Berita Vanessa: Diawali Firasat, Diakhiri ‘Bagaimana Perasaan Kamu’
Wartawan tak empatik memberitakan kecelakaan Vanessa Angel. Sementara, pembaca menangkap umpan wartawan sebagai kesenangan.
Jurnalisme bencana rasa hiburan. Apapun jenis bencana, dari kecelakaan maut hingga banjir bandang, cara wartawan mengemasnya nyaris serupa. Diawali dari menggali firasat para korban bencana atau keluarga yang ditinggalkan, dilanjut dengan rupa-rupa teori cocoklogi, mewawancarai orang yang tak terkait dengan peristiwa seperti ahli supranatural, kenalan jauh, artis, lalu diakhiri dengan bertanya bagaimana perasaan kamu ditinggal pergi orang terkasih? Hai Jamet Kudasai, kamu aja ditinggal pergi mantan bisa menangis sesenggukan sampai berbulan-bulan, maka menempatkan momen putus cinta apple to apple dengan kehilangan akibat bencana jadi tak relevan.
Setidaknya itu yang muncul ketika “bencana” yang menimpa pesohor Vanessa terjadi belakangan. Alih-alih memberitakan peristiwa kecelakaan itu secara proporsional, para wartawan justru latah mengomodifikasi duka dan air mata sebagai tambang cuan. Dalam beberapa liputan TV misalnya, saya menyaksikan langsung bagaimana wartawan sengaja menyorot wajah keluarga almarhum secara close up, tak peduli berapa kali mereka bilang menginginkan privasi. Media daring lebih nakal lagi. Selain masih ada yang latah menyebarkan foto detail kecelakaan, termasuk jenazah Vanessa dan suami, ada pula media yang membuat tajuk “Firasat Keluarga…”, “Firasat Teman…”, “Firasat Vanessa Sebelum Meninggal…”.
Jika drama ini dirasa kurang seru, wartawan akan mengeluarkan pertanyaan pamungkas: Bagaimana perasaan kamu? Sudah barang tentu, pertanyaan tersebut berpotensi membuat kesedihan korban atau keluarga makin menjadi-jadi. Masa bodoh dengan trauma yang dirasakan mereka, sebab segala yang sensasional hampir selalu berhasil dikonversi sebagai klik dan keuntungan.
Yang bikin saya makin mengelus dada, wartawan warga dan pembuat konten pun sama latahnya seperti wartawan media massa. Saat kecelakaan Vanessa tengah jadi pembicaraan, pencipta konten supranatural Ki Soleh Pet sengaja memproduksi video yang digadang-gadang mampu memanggil arwah Vanessa Angel. Durasinya 13 menit, judulnya bombastis “Nekat! Panggil Arwah Vanessa Angel di Tempat Terjadinya Kecelakaan Tol Jombang”. Cuplikan video itu selain disebarkan di Youtube juga diunggah di platform TikTok beberapa waktu lalu.
Model pemberitaan semacam ini sebenarnya bukan kali pertama. Sejak tsunami Aceh 2004, gempa bumi Jogja 2006, kecelakaan berseri-seri pesawat Indonesia, wartawan kita kerap menggunakan rumus yang sama buruknya. Pertanyaannya, kenapa “bencana dalam jurnalisme” ini tak kunjung hilang?
Baca juga: Percuma Hujat Ridho Permana, Wartawan ‘Online’ Memang Hidup dari Klik
Psikologi Audiens
Wartawan, terutama yang napasnya sangat bergantung dari klik, kerap kali melakukan apapun agar beritanya dikonsumsi oleh audiens. Celakanya, salah satu kunci agar dilirik oleh audiens adalah berita harus memuat drama.
Pun, dalam liputan bencana, media massa cenderung membebek dengan pola itu. Alih-alih mendudukkan peristiwa secara berimbang, kita disuguhi visual seputar isak tangis, kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan. Bagi korban atau keluarga, bencana ini adalah sebuah trauma. Namun, buat audiens, peristiwa bencana ibarat kita tengah menonton drama.
Sebagaimana lazimnya menonton drama jenis lainnya, secara psikologis, penonton bisa saja merasakan emosi berupa empati, kepedulian, takut, kasihan saat mengonsumsi berita itu. Jalaluddin Rakhmat dalam Psikologi Komunikasi (2000) menyebutkan, untuk merangsang emosi audiens, media cuma harus memainkan sejumlah faktor, yakni suasana emosional (mood), intensitas atau terpaan, hingga penggambaran tokoh yang jadi subjek berita.
Namun, jika ini kemudian ditafsirkan oleh media massa sebagai cara mereka menyesuaikan diri dengan selera audiens Indonesia, alias menyalahkan selera audiens, sehingga wartawan membuat berita bencana buruk adalah apologi yang keliru. Bukankah selera massa terbentuk dari apa yang lebih dulu ditonton atau dikonsumsi oleh mereka?
Baca juga: Coki Pardede dan Latah Media Eksploitasi Isu LGBTI
Pedoman Meliput Bencana
Dalam kondisi bencana, wartawan punya peran krusial untuk melaporkan peristiwa. Sosiolog Eric Klinenberg dalam bukunya Heat Wave: A Social Autopsy of Disaster in Chicago (2002), yang menyelidiki musabab bencana Chicago 1995 yang dikutip jurnalis Sonali Prasad di Nieman menganjurkan, para wartawan bisa berinisiatif melakukan sejumlah hal. Di antaranya, mengungkap kegagalan organ institusional, kesalahan manusia di balik kematian yang bisa dihindari. Lalu mengajak orang-orang yang tak punya pilihan selain tinggal atau pergi. Singkatnya adalah menulis tentang tantangan moral yang dihadapi dalam kondisi sulit, termasuk bencana semacam ini.
Dalam tulisannya itu, Sonali juga meminta wartawan untuk menguraikan ketidakadilan yang telah berlangsung lama yang telah diekspos oleh bencana. Cara yang lebih eksperimental, kata dia, adalah dengan membuat presentasi yang mendalam. Ia mencontohkan bagaimana The New York Times edisi Minggu yang memuat daftar panjang korban virus Corona untuk menandai jumlah kematian di Amerika Serikat yang mendekati 100.000 saat itu. Sederhana namun membakar.
Pedoman di atas mungkin terlampau spesifik dan susah dikontekstualisasikan dengan peliputan soal kecelakaan Vanessa. Karena itulah, saya mengutip pedoman yang disusun Dart Center for Journalism and Trauma dalam “Meliput Trauma: Panduan Dart Centre untuk para Wartawan, Redaktur, dan Manajer.”
Mengacu pada pedoman tersebut, di dalam situasi penuh trauma—apapun wujudnya—wartawan perlu menyadari satu hal. Bahwa orang yang telah mengalami pengalaman traumatik yang mendalam atau kehilangan seseorang yang dekat dengannya akibat keadaan-keadaan yang memilukan secara tiba-tiba, mungkin akan mengalami goncangan jiwa dan tidak mampu lagi memberikan keterangan dengan sukarela. Karena itu, bersikaplah santai dengan mereka. Dalam hal ini, mereka mempunyai hak untuk menolak diwawancarai, untuk diambil fotonya atau difilmkan. Sama seperti keluarga Vanessa yang berulang kali menginginkan agar wartawan menghormati duka mereka.
Hal yang tak kalah penting, wartawan dilarang menanyakan, “Bagaimana perasaan kamu?” atau “Dengan kejadian ini bagaimana perasaan kamu?” Menurut Dart Center, kedua pertanyaan tidak sensitif dan sangat buruk. Pasalnya, ini menempatkan pihak yang diwawancara kembali ke perasaan duka dan trauma. Jangankan memperoleh jawaban yang kamu mau, wartawan paling banter hanya akan dapat memperoleh air mata sebagai jawabannya. Apalagi bagi para korban yang selamat, berulang kali ditanya hal itu tentu menimbulkan perasaan tertekan.
Terakhir, sebagai refleksi diri, wartawan juga perlu mengingat-ingat, salah satu pilar penting kerja wartawan adalah kemampuan untuk memverifikasi informasi. Jika menanyakan firasat, bagaimana cara mereka memverifikasi itu jika ternyata ini adalah kebohongan atau informasi yang mengada-ngada. Karena itulah, daripada repot bertanya firasat dan perasaan, wartawan fokus saja menjalankan tugas publik memberi informasi penting dan bermakna daripada terus menghamba pada klik.