Semasa kuliah, Sarah, 26, menghabiskan Rp2 juta per bulan untuk kencan. Ia dan pasangan biasanya menonton bioskop, berjalan-jalan ke mal, makan di restoran, atau menonton konser. Situasi berubah sejak ia mulai bekerja. Sarah mulai mempertimbangkan anggaran kencan. Sebab, dananya dialokasikan untuk kebutuhan hidup, terutama sejak merantau ke Bali pada Januari 2024.
Dari gajinya yang berkisar Rp7–10 juta, biaya hidup sehari-hari dan sewa tempat tinggal menjadi pengeluaran terbesar. Sarah menyisihkan 40 persen penghasilan untuk membayar kos, transportasi, dan makan. Sebanyak 30 persen ditabung, sedangkan 20 persen digunakan untuk kebutuhan gaya hidup, termasuk kencan.
“Nge-date termasuk dalam 20 persen, soalnya sekarang makin mikirin pengeluaran. Bahkan buat sehari-hari aja mendingan masak,” kata Sarah kepada Magdalene.
In this economy, Sarah lebih fokus mempersiapkan dana untuk kebutuhan jangka panjang, seperti menikah dan pensiun. Salah satu caranya adalah menyederhanakan kencan.
Hal serupa dilakukan Jericho, 26, pemilik agensi digital marketing di Tangerang Selatan. Ia dan pasangan memilih mengalokasikan biaya kencan untuk tabungan menikah dan operasional kantor. Saat awal berpacaran, mereka menghabiskan lebih dari Rp500 ribu setiap akhir pekan untuk mengunjungi kafe-kafe di Jakarta.
“Mungkin dulu karena (hubungan) masih anget-angetnya ya. Makin ke sini makin mikir, ngeluarin uang segitu untuk nge-date buat apa? Mendingan ditabung,” ujar Jericho.
Sebagai alternatif, mereka lebih sering berkencan di rumah sambil memesan makanan lewat aplikasi ojek online. Sesekali menonton bioskop. Dengan cara ini, pengeluarannya tak sampai Rp200 ribu.
Dengan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi, banyak anak muda memilih kencan sederhana untuk tetap menjaga hubungan dengan pasangan.
Baca Juga: Mengapa Anak Muda Takut Bicara Uang dalam Hubungan
Kencan Sederhana Jadi Pilihan Anak Muda
Kencan sering dikaitkan dengan aktivitas konsumtif: Makan di restoran, menonton bioskop, mengunjungi museum, atau cafe dan bar hopping. Peneliti Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebut tren ini dipengaruhi konten-konten media sosial yang merekomendasikan tempat kencan. Jika dijadikan standar, konten semacam ini bisa membebani, terutama bila tak mampu diikuti.
Faktanya, sebagian orang merogoh kocek cukup dalam untuk berkencan. Di platform X (sebelumnya Twitter), akun @overheardkeuangan sempat membagikan kisah netizen Jakarta soal pengeluaran mereka saat kencan. Ada yang menghabiskan sekitar Rp1 juta untuk makan siang di SCBD, menonton bioskop, dan ngopi. Ada pula yang menghabiskan hingga Rp3 juta untuk makan siang, ngopi, dan minum alkohol.
Saya pun pernah menjadikan kencan ideal dan konsumtif sebagai standar, meskipun biayanya tak mencapai ratusan ribu atau jutaan rupiah. Standar ini sempat membuat saya tidak menikmati kencan, terutama ketika tempat yang dikunjungi tidak sesuai ekspektasi. Salah satunya, kafe tempat saya berkencan sangat kecil dan satu-satunya bangku yang tersisa berada di pinggir jalan, membuat suasana tak nyaman untuk berbincang.
Saat itu saya menggerutu dalam hati, menganggap tempatnya—yang dipilih oleh Bumble date saya—tidak layak. Baru kemudian saya tahu, teman kencan saya sedang berusaha menekan pengeluaran karena kondisi ekonomi. Ia memilih tempat tersebut karena harga minumannya jauh lebih murah dibanding kafe-kafe lain di Jakarta Selatan.
Di saat bersamaan, memang ada pergeseran cara anak muda berkencan. Di media sosial, kita bisa menemukan berbagai rekomendasi kencan ekonomis. Mulai dari tempat nge-date di bawah Rp100 ribu, taman cantik dan gratis untuk piknik, sampai ide pacaran hemat.
Menurut Jaya, fenomena ini mencerminkan masyarakat yang merespons kelambatan ekonomi. Penyebabnya, adalah anak muda yang terpaksa lebih cepat masuk ke bursa kerja, dan overwork demi mencukupi kebutuhan. Namun, mereka juga menghadapi ketidakstabilan ekonomi sehingga terancam PHK.
Kondisi tersebut turut dilatarbelakangi oleh berbagai faktor: Diskriminasi persyaratan usia bagi pelamar kerja, kerja tidak layak, upah rendah, dan ketidakpastian ekonomi. Jaya menilai, ini membuat sebagian anak muda semakin mengesampingkan kencan karena tak termasuk kebutuhan pokok.
Merespons keadaan ini, Jelita, 26, seorang ilustrator mengatakan, “Di kondisi kayak sekarang, ngebayangin nge-date yang mewah aja udah pusing.”
Setiap bulan, ia dan pasangan mengalokasikan dana untuk ke tempat makan all you can. Namun, sering kali uangnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jelita dan pasangan pun enggak lagi memberikan hadiah untuk anniversary, atau ulang tahun seharga ratusan ribu. Dikarenakan kondisi ekonomi, keduanya lebih suka hal-hal sederhana tapi bermakna. Contohnya sisir, kebetulan waktu itu Jelita sedang membutuhkannya.
Baca Juga: Beri Uang Saku ke Pacar Bukan Standar Hubungan Ideal
Selain keuangan, Jelita juga merasa harus memanajemen keinginan. Sebab, saat ini ia dan pasangan sedang menyelesaikan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yang membutuhkan banyak biaya. Bahkan saking mahalnya, Jelita mengatakan kepemilikan rumah terhitung seperti barang mewah, padahal kebutuhan mendasar.
Sarah pun mengalami hal yang sama. Ia merasakan biaya hidup semakin mahal sehingga anniversary dan ulang tahun, dirayakan dengan sederhana. Misalnya pergi ke Kintamani untuk ngopi, atau mencari tempat makan hidden gem dengan harga terjangkau.
“Itu juga tetap di-budgetin, sekitar Rp250 ribu sampai Rp300 ribu untuk berdua,” cerita Sarah.
Untungnya, Jelita maupun Sarah tak mengacuhkan konten nge-date di media sosial. Keduanya bersikap realistis, menyesuaikan dengan kondisi finansial dan berbagai tujuan yang ingin dicapai dengan pasangan mereka.
Kencan ekonomis ini juga terjadi di Amerika Serikat. Dalam laporannya, BMO Financial Group—salah satu bank terbesar di Amerika Utara—menyebutkan, rata-rata orang AS menghabiskan 168 dolar AS per kencan, atau sekitar Rp2,7 juta. Biaya ini meningkat jika dibandingkan pada 2007, sebelum terjadi inflasi. Waktu itu, makan malam dan nonton bioskop dibanderol 73 dolar AS, sekitar Rp1 juta.
Sebenarnya, di sisi lain kencan murah merupakan cara melawan konsumerisme. Yakni dengan memprioritaskan kebutuhan ketimbang keinginan, dan secara sadar menentukan keputusan pembelian—atau mindful consumption. Kalau kamu juga tertarik melakukannya, ada beberapa opsi yang bisa dicoba.
Baca Juga: Jawaban Saya untuk Menag yang Bilang Anak Muda Tak Nikah karena Kumpul Kebo
Apa Saja Alternatifnya?
Sejak tinggal di Bali, Sarah punya beberapa alternatif kencan murah. Pertama, pacaran di pantai. Ia dan pasangan hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp60 ribu untuk jajan gorengan keliling, dua botol bir, dan bayar parkir motor.
Kedua, double atau triple date bersama teman-teman. Biasanya, mereka nongkrong di kafe. Namun, Sarah cukup selektif dalam memilih tempat. Ia mempertimbangkan kafe yang memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena baginya 11 persen cukup besar dan uangnya bisa dialokasikan ke keperluan lain.
Ketiga, nonton di bioskop seharga Rp25 ribu. Sarah dan pasangan rela menempuh jarak jauh, supaya bisa menonton film dengan harga lebih murah.
Keempat, jalan-jalan ke mal untuk window shopping tanpa jajan. Sarah dan pasangan menghindari makan di mal karena cukup mahal—setidaknya Rp200 ribu untuk dua orang. Mereka memilih pergi ke warung makan dan mengeluarkan Rp100 ribu, kemudian dilanjutkan dengan ngopi.
Kelima, kencan di kosan. Opsi ini enggak memakan biaya, karena sering kali Sarah dan pasangan memasak.
Semakin dewasa, Sarah dan pasangan memahami, ngobrol dengan satu sama lain bisa dilakukan di mana saja. Mereka hanya perlu mencari suasana, dan enggak perlu menghabiskan banyak biaya. Namun, ada alasan lain di balik kencan murah yang dilakukan.
“Memang cara-cara ini dilakukan karena restoran dan kafe mahal, tapi itu cuma bagian kecil,” ucap Sarah. “Sebenarnya lebih mikirin masa depan, karena mau beli rumah dan harganya mahal. Jadi dimulai dengan ngirit.”
Sementara Jelita, memilih kencan murah dengan nonton film di layanan streaming ketimbang di bioskop. Padahal, saat tinggal di luar Jabodetabek, ia dan pasangan bisa menonton bioskop beberapa kali dalam sebulan.
“Dulu kan harga tiket bioskop murah, sejak pindah ke Jabodetabek jarang nonton karena tiketnya mahal,” ujar Jelita.
Dari berbagai yang dilakukan, tinggal bareng pasangan juga termasuk menekan biaya hidup maupun kencan. Jelita misalnya, bisa diskusi dan deep talk dengan pasangan, membagi ongkos taksi online ketika bepergian, dan saling membantu membiayai transisi sebagai pasangan transgender.
Sedangkan Sarah dan pasangan, bisa membagi biaya sewa tempat tinggal dan belanja bahan makanan. Mereka membiasakan masak untuk bekal ke kantor.
Melihat tinggal secara komunal ini, Jaya sepakat soal menghemat biaya. Namun, ia mengatakan perlunya sadar soal risiko konflik finansial, apabila terjadi ketimpangan kontribusi ekonomi dan hubungan berakhir karena konflik. Yang dikhawatirkan, adalah perkara aset yang sulit dibagi.
















