Awkarin dan Balada Pamer Pacar di Era Medsos
Yang terjadi pada Awkarin belakangan mengingatkan kita untuk membatasi ‘sharing’ seputar hubungan romantis di media sosial.
Banyak warganet di linimasa Twitter sedang membicarakan Awkarin, ketika saya membuka aplikasi tersebut akhir pekan lalu. Salah satu twit milik influencer itu muncul saat saya mengklik namanya yang kebetulan jadi trending topic.
“Ngga usah ngepost kalo dilamar, bisa jadi itu cuma prank,” tulis Karin dalam salah satu poin, merespons sebuah tweet tentang cara menghindari sakit hati yang dihapus kemudian.
Dari twit ini, warganet berasumsi, hubungannya dengan Gangga Kusuma kandas setelah bertunangan pada November 2021. Kala itu, ia dilamar kekasih tepat di hari ulang tahunnya ke-24. Bahkan momen itu dipublikasikan Karin dalam unggahan foto, menunjukkan cincin melingkar di jari manisnya, lengkap dengan caption, “Yes, she’s finally off the market.”
Baca Juga: Jangan Menikah Karena Lihat Konten ‘Uwu’ di Media Sosial
Tentu hari bahagianya itu menuai respons positif warganet, mengingat beberapa kisah cintanya sebelum bersama penyanyi Blue Jeans ini kerap menuai kontroversi. Diketahui, sejak kemunculannya di dunia maya pada 2016, Karin “melibatkan” pengikutnya di media sosial dalam hubungan romantisnya, lewat berbagai konten yang diunggah.
Misalnya sewaktu berhubungan dengan Gaga Muhammad, pemilik nama Karin Novilda itu mempublikasikan kebersamaan mereka di Instagram. Bahkan membuat video tengah menangisi mantan pacarnya setelah hubungannya berakhir.
Begitu juga ketika menjalin relasi dengan almarhum Oka Mahendra Putra, CEO Takis Entertainment yang membantu kariernya di industri musik. Hingga Sabian Tama, yang juga membagikan kebersamaannya lewat sejumlah unggahan di Instagram.
Faktanya, Karin bukan satu-satunya figur publik, ataupun pengguna media sosial, yang suka pamer soal relasinya dengan pasangan. Berdasarkan laporan Pew Research terhadap dewasa di AS pada 2020, 81 persen warganet melihat orang lain mengunggah tentang hubungan mereka.
Artinya, tindakan ini lumrah dilakukan, bahkan kita juga sering melihatnya—atau ikut melakukan, dalam kehidupan sehari-hari. Tak jarang unggahan itu diabadikan untuk merayakan hari jadi, mengenang momen saat berkencan, appreciation post sebagai penghargaan terhadap pasangan, hingga dianggap relationship goals.
Pilihan tersebut juga tidak berarti buruk. Menurut peneliti asal AS Juwon Lee, dkk. dalam riset Effects of self- and partner’s online disclosure on relationship intimacy and satisfaction (2019), kebiasaan itu mampu meningkatkan keintiman dan kepuasan dalam hubungan. Karena dianggap sebagai bentuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman, cara ini termasuk upaya memelihara hubungan dengan orang-orang di sekitar.
Yang perlu diantisipasi adalah proses penyembuhan patah hati setelah relasi berakhir. Pasalnya, algoritme dan fitur media sosial dapat menghambat penyembuhan yang umumnya memakan waktu tiga bulan.
Misalnya Memories dan On this Day pada Facebook dan Instagram, yang kerap mengingatkan momen bersama pasangan. Ditambah orang-orang di sekitar yang ikut mempertanyakan hubungan tersebut, entah atas dasar simpati maupun sekadar menjawab rasa penasaran.
Walaupun hal tersebut adalah risiko yang diketahui, sebelum membagikan kehidupan asmara ke media sosial, apa yang membuat sebagian orang memilih melakukannya?
Baca Juga: Awas, Obral Maaf pada Pacar Bisa Rusak Hubungan
Bentuk Klaim dan Mencerminkan Attachment Styles
Ibarat menghindari “ancaman musuh”, pamer hubungan romantis di media sosial diyakini sebagai cara untuk mengklaim dan melindungi pasangan, menandakan mereka memiliki satu sama lain. Ataupun sekadar menginformasikan orang-orang di sekitar, seputar perkembangan hidup.
Tak dimungkiri, platform tersebut merupakan ruang terbuka yang memungkinkan siapa pun saling berinteraksi, sehingga memungkinkan kehadiran orang ketiga. Karenanya, memasang foto profil bersama pacar atau mengabadikan momen berdua, adalah pernyataan bahwa mereka tidak lagi single.
Selain itu juga memperkuat kedekatan dengan pasangan, karena interaksi yang dibangun melalui fitur media sosial dapat beragam. Tak hanya bertukar pesan, mereka dapat saling mengirimkan postingan lain sebagai hiburan, atau memanfaatkan filter untuk bersenang-senang.
Sayangnya, kebiasaan posting yang menunjukkan kepribadian di media sosial, dapat mencerminkan insecurity dalam hubungan. Hal ini dipengaruhi attachment styles, atau gaya kelekatan setiap orang.
Umumnya, mereka yang memiliki anxious attachment—merasa cemas dan insecure ketika menjalin hubungan, cenderung khawatir akan relasinya. Alhasil, mereka membutuhkan lebih banyak kepastian dari pasangannya dan ingin lebih terlihat di publik.
Sedangkan mereka yang memiliki avoidant attachment—menghindari keintiman dalam hubungan, tidak terlalu berminat untuk mengekspos hubungannya di media sosial.
Contoh nyatanya dapat dilihat saat pasangan dengan dua gaya kelekatan itu pergi berkencan. Ketika sosok avoidant memilih menikmati momen dengan memperhatikan sekelilingnya atau cukup be present, sosok anxious sibuk mengabadikannya dengan berfoto atau merekam video, kemudian dibagikan di media sosial.
Menurut Jennifer Chappell Marsh, seorang terapis pernikahan dan keluarga asal San Diego, AS, hal tersebut dilakukan untuk mencari perhatian dari sumber lain, ketika tidak mendapatkannya dari pasangan.
Misalnya dalam bentuk likes atau komentar positif dari followers di Instagram. Pun upaya ini menunjukkan, mereka memiliki sebuah bukti atas status berpasangannya. Ujung-ujungnya, pasangan yang avoidant terganggu akan perilaku oversharing, dan merasa quality time mereka tidak dihargai.
Baca Juga: Tindakan Romantis Tak Melulu Seperti di Film, Saatnya Definisi Ulang
Perlukah Jaga Privasi Hubungan?
Dalam wawancara bersama Brides, pakar komunikasi Leslie Shore mengatakan, “Jika enggan kontenmu dilihat lebih dari orang terdekat, kemungkinan artinya kamu tidak perlu mempublikasikannya di media sosial.”
Sebenarnya memang tidak ada urgensi membawa ranah privat ke publik, dan pasangan juga belum tentu menginginkan hal yang sama. Lagi pula, postingan di media sosial bukan representasi hubungan seutuhnya, karena hanya berupa potongan yang ingin dibagikan ke publik.
Meskipun dinyatakan mampu mempererat hubungan, terlalu banyak mengabadikan momen dengan gawai juga dapat mengalihkan perhatian pada dunia maya, dibandingkan membangun komunikasi dengan pasangan. Toh ada banyak cara lain untuk meningkatkan intensitas relasi.
Pun perlu diketahui, ada beberapa manfaat menjaga hubungan dari media sosial. Seperti menikmati momen bersama pasangan, mengurangi tekanan, meningkatkan empati dan kasih sayang, serta tidak menimbulkan keinginan untuk membandingkan relasimu dengan pasangan lain.
Kenyataannya, banyak aspek yang hanya perlu diketahui satu sama lain. Sedangkan jika semakin banyak orang yang mengetahui, semakin membuka celah prasangka dan penilaian yang diberikan.
Memang enggak ada yang melarang dan sebagian orang merasa sharing di media sosial menyenangkan, tetapi sikap selektif dan dilakukan secara sadar tetap perlu. Terlebih informasi yang dibagikan akan meninggalkan jejak digital yang tidak akan hilang.
Asalkan batasan sharing dikomunikasikan, pada akhirnya masalah pamer hubungan adalah milik mereka yang bersangkutan.