘Fanwar dan ‘Call Out’ Idola Tidak Membuatmu Jadi ‘Fake Fans’
Anggota paling tua dari grup idola tersebut tentunya merasa ketakutan karena Josh mengancam akan membunuhnya jika ia diam-diam berpacaran dengan orang lain. Penggemarnya, Once, kemudian beramai-ramai melaporkan hal tersebut kepada agensi yang menaungi Nayeon, JYP Entertainment.
Dikabarkan oleh media, Josh sudah kembali ke Jerman, tetapi masih mengirimkan pesan bernada obsesif di media sosialnya kepada Nayeon. Sementara JYP mengatakan akan meningkatkan keamanan untuk idola yang dinaunginya. Melihat situasi ini, kesalahan tidak hanya ada pada
stalker, tapi juga industri K-pop dengan strategi
marketing untuk menciptakan
relasi parasosial akut kepada penggemarnya. Namun, penggemar yang berada di
fandom damai tentunya tidak akan melanggar privasi idola, dapat menciptakan relasi sehat antara dirinya dan idola, serta tahu batasan yang tidak boleh dilanggar.